Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh : Agung Kresna

Aneka petaka akibat pandemi Covid-19 telah memporak-porandakan berbagai sendi kehidupan masyarakat. Perekonomian masyarakat menjadi sektor yang paling terganggu dan mendapat tekanan luar biasa. Geliat ekonomi nyaris tidak dapat bergerak akibat berbagai pembatasan sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus Corona atau Covid-19.

Pada gilirannya sendi sosial-budaya masyarakat juga menjadi terganggu akibat sikap masyarakat yang merasa khawatir dan waswas dalam menghadapi Covid-19 yang tidak kasat mata, tidak jelas di mana sumber virus itu berada. Muncul sikap kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan sehingga cenderung paranoid.

Pandemi Covid-19 ini harus kita hadapi sebagai musuh bersama. Wabah pandeminya yang harus kita musuhi, bukan orang yang kebetulan terpapar Covid-19. Hanya dengan kebersamaan, rantai penyebaran pandemi Covid-19 dapat kita putuskan, sekaligus menghentikan wabah yang seakan tidak ada ujungnya ini.

Melalui kebersamaan akan melahirkan sikap dengan keyakinan adanya harapan yang lebih baik di masa depan. Kebersamaan menjadi kunci kita dalam menemukan solusi. Hanya dengan sikap kebersamaan, kita akan dapat melewati dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi constraint dalam kehidupan masyarakat, seperti halnya pandemi Covid-19 ini.

Konsep kebersamaan dengan semangat gotong royong dalam bentuk manyama braya tentu bukan sesuatu yang asing bagi krama Bali. Nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) manyama braya ini telah menjadi denyut nadi dalam keseharian kehidupan krama Bali. Peran manusa yadnya krama Bali ini harus semakin dibangkitkan, dalam menghadapi persoalan perekonomian maupun kehidupan sosial akibat pandemi Covid-19 ini.

Baca juga:  Meminimalisir Konflik Pembangunan TPS

Memang harus kita akui bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai sosial dalam konsep manyama braya saat ini. Ketika belum dikenal konsep nilai tukar dengan mata uang, saat itu manyama braya dilakukan menggunakan pola barter tenaga dengan kebutuhan konsumsi/makan. Namun sejak dikenal mata uang sebagai nilai tukar, dalam manyama braya juga acap kali digunakan mata uang sebagai alat barter. Akibatnya timbul degradasi nilai sosial di dalamnya.

Mekanisme budaya barter dalam manyama braya, memang merupakan local wisdom kalangan masyarakat petani. Para petani menghasilkan produk hasil bumi yang kemudian digunakan sebagai alat tukar dalam kehidupan sosial budaya masyarakat kesehariannya.

Mekanisme barter dalam manyama braya memang lebih kental dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, dibanding mekanisme upah dengan mata uang. Karena pada dasarnya konsep manyama braya adalah sebuah kegiatan gotong royong dalam satu kebersamaan guna menyelesaikan persoalan kemasyarakatan.

Baca juga:  Cegah Transmisi Lokal Bertambah Parah di Serokadan, PSBB akan Diterapkan?

Pandemi Covid-19 telah menimbulkan persoalan di masyarakat dengan mengoyak sendi kehidupan dan pola pikir semua warga masyarakat. Kita semua dihadapkan pada tantangan yang belum pernah kita pikirkan atau bahkan belum ada teori perencanaannya. Hanya dengan konsep manyama braya, semua situasi ini dapat kita lalui bersama. Melalui manyama braya yang berkonsep dasar gotong royong, krama Bali memiliki katup sosial guna secara bersama melewati aneka petaka sebagai dampak buruk pandemi Covid-19, utamanya sosial-ekonomi-budaya masyarakat. Pada kelanjutannya kita semua tidak menjadi terpuruk dan tercerai berai dalam menyelesaikan persoalan yang penuh tantangan ini.

Meski demikian, pandemi Covid-19 juga telah mendatangkan anugerah. Terhentinya aneka aktivitas manusia seakan memberi kesempatan kepada alam semesta untuk merenovasi diri. Memperbaiki segala kerusakan yang telah terjadi selama ini, akibat ulah para penghuni semesta ini menuju kondisi yang jauh lebih baik.

Di mana ada dharma pasti ada karma. Pemahaman yang sesuai dengan religiusitas krama Bali ini mengingatkan kita untuk memberi kesempatan kepada alam semesta guna menemukan titik keseimbangan barunya. Sebagaimana sebuah gunung harus erupsi pada saat magma telah tidak bisa lagi ditampung dalam kepundannya. Atau gempa bumi yang akan selalu terjadi pada saat energi dalam tumbukan lempeng bumi telah mencapai titik maksimalnya.

Baca juga:  Urgensi Pengelolaan Aset Daerah Bali

Data terbaru menunjukkan, pencemaran udara di wilayah Jakarta semakin jauh berkurang sejak diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kualitas udara Jakarta menjadi lebih baik, dengan penampakan langit terlihat begitu cerah karena polusi udara yang berkurang. Dalam kondisi langit cerah, Gunung Gede Pangrango dapat terlihat dengan jelas dari Jakarta.

Bumi beserta alam semesta seakan menemukan jati dirinya kembali, ketika tidak mendapat gangguan intervensi berlebihan dari manusia penghuni bumi. Pandemi Covid-19 yang menjadi musibah bagi manusia, bagai disambut oleh bumi sebagai momentum untuk melakukan defragment (menyusun ulang) segala tatanan alam yang ada.

Mungkin kita perlu merenung diri sebagaimana lirik Ebiet G. Ade dalam lagu ‘’Berita Kepada Kawan’’. ‘’Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita’’. Mari kita hormati dan hargai keseimbangan semesta ini, sebagaimana filosofi hidup krama Bali Tri Hita Karana.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *