Oleh : dr. Martin Susanto
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan gejala-gejala pasien Covid-19 terbanyak di Indonesia adalah batuk (18,8%), demam (13,8%), demam disertai radang (11,8%), sedangkan 59,4% pasien bahkan tidak menunjukkan gejala. Laki-laki lebih berisiko daripada perempuan, yaitu 58,83% berbanding 41,17%.
Rentang umur yang paling banyak terkena adalah umur 30-49 tahun (38,70%) dan umur 50-69 tahun (36,93%). Tiga komplikasi penyerta yang banyak ditemukan antara lain radang paru/pneumonia (48,2%), hipertensi (17,8%) dan diabetes melitus (12,2%).
Menurut studi Wei-Jie dkk. tentang karakteristik klinis Covid-19 di China, menunjukkan penurunan hitung limfosit (limfopenia) merupakan tampilan khas yang muncul pada 83,2% pasien. Sedangkan temuan lainnya adalah penurunan trombosit (trombositopenia) 36,2%, dan penurunan sel darah putih (leukopenia) pada 33,7% pasien. Pemeriksaan rapid test dan Polymerase Chain Reaction (PCR) harga terjangkau dan kemampuan menampilkan hasil cepat menjadi pertimbangan utama pemerintah Republik Indonesia menjadikan rapid test Covid-19 sebagai metode skrining dalam pemeriksaan massal.
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) atau disebut juga swab test merupakan pemeriksaan penentu diagnosis Covid-19. Sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, pemeriksaan PCR dilakukan setelah rapid test positif.
Prinsip pemeriksaan ini adalah dengan mendeteksi keberadaan material genetik RNA virus Corona pada sampel dahak yang diperiksa. Pemeriksaan ini diklaim mempunyai sensitivitas yang lebih baik untuk mendiagnosis Covid-19. Pemeriksaan PCR ini juga dijadikan salah satu penentu untuk menyatakan kesembuhan pasien Covid-19 setelah perbaikan kondisi klinis.
CT-scan dada merupakan pemeriksaan imajing pilihan untuk Covid-19 dibandingkan rontgent dada karena studi-studi menunjukkan rontgent dada masih menampilkan hasil yang normal hingga 4-5 hari pasca-awal gejala. Tampilan CT-scan yang khas untuk Covid-19 adalah ground-glass opacity (56,4%). Penelitian Tao Ai dkk. (2020) tentang korelasi CT-scan dada dan pemeriksaan PCR menunjukkan sensitivitas CT-scan mencapai 97%. American College of Radiology (ACR) dan Centers for Disease Control (CDC) tidak merekomendasikan pemeriksaan CT-scan untuk skrining ataupun mendiagnosis Covid-19 karena tingginya angka positif palsu pada hasil pemeriksaan.
Sebaliknya penelitian-penelitian terakhir di China tidak meragukan sensitivitas penggunaan imajing ini dalam mendukung diagnosis Covid-19 karena masih ada kemungkinan negatif palsu pada pemeriksaan PCR. Hingga saat ini belum ditemukan obat antivirus yang spesifik terhadap Covid-19.
Namun, virus ini merupakan satu keluarga dengan virus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome), sehingga saat ini konsep ilmiah yang dianut luas adalah menggunakan obat-obatan antivirus spesifik terhadap SARS dan/atau MERS untuk mengobati infeksi Covid-19. Beberapa antivirus yang digunakan luas oleh dunia, misalnya Lopinavir/Ritonavir (Kaletra) dan Favipiravir (Avigan) belum terbukti menunjukkan efektivitas terhadap pasien-pasien bergejala berat.
Sebuah penelitian yang dilakukan Bin Cao dkk. (2020) menguji efektivitas Lopinavir/Ritonavir terhadap pasien Covid-19 bergejala berat yang dirawat di rumah sakit menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pemberian antivirus Lopinavir/Ritonavir dibandingkan pengobatan standar biasa. Hasil penelitian lain oleh Chang Chen dkk. (2020) yang membandingkan Favipiravir dengan Arbidol menunjukkan laju pemulihan klinis yang lebih baik pada hari ke-7 pasien bergejala sedang yang menggunakan Favipiravir, tetapi tidak terhadap pasien bergejala berat.
Terakhir, saat ini penelitian uji klinis antivirus Remdesivir dan terapi konvalesen plasma sedang dikembangkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut Remdesivir sebagai kandidat pengobatan yang paling menjanjikan.
Berbagai studi menunjukkan obat-obatan antivirus potensial ini masih efektif untuk kasus-kasus gejala ringan dan sedang, sehingga skrining dan diagnosis dini masih menjadi penentu utama kesembuhan pasien Covid-19. Semakin cepat pasien didiagnosis dini, tentunya pasien bisa mendapatkan pengobatan secepatnya sejak gejalanya masih ringan, sehingga terhindarkan dari berbagai perburukan dan komplikasi penyakit.
Namun, satu hal yang lebih baik lagi pastinya adalah mencegah dan menghindari paparan virus Corona ini karena sampai saat ini belum ditemukan antivirus yang benar-benar spesifik untuk Covid-19. Provinsi Bali diharapkan menjadi provinsi pertama bebas Covid-19 di Indonesia sesuai hasil evaluasi dan perhitungan pemerintah pusat.
Dalam rapat kabinet oleh Presiden RI Joko Widodo disebutkan bahwa penanganan Covid-19 di Bali terbaik di Indonesia. Dengan menjadikan penanganan Covid-19 Bali sebagai role model, berbagai kebijakan dan keputusan strategis perlu diambil untuk menyukseskan sistem diagnosis dini secara nasional.
Adapun usulan dan saran penulis antara lain: (1) Mempertimbangkan masih tingginya transmisi lokal, pemeriksaan rapid test dan PCR secara massal utamanya ditujukan kepada kelompok berisiko. Kelompok ini antara lain orang-orang dengan riwayat bepergian ke luar negeri atau daerah-daerah terdampak Covid-19, riwayat kontak risiko tinggi (kurang dari 1 meter) dengan penderita Covid-19, dan tenaga-tenaga kesehatan. Pemeriksaan ini juga utamanya dilakukan di pusat-pusat kedatangan seperti bandara-bandara dan pelabuhan-pelabuhan di mana setiap pengunjung yang datang dari luar negeri atau daerah-daerah zona merah Covid-19 (sebaiknya) langsung dilakukan rapid test. Jika dijumpai hasil rapid test positif, sebaiknya pengunjung diisolasi terlebih dahulu di rumah karantina khusus yang disediakan oleh pemerintah daerah setempat, sambil memeriksakan dan menunggu keluarnya hasil PCR. Jika hasil rapid test negatif, pengunjung sesudahnya isolasi diri di rumah selama 14 hari dan dianjurkan menjalani rapid test ulangan setelah 7-10 hari.
Selebihnya, (2) Dengan berpedomankan ‘’Semakin cepat diagnosis dini Covid-19, maka pengobatan bisa dilakukan secepatnya sejak gejala ringan’’, maka usulan kepada pemerintah untuk dapat menambah sumber daya alat pemeriksaan PCR di tiap provinsi untuk menunjang percepatan sistem diagnosis dini secara nasional. Pemeriksaan PCR yang selesai dalam waktu 24 jam mempercepat proses pelacakan jejak kontak penderita Covid-19. Pemerintah juga bisa memaksimalkan sumber daya yang ada untuk menunjang konsep penanganan Covid-19. 3T (test, treat dan tracking), artinya dengan tes cepat kita bisa tracking atau mencari orang yang kontak dengan penderita tersebut.
Bagi dokter-dokter dan tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas atau klinik, memaksimalkan kemampuan anamnesa (wawancara pasien) dan memanfaatkan pemeriksaan penunjang seperti cek darah rutin untuk melihat adakah temuan limfopenia dan trombositopenia, serta disiplin cuci tangan dan memakai alat pelindung diri (APD) yang standar.
Bagi rumah sakit yang belum mempunyai alat pemeriksaan PCR, menerapkan penggunaan CT-scan bersamaan rapid test dan cek darah rutin untuk menunjang diagnosis Covid-19 sehingga bisa merujuk ke rumah sakit rujukan Covid-19 secepatnya. Selain itu, bisa dilakukan menguatkan pelayanan tele-consultation. Yaitu tiap-tiap pemerintah daerah menyediakan nomor Call Centre Covid-19 untuk melayani konsultasi kesehatan dan Tanya jawab seputar Covid-19.
Penulis, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, saat ini bekerja sebagai Dokter Umum PNS Pemerintah Kabupaten Badung (Bali)