I Kadek Sudiarsana. (BP/Istimewa)

Oleh: I Kadek Sudiarsana S.H.

Menanggapi wabah Covid-19, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan ini diambil dengan berdasarkan pada aturan Pasal 60 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pada prinsipnya kebijakan ini diatur lebih lanjut dalam Permenkes Nomor 9 tentang Tata Laksana PSBB yang mengatur perihal peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lain khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

Kebijakan itu mendasari Pemprov Bali dalam menerapkan kebijakan dengan melibatkan desa adat dalam menanggulangi Corona ini yang tertuang dalam Keputusan Bersama Pemprov Bali dan Majelis Desa Adat (MDA). Selain itu, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) telah mengeluarkan kebijakan terkait hari raya Nyepi, pembatasan keramaian khususnya dalam hal ini kegiatan tajen (sabung ayam), pun terhadap kegiatan adat dan upacara agama tidak luput dari kebijakan pemerintah.

Dalam konteks ini berkaitan dengan upacara agama ngaben dan nganten (pernikahan) agar ditunda pelaksanaannya, pun jikalau harus dilangsungkan agar mengambil upacara tingkatan paling sederhana dan melibatkan seminimal mungkin orang. Begitu pula, kalau upakara ngaben, imbauan PHDI Bali jika tidak bisa ditunda, agar mayat cukup dibakar saja.

Baca juga:  Penyelamatan Nyoman dan Ketut

Dilema Hukum

Meski upacara ngaben diimbau untuk ditunda, nampaknya masih terjadi kegiatan berlangsungnya ngaben di desa-desa di Bali. Kejadian ini menjadi dilema apakah urgen untuk menerapkan hukum pidana atau lebih mengedepankan penyelesaian secara non-hukum?

Ngaben terbaru yang cukup menyita perhatian masyarakat Bali salah satunya diadakan di Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Pasalnya, Kepolisian Resort Buleleng melalui Satreskrim Polres Buleleng menetapkan status tersangka kepada salah seorang penanggung jawab upacara ngaben yang diduga melanggar Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan/atau Pasal 93 UU Karantina Kesehatan.

Disayangkan upacara ngaben tersebut tidak mengikuti arahan untuk tidak melibatkan banyak orang. Semestinya mengingat adanya virus Corona yang memiliki risiko tinggi terhadap nyawa manusia, upacara ngaben tersebut ditunda pelaksanaannya hingga waktu dan situasi memungkinkan. Sebab, upacara ngaben berpotensi melibatkan banyak orang melebihi syarat protokol kesehatan maksimal melibatkan 25 orang.

Meski demikian, dengan penetapan tersangka kepada penanggung jawab ngaben itu kurang tepat. Hal ini belum sesuai dengan asas hukum pidana yaitu asas ‘’Ultimum Remidium’’. Apa itu Ultimum Remidium? Dalam buku ‘’Penemuan Hukum Sebuah Pengantar’’ yang ditulis Sudikno Mertokusumo, ultimum remidium merupakan alat terakhir atau upaya hukum terakhir dalam penegakan hukum pidana. Sehingga dalam konteks ini, diupayakan terlebih dahulu upaya nonlitigasi atau penyelesaian sengketa tidak melalui jalur hukum, melainkan penerapan sanksi sosial seperti permohonan maaf secara terbuka, pengenaan sanksi adat, dan kerja sosial.

Baca juga:  Teror terhadap KPK dan Penegakan Hukum

Di samping itu, dalam konteks ngaben di Desa Sudaji semestinya kepolisian dalam hal ini lebih memperhatikan amanat Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Disebutkan di sini bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Oleh karenanya, akan lebih arif apabila penetapan status tersangka dalam kejadian ngaben di Desa Sudaji tersebut dievaluasi kembali, dan lebih mengedepankan fungsi pengayoman kepada masyarakat. Dalam meminimalisir kejadian serupa, pemerintah diharapkan lebih komprehensif dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka memutus penyebaran Covid-19.

Pertama, perlunya sosialisasi ke desa-desa adat di Bali terkait dengan kebijakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, terutama untuk menunda kegiatan ngaben, pernikahan dan kegiatan lain melibatkan orang banyak. Kedua, dalam rangka meminimalisir adanya paradigma bahwa hukum ‘’tajam ke bawah, tumpul ke atas’’ perlunya konsistensi dalam proses penegakan hukum, terhadap hal serupa sebaiknya sebagaimana konteks ngaben di Sudaji lebih baik diupayakan terlebih dahulu menggunakan upaya nonlitigasi.

Baca juga:  Pemetaan Kepemilikan Tanah di Kota Budaya

Sehingga fungsi ‘’pengayoman kepada masyarakat’’ akan lebih dirasakan dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlandaskan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Ketiga, masyarakat juga diharapkan lebih taat terhadap aturan-aturan pemerintah dan aturan adat guna memutus rantai penyebaran Covid-19 di Indonesia, khususnya Bali.

Dengan kejadian pelaksanaan ngaben di Desa Sudaji ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran penting bagi masyarakat di Bali khususnya dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk bersama-sama dalam menanggulangi wabah Covid-19 ini segera sirna dari Indonesia, sebab jika masyarakat masih kurang taat pada aturan PSBB akan berdampak yang menimbulkan waktu untuk meredam pandemi Covid-19 semakin lama.

Sehingga berpengaruh pada krisis ekonomi dan juga terhadap segala lini kehidupan. Selain itu, pentingnya komunikasi yang terintegrasi dalam pemerintah dalam pemberian informasi kepada masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai wabah Covid-19 ini. Sehingga tidak terjadi lagi penolakan-penolakan terhadap tenaga medis, penolakan tenaga pekerja migran, apalagi penolakan penguburan jenazah korban Covid-19.

Penulis, alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) dan asisten dosen FH UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *