Sumarjaya Linggih. (BP/dar)

Oleh: Gde Sumarjaya Linggih, S.E., M.AP.

Coronavirus Disease 19 atau yang sering disebut virus Corona atau COVID-19, ternyata berdampak luas dan berjalan lama di Indonesia. Dikatakan lama, karena sebagai negara yang kebetulan memiliki iklim tropis, kita semua berharap pada Mei ini pandemi yang mengerikan itu sudah berlalu. Tetapi, rupanya tanda-tanda ke arah itu belum nampak di awal bulan ini.

Banyak pihak, apalagi pemerintah pusat, harus mengantisipasi kondisi terburuk. Misalnya penyakit itu baru berlalu di bulan Juni, bahkan ada yang memprediksi Oktober 2020.

Banyak pengamat yang telah memprediksi dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi itu. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati dengan merujuk laporan Badan Pusat Statistik (BPS), memproyeksi pertumbuhan ekonomi nasional di tahun 2020 akan minus 0,4 persen.

Bila proyeksi yang disampaikan dalam rapat virtual dengan DPR tanggal 5 Mei yang lalu itu menjadi kenyataan, maka dampaknya tidak hanya akan terasa di tahun ini saja, tetapi sudah pasti juga sampai ke pertumbuhan ekonomi tahun 2021.

Proyeksi itu sangat masuk akal karena sebagaimana kita ketahui bersama, tingkat konsumsi rumah tangga masyarakat menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi nasional dari sisi permintaan. Kontribusi konsumsi rumah tangga masyarakat tahun lalu bahkan mencapai 56 persen terhadap pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional.

Baca juga:  Kepentingan Politik Global Dalam Konteks Amandemen UUD 1945

Tetapi di tahun ini, karena adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) yang memang harus dilakukan di beberapa daerah, menyebabkan pertumbuhan konsumsi masyarakat jadi melambat.

Pemerintah memang terus mengupayakan agar bantuan-bantuan sosial segera dapat dicairkan. Penyelarasan data Bantuan Langsung Tunai (BLT) memang telah diupayakan berjalan cepat. Tetapi upaya itu, tentu tidak dapat menumbuhkan konsumsi masyarakat menjadi sama seperti saat kondisi normal. Dampak dari semua itu, dari sisi penawaran pembangunan ekonomi nasional juga mengalami pelemahan yang pada akhirnya akan berdampak pula bagi pertumbuhan ekonomi pada tahun-tahun yang akan datang.

Terdegradasinya ekonomi nasional juga pasti berdampak terhadap ekonomi regional daerah Bali. Bahkan, walaupun tidak pernah kita harapkan, ekonomi Bali seharusnya lebih diwaspadai, karena selama ini kita sangat ketergantungan dengan sektor pariwisata. Sementara sektor pariwisata sudah ‘’mati suri’’ akibat Covid-19.

Kalau pada tahun-tahun sebelumnya, atau pada kondisi normal pertumbuhan ekonomi Bali rata-rata berada satu persen di atas ekonomi nasional, maka tahun ini kondisi seperti itu rasanya tidak bisa kita harapkan lagi. Kita tentunya akan sangat bersyukur bila pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2020 tidak sampai pada posisi minus.

Baca juga:  Pola Konsumsi Zaman “Now”

Bila ekonomi Bali tahun 2020 kita taksir dengan pertumbuhan nol persen, maka situasi pemulihan ekonomi baru dapat diproyeksi akan terjadi pada tahun 2021. Pada kondisi itu pun, tentu kita tidak bisa berharap ekonomi Bali akan betul-betul pulih dengan pertumbuhan normal sebagaimana tahun 2019, misalnya.

Kita rasanya akan sangat bersyukur bila ekonomi Bali bisa tumbuh di atas 3 perseh tahun 2021. Itu pun harus dengan semangat dan kerja keras memacu pertumbuhan dari sektor nonpariwisata.

Kita juga sudah mengetahui secara umum bahwa dengan ditopang oleh sektor pariwisata, ekonomi Bali sangat ketergantungan dengan situasi ekonomi global. Sementara banyak analis memperkirakan pertumbuhan ekonomi 10 negara penyumbang wisatawan mancanegara bagi Bali, tahun 2021 pertumbuhan ekonominya akan banyak yang masih minus. Di antara negara-negara itu, yang terdiri atas Australia, China, Singapura, Malaysia, India, Amerika Serikat, Korea Selatan, Taiwan dan beberapa negara Eropa, minus tertinggi diproyeksi akan dialami oleh negara-negara Eropa.

Baca juga:  Kembali (Bukan beralih) ke Pertanian

Bali memang harus meredesain strategi pembangunan ekonomi yang ada saat ini. Kondisi penopang yang pincang antara sektor periwisata dan sektor lainnya memang harus di-balancing. Pemikiran ulang secara fundamental pembangunan sektor pertanian, nampaknya harus kembali dilakukan.

Pertanian dari dulu merupakan DNA-nya orang Bali. Banyak akademisi menyatakan bahwa fungsi sektor pertanian Bali tidak saja sebagai penopang pangan, tetapi juga sebagai arena budaya dan adat Bali. Pertanian juga diketahui umum sebagai penyangga pariwisata Bali.

Sebagai orang yang pernah duduk di Komisi IV DPR-RI, yang juga membidangi sektor pertanian, saya melihat masih banyak hal yang bisa kita kembangkan dalam pertanian Bali. Teknologi untuk meningkatkan produktivitas di tengah lahan pertanian yang semakin menyempit, memang harus terus diupayakan.

Teknologi pascapanen dan pemanfaatan hasil pertanian untuk industri pangan yang diolah langsung oleh petani itu sendiri, masih terbuka untuk dilakukan dengan meniru atau alih teknologi dari petani di negara-negara maju. Dengan cara itu, ke depan ekonomi Bali diharapkan memiliki penyangga yang lebih seimbang (balance).

Penulis, Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI, alumni Magister Administrasi Pembangunan Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. om swastyastu pak gede
    pemikiran yang sangat genius tyg sangat terkesan dengan alur pemikirannya bpk gede yang mana masyarakat bali sudah sering dilanda malapetaka yang sifatnya pendapatan daerah bali sering pasang surut karena disebabkan oleh sumber pendapatannya yang kurang balancing dari semua sektor yang dimiliki bali. memang sudah sering diungkapkan oleh para cendikiawan dan pemerhati tentang kehidupan dan keberlangsungan ekonomi bali, kemudian bagaimana cara agar ekonomi bali untuk bisa senantiasa eksis ? memang bali kadang kala lupa bila sektor pariwisata sering mendapat tekanan dan cobaan mengingat sektor ini sangat riskan dan penuh resiko, maka dari itu mau tidak mau harus mau bahwa masyarakat bali kembali kepada jati diri ke sektor pertanian yang berbasis teknologi pertanian yang berdasarkan kebutuhan pasar sehingga sektor pariwisata dengan sektor lainnya menjalan sejalan dan saling membutuhkan satu sama lainnya. jadi saya teringat apabila sektor pariwisata bali mendapatkan musibah maka baru para pemerhati sosial dan pertanian memunculkan beberapa solusi yang baru sebatas argumentasi dan pemikiran dimana selama ini saya lihat seperti itu. jadi kunci agar pemikiran-pemikiran yang bagus ini bisa kita implementasikan tentu harus mendapat support dari para pengambil kebijakan . tanpa ada kemauan politik seperti itu maka ekonomi masyarakat bali akan sering linglung tanpa ada tatanan dan pundasi ekonomi pertanian yang kokoh dan pasti berdasarkan program kerja yang jelas dan mempunyai prioritas khususnya di bidang pertanian semoga terwujud

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *