Elyanus Pongsoda. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kondisi perbankan di Bali masih tumbuh positif dengan indikator DPK, penyaluran kredit dan aset yang masih tumbuh positif, baik bank umum, BPR maupun lembaga keuangan non bank.

Meski demikian, kondisi Covid-19 telah membuat semua sektor usaha di Bali terpuruk, mengingat ekonomi Bali bertumpu pada pariwisata. Dari semua Provinsi di Indonesia, Bali yang paling terdampak paling keras, ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang minus 1,14 persen.

Oleh karena itu, Industri Jasa Keuangan (IJK) yang merupakan garda terdepan dalam pembiayaan pelaku usaha harus dijaga betul agar tidak membawa dampak yang lebih besar.

Kepala OJK Regional 8 Bali Nusra Elyanus Pongsoda, Kamis (28/5) mengatakan, untuk mencegah agar bank tidak sampai mengalami gangguan likuiditas dan berdampak sistemik, OJK telah mengeluarkan sejumlah kebijakan.

Baca juga:  9 Tari Bali Ini Ternyata Sudah Diakui Warisan Budaya Unesco

Salah satunya restrukturisasi yang telah berjalan saat ini. Dalam kebijakan tersebut, ada juga kebijakan untuk penilaian kualitas asset. Jika selama ini kualitas asset diukur berdasarkan tiga pilar, saat ini tinggal satu pilar yaitu ketepatan membayar. Tujuannya, agar kebijakan itu tidak berdampak kepada meningkatnya kredit non lancar di perbankan yang nantinya berdampak juga pada NPL yang tinggi, kemudian bisa berdampak juga pada rentabilitas.

“Sehingga kalau ketepatan membayar itu direstrukturisasi, menjadi dihitung lancar, sehingga tidak akan berdampak kepada pembentukan CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai) dan masih banyak lagi kebijakan – kebijakan yang lain,” ujarnya.

Khusus untuk menjaga likuiditas di Bali terutama yang menjadi kewenangan OJK Regional 8, pengawasan neraca bank umum dan BPR diakui pihaknya intens melakukan komunikasi dengan pengurus dan pemegang saham.

Baca juga:  Mulai Bangkit Lagi, Usaha Kecil di Karangasem

“Kami dari sisi OJK melakukan pembinaan dan monitoring. Saat ini kami memonitor setiap hari, yang kita rekap dalam mingguan, kira – kira yang berdampak pada penurunan likuiditas itu apa?” ungkapnya.

Khusus di lembaga BPR, membentuk Satgas likuiditas untuk memantau BPR – BPR yang dalam penyelenggaraannya mengalami penurunan likuiditas yang ditunjukkan dengan cash ratio yang menurun.

Misalnya terjadi penarikan antar bank di BPR, ia meminta jika tidak dibutuhkan oleh suatu BPR, agar jangan melakukan penarikan. Ia berharap BPR terus melakukan upaya yang optimal di internal untuk menjaga likuiditas.

Jika upaya internal sudah dilakukan, namun tetap ada bank yang bermasalah, ada kebijakan dari pemerintah yang mencegah terjadinya gangguan lebih parah yaitu kebijakan bank penyangga likuiditas, termasuk PP nomor 23 tahun 2020.

Baca juga:  NPL BPR di Bali Makin Tinggi, Lampaui Nasional

Sedangkan pada bank umum, harus melakukan langkah – langkah di internal dulu, baru kemudian bisa masuk ke pasar uang untuk mendapatkan likuiditas atau meminjam ke bank lain, dan langkah – langkah lainnya.

Dalam PP Nomor 23 Tahun 2020, ada kebijakan pemberian fasilitas likuiditas jangka pendek yang diberikan oleh Bank Indonesia juga bisa dimanfaatkan, dan upaya penempatan dana dari pemerintah jika upaya – upaya sebelumnya telah dilakukan namun tidak mampu menyelamatkan bank tersebut.

Ia berharap kondisi likuiditas IJK dapat terjaga sehingga perekonomian dapat terjaga. Karena peran perbankan sangat vital dalam melakukan fungsi intermediasi dan pembangunan. “Kalau ini tidak kita jaga, tentu risikonya sangat besar,” ungkapnya.(Citta Maya/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *