DENPASAR, BALIPOST.com – Belakangan gempabumi kerap melanda Bali. Terakhir, pada Kamis (28/5), sekitar pukul 06.27 WITA. Lokasinya ada di 9.53 LS,114.07 BT (143 km Barat Daya Jembarana) dengan kedalaman 10 km.
Sehari sebelumnya pun, pada Rabu (27/5), sebuah gempabumi tektonik berkekuatan 4,4 SR melanda wilayah Buleleng. Gempa ini diikuti gempabumi susulan berkekuatan 3,3 SR.
Untuk di Buleleng, BMKG menyebut gempabumi yang terjadi merupakan jenis gempabumi dangkal akibat aktivitas sesar seririt. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukan bahwa Gempabumi ini memiliki mekanisme naik dengan kombinasi geser. Gempabumi ini tidak berpotensi tsunami.
Melihat sejarahnya, gempabumi tektonik akibat aktivitas sesar aktif pernah melanda pulau Bali yang diikuti tsunami. Salah satunya adalah struktur sesar yang terbentuk akibat hujaman balik proses subduksi, yaitu Sesar Naik Flores.
Keberadaan struktur geologi Sesar Naik Flores di timurlaut Bali bertanggung jawab terhadap sejumlah gempa besar yang diikuti tsunami, seperti gempa Bali pada tahun 1815, 1857, dan 1976.
Gempa Bumi yang terjadi 22 November 1815 memiliki magnitudo 7,0 SR dan diikuti tsunami. Peristiwa bencana ini menelan korban jiwa sebanyak 1.200 orang.
Sedangkan, gempabumi (M=7,0) yang terjadi pada 13 Mei 1857 di wilayah Bali Utara dengan episenter di laut ini dilaporkan memicu tsunami, namun tidak ada laporan korban jiwa meninggal. Sementara itu, gempabumi dengan M=6,2 yang terjadi pada 14 Juli 1976 atau yang lebih populer disebut sebagai Gempa Seririt ini menyebabkan kerusakan parah di Buleleng, Tabanan dan Negara.
Gempa ini dilaporkan memicu tsunami kecil di pantai utara Bali. Tercatat sebanyak 573 orang meninggal dunia di Buleleng, Jembrana, dan Tabanan. Sementara 4.000 orang lainnya luka-luka dan sekitar 450.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Keberadaan zona subduksi lempeng di selatan Bali juga bertanggung jawab terhadap sejumlah gempa kuat di Bali yang diantaranya diikuti tsunami. Beberapa gempa yang berkaitan dengan aktivitas subduksi lempeng adalah gempa Bali 1917, 2011, dan 2019.
Gempa Bali pada 21 Januari 1917 memiliki episenter yang terletak di sebelah tenggara Pulau Bali. Gempa ini menyebabkan longsoran yang hebat di berbagai tempat di Bali. Sekitar 80 persen dari jumlah korban gempa diakibatkan oleh longsoran.
Dalam buku “Pura Besakih”, Fox (2010) menceritakan bahwa gempa ini menelan korban jiwa sebanyak 1.500 orang meninggal, merusak 64.000 rumah termasuk istana, 10.000 lumbung beras, dan 2.431 Pura, termasuk Pura Besakih. Masyarakat Bali menjulukinya sebagai “Gejer Bali” yang artinya “Bali Berguncang”. Menurut Soloviev and Go (1974), gempa ini memicu tsunami di Klungkung dan Benoa dengan tinggi mencapai 2 meter.
Gempa Bali berkekuatan M=5,5 yang terjadi 15 September 2004 di Denpasar dilaporkan menelan 1 orang korban jiwa dan 2 orang luka-luka. Sedangkan gempa berkekuatan M=6,8 yang terjadi pada 13 Oktober 2011 melukai puluhan orang di Denpasar, Kuta, dan Nusa Dua.
Bahkan, gempa ini dirasakan di berbagai daerah seperti Mataram, Malang, dan Yogyakarta. Akibat gempa ini beberapa rumah di Bali mengalami kerusakan hingga tingkat sedang. Selain di Bali, gempa ini juga merusak rumah di Jember, Banyuwangi, dan Lumajang.
Pada 22 Maret 2017 Bali juga dilanda gempa dengan kekuatan M=6,4 yang mengakibatkan 1 orang luka-luka di Karangasem. Sementara itu, pada 16 Juli 2019 gempa dengan M=6,0 mengguncang wilayah selatan Bali.
Gempa ini merupakan bagian dari rangkaian gempa Bali akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia di zona Benioff bagian atas. Gempa ini merusak 2 gedung sekolah di Jembrana, 1 rumah roboh dan 1 rumah rusak di Buleleng, Kantor DPRD Gianyar, Pura Lokanatha Lumintang di Denpasar, dan kerusakan beberapa gedung sekolah, hotel, dan fasilitas umum.
Kepala Sub Bidang Pengumpulan dan Penyebaran Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Wilayah III Badung, Dwi Hartanto, S.Si.,MDM., menjelaskan, bahwa sesar merupakan kondisi geologi berupa rekahan yang mengalami pergeseran karena mengalami tekanan dan suhu yang rendah, sehingga sifatnya menjadi rapuh. Sesar-sesar juga merupakan hasil interaksi dari tekanan besar lempeng disekelilingnya.
Sedangkan, Lempeng merupakan bagian kerak bumi yang terus bergerak satu sama lainnya karena adanya konveksi bumi. Dikatakan, skala sesar memiliki panjang skala milimeter hingga kilometer.
Berbeda dengan dimensi zona tumbukan lempeng atau subduksi yang memiliki skala hingga ribuan kilometer. Implikasinya, energi penggerak zona subduksi lebih besar yang ditandai dengan frekuensi seismisitas yang lebih tinggi dan magnitudo yang lebih besar, apabila dibandingkan dengan sesar.
Dwi Hartanto, menjelaskan gempabumi sering terjadi karena proses konveksi sebagai dinamika bumi atau bukti bahwa proses inti bumi terus bergerak atau berotasi, maka pergerakan kerak bumi akan terus terjadi. Sehingga setiap friksi atau gesekan antara kerak bumi/lempeng serta gaya dorongnya pada sesar akan mengakomodasi terjadinya gempabumi.
Oleh karena itu, pada zona subduksi maupun pada sesar lokal gempabumi hal yang lumrah terjadi. Sehingga, orang yang tinggal diatasnya perlu beradaptasi pada wilayah yang rawan gempabumi tersebut. “Yang kita perlukan saat ini yakni mitigasi gempabumi, bisa berupa peyuluhan dan pemberian pemahaman apa itu gempabumi, apa yang harus kita lakukan sebelum, sesudah dan saat gempabumi. Pada daerah zona rawan gempabumi dapat kita lakukan dengan rumah tahan gempabumi sesuai SNI (stabdar nasional Indonesia-red) dan sebagainya,” ujar Dwi Hartanto, Kamis (28/5). (Winatha/balipost)