Oleh: GPB Suka Arjawa
Presiden Joko Widodo telah mengatakan bahwa masih belum ada keputusan pemerintah untuk melonggarkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Pernyataan ini dikeluarkan sebagai respons atas berbagai wacana yang berkembang di masyarakat.
Wacana itu cenderung didominasi oleh keinginan untuk lepas dari PSBB. Bahkan, mungkin sekali merupakan keinginan lepas dari terkungkung di rumah.
Akan tetapi belakangan kemudian muncul juga pernyataan dari komponen pemerintah yang juga berkaitan dengan upaya pelonggaran tersebut. Di antaranya muncul ungkapan relaksasi PSBB. Tidak lain ini merupakan upaya untuk melonggarkan PSBB tersebut.
Maka, meskipun Presiden telah menyatakan tidak ada kebijakan untuk melakukan pelonggaran tersebut, masyarakat telah menafsirkan akan ada pelonggaran itu. Dan seperti seolah menjadi ciri dari masyarakat kita, melakukan pelanggaran itu merupakan sebuah pilihan. Entah mereka merasa menang atas pelanggaran ini, merasa jantan atau memang masa bodoh dengan pelanggaran itu, yang berarti juga masa bodoh dengan keberadaannya sendiri.
Ketika PSBB sudah ditetapkan di beberapa daerah di Jawa, telah ada banyak pelanggaran terhadap kebijakan tersebut, maka begitu ada kisi-kisi pelonggaran dari pemerintah, semakin menjadi-jadilah pelanggaran tersebut. Sekali pelanggaran itu dilakukan akan dicontoh oleh yang lain dan semakin banyak yang melanggar, semakin banyak yang mencontoh.
Di Bali, jalur Denpasar-Gilimanuk tidak ada bedanya frekuensi kendaraan berlalu-lalang seperti sebelum COVID-19 ini dikenal. Di Jakarta, kemacetan tetap terjadi di sekitar Pasar Tanah Abang. Begitu juga dengan kota-kota lain di Indonesia.
Dari fenomena penyebaran COVID-19 di Indonesia, seharusnya tidak ada pemikiran sedikit pun untuk melakukan pelonggaran. Masih jelas sekali, baik dari sisi jumlah terjangkitnya maupun kedisiplinan masyarakat, sangat jauh dari keberhasilan menekan penyebaran. Kita tahu sekarang secara lebih jelas, bahwa seperti inilah kualitas sosial masyarakat.
Dari sisi jumlah, virus Corona telah menjangkiti 20 ribu orang lebih. Tiada hari tanpa penambahan terjangkitnya virus Corona di Indonesia. Dalam beberapa hari mendatang mungkin sudah melampaui angka 21 ribu orang yang terjangkit. Bisa dibayangkan angka ini akan dapat beranak pinak lagi pada hari berikutnya.
Memang benar empat ribuan yang sembuh, tetapi di atas seribu orang telah meninggal dunia. Katakanlah angka yang terjangkit itu masih 14 ribu, tetapi dengan tingkat kedisiplinan masyarakat yang masih amburadul seperti ini, maka bahaya yang mengancam Indonesia masih signifikan. Penurunan di beberapa daerah, diikuti dengan peningkatan di daerah lain.
Jadi, bagaimanapun seharusnya pemikiran untuk melonggarkan PSBB dan pelarangan lainnya, tidak ada. Sekali lagi pada tingkat pemikiran pun, ini tidak boleh ada. Apalagi kemudian diwacanakan oleh pejabat negara. Kurang lebih India dapatlah dikatakan sebagai contoh.
Negara ini masih memperpanjang lockdown, meski semakin banyak pengangguran melanda negeri itu. Tetapi, itulah pilihan yang dilakukan negara tersebut demi masa depannya.
Secara sosiologis, upaya pelonggaran dari ancaman virus Corona ini juga sangat tidak mendukung. Hubungan sosial antara individu dengan individu, dengan kelompok dan antara pihak apa pun, tidak akan dapat berlangsung dengan normal apabila ada gangguan dalam media hubungan sosial (interaksi) tersebut.
Media untuk melakukan interaksi itu sangat banyak, dan yang paling utama adalah wacana (mulut, isyarat, benda). Media inilah yang justru mengancam karena amat berpotensi terpapar oleh virus. Faktor pendorong mengendapnya virus itu, justru interkasi (hubungan sosial) itu sendiri.
Bisa dibayangkan, ketika kita berinteraksi justru diancam oleh alat interaksi itu sendiri. Pasti akan terjadi ganggguan di sini. Dalam studi-studi perubahan sosial, maka hubungan sosial yang tidak baik akan menimbulkan konflik. Konflik yang paling berbahaya dalam masyarakat adalah kekerasan (konflik terbuka seperti perkelahian). Tetapi dalam konteks Covid-19 ini, konflik yang paling fatal adalah terpapar virus mematikan tersebut. Inilah yang harus diwaspadai.
Barangkali keinginan menggebu untuk melonggarkan segala aturan ini dipengaruhi oleh wacana dari luar. Yang paling keras mungkin bergulirnya liga sepak bola Jerman (Bundesliga), pengenduran aturan di Italia, semakin normalnya China dan Jepang, lalu Selandia Baru yang sudah mulai membuka sekolah dan Australia yang telah sukses menekan sampai titik terendah (satu kasus?) terjangktnya Covid-19.
Apabila boleh jujur diungkapkan, ada kelebihan pada mereka itu, yaitu kedisiplinan, kesadaran, dan kesiapan masyarakatnya untuk menerima pola kehidupan sosial yang berubah. Inilah yang disebut dengan pola kehidupan sosial normal yang baru (new normal). Pola hidup normal baru ini bukan sekedar wacana tetapi fakta yang memerlukan tantangan baru untuk melakukannya.
Lihatlah Liga Jerman sebagai salah satu contoh. Pemain cadangan harus tinggal di tribun dengan memakai masker. Duduknya berjarak. Pemainnya tidak boleh berludah, tidak boleh berangkulan ketika merayakan keberhasilan mencetak gol.
Jika harus mentekel lawan, mesti segera cepat menghindar. Bayangkan, ini merupakan kebiasaan baru, berubah total dari kebiasaan yang sudah berlangung berdekade-dekade, bahkan sejak sepak bola itu lahir.
Pertanyaannya kemudian, apakah masyarakat kita bersiap dengan kondisi normal baru ini? Ada banyak anggota masyarakat yang memakai masker yang seenaknya, bahkan juga dari bahan kain kasar yang terbuka lubangnya. Mereka memakai masker sekadar menutup mulut (bukan hidung) demi menghindari pecalang! Jadi bukan untuk melindungi diri.
Ketika sebuah pasar dinyatakan dibuka mulai pukul 11.00 sampai 15.00, yang terjadi bukannya rasa aman, tetapi justru menakutkan. Para pembeli justru datang serentak pukul 11.00 sehingga pasar kembali sesak. Masyarakat juga tidak mampu memanfaatkan lemari pendingin.
Sudah jelas, lemari pendingin adalah sebuah alat yang dari sisi strategi berguna untuk mengalahkan waktu dan mengirit tenaga. Artinya dengan sayur atau daging yang dapat disimpan selama tiga hari, kita tidak perlu ke pasar setiap hari. Apa yang terjadi di masyarakat? Mereka tetap tiap hari ke pasar membeli sayur dan daging, alasannya bertemu kawan lama dan dapat menawar barang. Sekali lagi, jangan gegabah. Ini masalah penyakit yang membahayakan.
Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana