Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh : Agung Kresna

Ekonomi Bali tanpa pariwisata, mungkinkah? (Bali Post, 29/2). Headline Bali Post yang tercetak dengan huruf kapital berwarna merah itu seakan mengajak segenap krama Bali untuk merenungkan kembali benarkah bahwa ekonomi Bali sepenuhnya bergantung pada pariwisata.

Kondisi pariwisata Bali akibat pandemi Covid-19 memang dapat dikatakan sedang limbung, untuk tidak mengatakannya sebagai kolaps atau bahkan mati suri. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa multiplier effect Covid-19 memberi dampak rantai ikutan yang panjang terhadap kondisi ekonomi masyarakat Bali.

Berawal dari dihentikannya penerbangan dari dan ke Tiongkok, kemudian diikuti dengan beberapa rute penerbangan yang lain, sehingga menghambat kedatangan wisatawan asing yang merupakan bahan bakar ekonomi Bali. Situasi ini berlanjut dengan dihentikannya PHR (Pajak Hotel dan Restoran) untuk sementara waktu, agar hotel dan restoran dapat ‘’bernapas’’ karena terimbas kehilangan konsumennya.

Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa PHR merupakan sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) utama bagi kabupaten/kota di Bali, sehingga gerak ekonomi pemerintah kabupaten/kota menjadi tersendat. Belum lagi ditimpali dengan adanya penundaan beberapa event yang rencananya akan diselenggarakan di Bali. Lengkap sudah mata air ekonomi Bali menjadi tersumbat.

Pariwisata sebagai sektor tersier (jasa) dalam perekonomian memang merupakan sektor yang rentan terhadap gangguan stabilitas atas keamanan (security) dan keselamatan (safety) para wisatawannya. Perekonomian Bali sebenarnya adalah ekonomi yang berbasis pada kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia dengan berlandaskan pada kehidupan pertanian krama Bali. Sedang pariwisata Bali hanyalah produk akhir sebagai resultan dari kehidupan pertanian dan kebudayaan krama Bali.

Baca juga:  Dibandingkan Periode Triwulan 2018, Ekonomi Bali Tumbuh Negatif

Segenap krama Bali tentu masih ingat bagaimana pariwisata Bali mengalami mati suri setelah terjadi peristiwa bom Bali serta erupsi Gunung Agung. Kedua peristiwa tersebut telah memporak-porandakan perekonomian Bali, sehingga perekonomian Bali sempat mengalami kolaps saat itu.

Hanya karena ketangguhan krama Bali beserta seluruh stakeholder yang saling bahu-membahu sesuai jati diri krama Bali dengan sifat komunal yang penuh budaya kemitraan, berhasil melewati masa sulit tersebut. Namun sepertinya setelah masa krisis itu lewat, belum ada penataan struktur ekonomi Bali secara komprehensif. Struktur ekonomi Bali masih saja kembali bertumpu pada sektor ekonomi tersier berjuluk industri pariwisata.

Keterpaduan budaya pertanian, budaya tradisi krama Bali, dan pariwisata menjadi kata kunci dalam upaya menyangga perekonomian Bali. Ketiga sektor utama ekonomi Bali ini merupakan potensi ekonomi yang sudah menjadi social capital (modal sosial) bagi krama Bali. Bali perlu merumuskan kembali modal kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang dimilikinya. Setelah pandemi Covid-19 melanda, maka peta situasi Bali atas empat hal tersebut telah berubah. Bali tidak bisa lagi mengandalkan pada perencanaan yang selama ini telah dan sedang dilaksanakan.

Baca juga:  Bali Perlu Relaksasi Kredit Hingga 2025

Pertanian sebagai sektor ekonomi primer, hakikatnya adalah budaya keseharian krama Bali. Hanya sektor primer ini masih kurang dilirik akibat kemilau sektor ekonomi tersier melalui dunia pariwisata Bali. Pertanian Bali dapat menjadi motor penggerak ekonomi Bali jika digarap dalam pola industrial farming dengan sentuhan teknologi tinggi (hi-tech) yang bercitarasa tinggi (hi-touch), sejak pembibitan, pembudidayaan, hingga pascapanen.

Sementara sektor ekonomi sekunder melalui industri pengolahan produk pangan dan hasil pertanian, dapat menjadi penyangga ekonomi Bali dalam jangka panjang. Industri pengolahan yang cenderung padat modal juga akan memberi tambahan lapangan kerja bagi segenap krama Bali. Sedangkan industri pariwisata melalui kedatangan wisatawan ke Bali adalah bonus karena eksistensi dalam budaya pertanian dan budaya tradisi krama Bali. Industri pariwisata Bali bukanlah pariwisata buatan, namun pariwisata yang lebih banyak bertumpu pada budaya pertanian dan kebudayaan yang ada dalam keseharian kehidupan krama Bali.

Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh para stakeholder perekonomian Bali secara komprehensif, melalui langkah-langkah yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Tanpa langkah komprehensif itu, niscaya perekonomian Bali akan kembali terseok-seok jika terjadi gangguan dalam stabilitas ekonomi, apa pun jenis pemicu gangguan tersebut.

Pertama, perlu grand design baru atas Bali pascapandemi Covid-19, dengan menciptakan keseimbangan antarsektor ekonomi primer, sekunder, dan tersier. Sehingga pada saat terjadi gangguan pada salah satu sektor ekonomi, dua sektor ekonomi yang lain masih memadai untuk menyangga stabilitas ekonomi Bali yang terganggu.

Baca juga:  Peradaban Modern dan Nangun Sat Kerthi Loka Bali

Kedua, menggarap sektor ekonomi sekunder secara lebih serius. Selama ini sektor sekunder cenderung berjalan atas kreativitas krama Bali sendiri. Saat ini masih ada kecenderungan dukungan yang cukup besar hanya pada sektor tersier utamanya pariwisata. Karena sektor ini lebih terasa kemilau dengan gelimang dolarnya, tanpa menyadari bahwa sektor tersier ini rapuh dan rentan dari tekanan stabilitas ekonomi.

Ketiga, harus kita ciptakan ekuilibrium/keseimbangan baru pada perekonomian Bali. Dibutuhkan tatanan peran baru dari masing-masing sektor ekonomi primer, sekunder, dan tersier, dengan mindset (pola pikir) mengembalikan kehidupan keseharian masyarakat dalam anatomi yang sehat, sesuai sendi sosial-budaya krama Bali.

Krama Bali telah diberi pengalaman ekonomi menghadapi tragedi bom Bali dan erupsi Gunung Agung. Pengalaman berharga tersebut tentu dapat menjadi referensi bagi segenap krama Bali dalam menghadapi krisis ekonomi akibat secara tidak langsung dari pandemi Covid-19 saat ini. Pengalaman selalu merupakan guru terbaik bagi kita. Sayangnya pengalaman selama ini acapkali mengajarkan kepada kita, bahwa kita tidak pernah belajar dari pengalaman.

Penulis, arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *