Oleh: Adi Nugroho
Menyembuhkan yang sakit dan menjaga yang sehat agar tidak tertular adalah upaya mulia yang sangat layak disorong sebagai prioritas utama ketika kita menghadapi pandemi seperti dengan COVID-19 sekarang ini. Menguatkan layanan kesehatan sekuat-kuatnya, sehingga efektif melaksanakan upaya penyembuhan secara penuh, disertai mendayagunakan perangkat hukum untuk memobilisasi masyarakat sedemikian rupa, sehingga semua terhindar dari kemungkinan tertular adalah bentuk tindakan nyata yang kiranya paling dibutuhkan sekarang ini.
Tentu saja upaya pengujian yang maksimal juga menjadi prasyarat agar diperoleh identifikasi cermat siapa saja yang sakit untuk mendapatkan layanan penyembuhan dan siapa yang masih sehat untuk dilindungi dari risiko penularan. Jika upaya ini bisa benar-benar dimaksimalkan, barulah kita bisa berharap dan bisa memperhitungkan kapan pandemi akan berakhir di wilayah kita.
Tetapi jika tidak, kiranya akan lebih lama kita harus bermain-main dengan sekian banyaknya teka-teki identifikasi. Akan tetapi setelah sembuh dan terhindar dari sakit, kita juga perlu memastikan bahwa kemudian kita tidak akan ‘’mati kelaparan’’ atau menghadapi berbagai kesulitan ekonomi lainnya di tengah pagebluk ini.
Karenanya, perhatian atas terpengaruhnya perekonomian wilayah oleh pandemi ini juga tidak untuk diabaikan. Pandemi hebat yang memaksa (hampir) seluruh dunia menerapkan pembatasan ini, secara ekonomi, pertama-tama akan memukul sektor pariwisata. Begitu banyak disebutkan para ahli dengan berbagai varian penyebutannya. Di Bali yang tidak kurang dari separuh perekonomiannya memang dihidupi sektor pariwisata, kita sungguh menyaksikan bekerjanya aksioma tersebut.
Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) merosot -21,82% hanya dalam tiga bulan saja. Ditambah kunjungan wisatawan domestik nusantara (wisnus) yang juga surut sekitar 9%. Secara ekonomi bagi Bali sungguh besar pengaruhnya. Hotel, restoran, angkutan, kerajinan, perdagangan dan bahkan pertanian adalah sebagian dari mata rantai ekonomi berikutnya yang seketika menderita.
Jangan lupa, pada masing-masing jenis usaha tersebut, terdapat pengusaha yang mempertaruhkan modal usahanya dan buruh/karyawan yang menggantungkan penghidupan keluarganya. Dalam ranah ekonomi, ‘’penderitaan’’ tersebut dicerminkan oleh menurunnya pertumbuhan ekonomi Bali kuartal I 2020 sebesar -1,14% (yoy). Padahal biasanya pada setiap kuartal I, perekonomian Bali tidak pernah tumbuh di bawah 5%. Sekurangnya dalam lima tahun terakhir.
Itu baru kuartal I, yang artinya hanya tiga bulan, Januari, Februari dan Maret. Untuk menyelesaikan tahun 2020 ini saja kita masih harus melewati tiga kuartal lagi. Padahal badai pandemi COVID-19 dan berbagai pembatasan masih belum terlihat mereda. Kalau situasi belum juga membaik, maka sekurangnya pada kuartal II 2020, perekonomian Bali kembali dihadapkan pada ancaman kontraksi (pertumbuhan negatif).
Padahal, para ahli ekonomi menyebutkan kalau pada suatu wilayah perekonomiannya mengalami pertumbuhan negatif berturut-turut dua kali atau lebih, maka perekonomian wilayah tersebut digolongkan mengalami resesi. Merangkum ungkapan para ahli, Wikipedia menguraikan secara singkat resesi sebagai berikut:
Dalam ekonomi makro, resesi atau kemerosotan adalah kondisi ketika produk domestik bruto menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan perusahaan. Resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga (deflasi), atau kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang dikenal sebagai stagflasi. Resesi ekonomi yang berlangsung lama disebut depresi ekonomi.
Penurunan drastis tingkat ekonomi (biasanya akibat depresi parah, atau akibat hiperinflasi) disebut kebangkrutan ekonomi (economy collapse). Kolumnis Sidney J. Harris membedakan istilah-istilah di atas dengan cara ini: ‘’sebuah resesi adalah ketika tetanggamu kehilangan pekerjaan; depresi adalah ketika kamu yang kehilangan pekerjaan.’’ (Wikipedia, 13 Mei 2020, 14.36 wita).
Siapa pun sungguh tidak menghendaki itu (resesi, apalagi depresi ekonomi) terjadi di Bali dan karenanya pertanda yang sudah tersedia hendaknya tidak diabaikan. Ini sungguh pertaruhan yang tidak boleh dianggap enteng. Kalau bisa diibaratkan perekonomian adalah sebuah kue, maka merosotnya perekonomian wilayah adalah ibarat mengecilnya kue yang dihasilkan wilayah tersebut.
Jika pada besaran kue yang sebelum menyusut, kita tahu masih ada bagian masyarakat Bali yang belum beruntung menikmati, maka ketika kue tersebut mengecil, akan lebih banyak lagi mereka yang tidak bisa menikmati. Dan jika keadaan tidak kunjung membaik, dimulai dari yang paling rentan, kesulitan ekonomi akan terus menjalar menguji daya tahan seluruh lapisan.
Jelas kiranya, di samping urusan menyembuhkan yang sakit dan menjaga yang sehat dari penularan, maka upaya memitigasi perekonomian dari kemungkinan resesi juga tidak untuk dikesampingkan. Sebab, jika ekonomi tidak terjaga, bisa saja orang sembuh dari sakit atau terhindar dari penularan, tetapi tidak bisa melanjutkan kehidupan akibat berbagai kesulitan.
Yang dari kalangan kompetensi kesehatan agar sepenuh hati bersungguh-sungguh mengupayakan penyembuhan total, tuntas dan tidak membiarkan bertambahnya satu korban sekalipun. Yang dari kalangan kompetensi mobilisasi perlindungan masyarakat, memastikan semua masyarakat Bali dalam ikatan protokol yang sekaligus akomodatif.
Sementara dari kalangan kompetensi ekonomi, kiranya dapat terus berkreasi menghidupkan perekonomian Bali, untuk melindungi mereka yang rentan. Kalau dari pariwisata sedang tidak bisa diharapkan, cobalah misalnya berkreasi menghidupkan sektor lain. Bagaimanapun penduduk Bali yang sekitar 4,3 juta jiwa masih membutuhkan barang (dan jasa) untuk dikonsumsi.
Apa yang dibutuhkan sebagai konsumsi masyarakat Bali, kiranya bisa ditekuni lebih untuk diproduksi. Kalaulah bisa dijaga keberlanjutan keseimbangan rantai pasok industri, distribusi dan konsumsi, maka kiranya pertumbuhan konsumsi rumah tangga masyarakat dapat dipertahankan dan itu cukup untuk menahan perekonomian Bali agar tidak masuk perangkap resesi.
Sebab, sumbangan konsumsi rumah tangga pada perekonomian Bali (jika diukur dari sisi pengeluaran) juga tidak kurang dari 50%. Seperti sumbangan pariwisata, jika ekonomi Bali diukur dari sisi produksi. Ibaratnya, dalam kepungan pandemi ini biarlah Bali ‘’berpuasa’’ dulu dari pariwisata, akan tetapi agar tetap tumbuh positif, kali ini besaran konsumsi rumah tangganya yang dijaga.
Dengan, misalnya, meningkatkan produksi secara mandiri barang (dan jasa) yang dibutuhkan. Cara lain diyakini masih tersedia dan terbuka untuk dipilih. Intinya menjaga agar perekonomian Bali pada kuartal II 2020 dan seterusnya bisa kembali tumbuh positif. Siapa tahu dengan upaya itu, Bali bisa keluar dari kemungkinan resesi dan sekaligus mendapatkan struktur perekonomian baru yang tidak terlalu bergantung pada pariwisata.
Kepala BPS Bali