Oleh: Haris Zaky Mubarak, M.A.
Sampai hari ini persoalan wabah pandemi Covid-19 tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir. Kita juga tak mengetahui kapan aktivitas masyarakat dapat kembali berjalan normal. Estimasi Juni 2020 untuk dapat kembali sampai hari ini juga belum dapat dipastikan kebenarannya.
Sampai hari ini yang dapat dilakukan oleh pemerintah baik pusat, provinsi hingga kabupaten adalah memberikan program bantuan uang tunai dan paket sembako kepada pihak-pihak yang terdampak Covid-19. Meski ini bentuk tanggung jawab pemerintah, tetapi pertanyaannya sampai kapan kita akan bertahan dengan cara kehidupan semacam ini.
Jika wabah pandemi Covid-19 masih tetap bertahan sampai dengan waktu yang lama, maka hal mendesak yang wajib dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masalah ancaman krisis pangan dalam konteks ini tidak hanya menyangkut soal ketersediaan jumlah stok logistik yang tersimpan di gudang penyimpanan saja tetapi juga sudah menyangkut soal produktivitas dari aktivitas panen yang nyatanya telah tersendat akibat adanya pandemi dan upaya ketat kita dalam melakukan pembatasan sosial.
Dalam pokok orientasi ini pemerintah kemudian perlu memikirkan secara serius tentang masterplan kebijakan pangan seperti apa yang nantinya akan menjadi sebuah program produksi yang berkelanjutan. Apalagi, selama ini ketergantungan kita terhadap pasokan impor pangan sudah berada di level ambang batas ketergantungan. Bahkan dalam tinjauan lebih jauh mekanisme pasar pangan yang selama ini dibangun kenyataan sudah teramat melemahkan sistem pertanian di Indonesia.
Ancaman Krisis
Masalah krisis pangan akan menjadi hal nyata yang merusak sistem dan stabilitas pangan Indonesia secara keseluruhan di Indonesia. Merujuk data Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO), rantai pasokan pangan dunia hari ini terancam karena adanya kebijakan ketat dari negara dunia dalam melakukan protokoler kesehatan dalam mencegah penyebaran Covid-19. Artinya, ke depan akan ada ekosistem pangan secara global yang akan mati karena tak adanya aktivitas pertanian yang berarti di dunia.
Dalam ekosistem pangan secara global, masalah ketahanan pangan (food security) faktanya selalu menjadi pokok krusial yang menjadi tema pembahasan besar semua negara di dunia. Apalagi sejak gagasan ini dimunculkan pertama kali pada tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia (Sage 2002). Masalah ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia pada tahun 1974 sampai masuk dalam ruang kehidupan kita hari ini telah memberi banyak perubahan besar pada level global dan nasional, di mana orientasi pangan akhirnya menjadi pokok kebutuhan dasar (food first perspective) dari penghidupan manusia.
Sejak pandemi Covid-19 merebak, sejumlah negara besar dunia termasuk Indonesia nyatanya mengalami kesulitan dalam mempertahankan produktivitas masa panen pertanian secara maksimal. Rantai pasokan pangan kita terganggu karena kebijakan pembatasan sosial yang membatasi efektivitas waktu operasional pelabuhan dalam mendistribusikan pangan dalam lintas wilayah dan negara.
Perhitungan Matang
Andai menarik pada rumusan perhitungan ekonomi maka implikasi besar dari Covid-19 terhadap pertanian Indonesia dapat terlihat dari melemahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang berkisar pada angka 0,3%-0,6% yang menyiratkan adanya laju pelemahan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Total produktivitas pertanian pun dalam masa pandemi ini dipastikan berkurang sekitar 3,5% akibat turunnya produktivitas tenaga kerja.
Tak hanya soal produktivitas kerja, menurunnya daya tumbuh ekonomi global akibat tekanan Covid-19 sudah pasti akan memengaruhi produksi pertanian dengan besaran yang berlainan. Karena selain produksi pertanian, sektor industri pangan dan sektor ekonomi lain juga akan mengalami penurunan. Kondisi ketidakpastian itu mendorong spekulasi harga, penurunan atau kenaikan harga pangan dan akan terjadi pada keseluruhan total komoditas sektor pertanian maupun nonpertanian.
Ketidakteraturan dan ketidakpastian kondisi perekonomian global sebagai dampak dari semakin ganasnya penyebaran Covid-19 semakin memperparah kondisi perekonomian global. Untuk menekan ketidakpastian ekonomi pertanian secara luas, kemungkinan besar kebijakan antisipasi Kementerian Pertanian Indonesia saat ini akan lebih mengoptimalkan program padat karya tunai dan bantuan bibit/benih serta sarana-prasarana produksi. Tetapi apakah kebijakan taktis pertanian ini efektif dalam mencegah ambruknya ketahanan pangan Indonesia tentu hal ini masih jadi tanda tanya besar.
Satu hal penting yang layak direspons secara utuh dalam upaya pencegahan krisis ketahanan pangan di Indonesia adalah dengan mengoptimalkan peran pemetaan distribusi pangan. Seperti halnya dalam mengatur proyeksi produktivitas pangan maksimal yang dapat dicapai selama masa pandemi Covid-19. Di mana kita harus dapat memastikan ketersediaan (stok) pangan nasional kita dan menemukan sejak dini daerah mana saja yang dianggap berisiko rawan akan terjadinya krisis pangan. Selain itu, kepastian dalam hal kelancaran logistik pangan antarwilayah serta distribusi pangan ke level konsumen idealnya juga tak boleh terganggu.
Pemerintah Indonesia hari ini perlu bergerak cepat dalam membuat strategi yang lebih matang terkait proyeksi kantong produksi pangan pada setiap kabupaten/kota dan segera melakukan pemetaan kerentanan ketahanan pangan. Dalam kondisi seperti saat ini, tata kelola manajemen cadangan pangan darurat kiranya perlu untuk dipersiapkan secara serius oleh pemerintah Indonesia karena secara praktis konstelasi dari pengaturan hulu dan hilir arah distribusi pangan akan memacu produktivitas pangan mampu tumbuh secara normal. Akhir kata, ketahanan pangan akan dapat kita pertahankan terus-menerus jika kita mau bersama-sama melakukan upaya strategis pertanian yang relevan guna meminimalisasi kemungkinan terjadinya krisis itu sendiri.
Penulis, peneliti dan eksekutif Jaringan Studi Indonesia