Wayan Windia. (BP/dok)

Oleh : Wayan Windia

Musim kemarau akan segera hadir di Indonesia. Ahli-ahli klimatologi memperkirakan bahwa kawasan langganan kekeringan akan kembali menderita ancaman yang sama. Serangan wabah Corona belum berlalu, tetapi serangan ancaman kekeringan sudah mulai tiba. Betapa beratnya problema yang harus dihadapi oleh negara. Bahwa masalah pangan akan kembali menjadi ancaman yang nyata. Suatu problema yang sangat esensial, dan tidak boleh dianggap sepele.

Presiden Jokowi sudah mulai wanti-wanti kepada bawahannya. Sementara itu, Ketua Umum PDI-P Megawati juga menyerukan hal yang senada. Ia berseru kepada anak buahnya yang menjadi kepala daerah, untuk bersiap mengantisipasi ancaman kedaulatan pangan. Mega tampaknya memberikan peringatan awal. Bahwa konduite anak buahnya akan dinilai dari kemampuannya untuk mengendalikan ancaman kedaulatan pangan di daerahnya masing-masing.

Urusan pangan adalah urusan perut bangsa. Banyak pemimpin bangsa yang jatuh karena urusan pangan. Ekonom Gunnar Myrdal mengatakan bahwa pembangunan pertanian (yang menghasilkan pangan) selalu mengundang pro dan kontra. Tetapi akan menentukan apakah suatu bangsa akan hancur atau tidak.

Oleh karenanya, patutlah Jokowi dan Megawati mulai wanti-wanti. Tetapi patutkah Megawati meminta kepala daerah bawahannya untuk bersiap mengamankan kedaulatan pangan Indonesia? Konsep kedaulatan pangan mencakup tiga hal. Yakni: (1) mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri; (2) mengatur kebijakan pangan secara mandiri; dan (3) melindungi dan menyejahterakan petani sebagai pelaku utama usaha pertanian pangan.

Baca juga:  Bulog Targetkan 7 Ribuan Ton Beras Petani Bali Diserap, Tercapai Sudah 81 Persen

Dengan memahami ketiga dimensi kedaulatan pangan itu maka konsep kedaulatan pangan pada dasarnya adalah memiliki dimensi makro. Artinya, kebijakan tentang kedaulatan pangan menyangkut kebijakan negara (pemerintah pusat). Oleh karenanya akan lebih baik kalau Megawati meminta kepada kadernya yakni Jokowi untuk menata kebijakan menuju kedaulatan pangan tersebut.

Tentu saja hal tersebut tidak mudah dilaksanakan oleh Jokowi. Karena kita telanjur lebih memihak kepada konsumen dibandingkan dengan petani (sebagai produsen). Atas nama serangan inflasi, maka produk pertanian (padi) harus dijual murah. Tidak sebanding sengan nilai input yang diinvestasikan.

Sehingga petani yang menanam padi satu hektar, penghasilannya mirip dengan pengemis jalanan, atau buruh bangunan. Kalau harga beras agak meningkat, maka pemerintah buru-buru melakukan impor. Harga drop lagi. Kasihan petani kita. Mereka sudah menjadi kerak kemiskinan, tetapi harus berjuang menjadi bumper inflasi.

Hal yang sama dialami juga oleh petani tebu. Bahkan untuk komoditas kedelai dan bawang putih, kita praktis tergantung dari impor. Karena petani kedelai dan bawang putih sudah hancur lebur.

Kalau kita ingin berdaulat dalam hal pangan, maka konsep pembangunan pertanian harus berubah total 180 derajat. Negara harus memihak petani (produsen). Petani diberikan harga yang menggairahkan, agar mereka senang bertani. Maka petani pasti akan bertani dengan baik. Generasi muda pasti akan senang terjun ke sektor pertanian. Alih fungsi sawah akan terkendali.

Baca juga:  Petani Bali Harus Jadi Tuan Rumah di Wilayah Sendiri

Para petani sudah bersuara banyak, bahwa mereka tidak perlu lagi diberikan subsidi input. Mereka memerlukan subsidi output. Artinya dana subsidi yang sekarang dialokasikan untuk petani, langsung dinikmati oleh petani. Kalau sekarang, dana subsidi untuk petani, dinikmati dulu oleh para pengusaha dalam bentuk berbagai proyek. Kemudian baru mengalir ke petani dalam bentuk masin dan lain-lain, yang tidak selalu cocok untuk petani di lapangan.

Kalau betul akan ada lagi GBHN maka konsep pembangunan pertanian yang baru harus tercantum dalam GBHN. Para elite, birokrat, dan masyarakat luas (khusus non-petani) harus siap sementara hidup prihatin. Untuk apa? Untuk kepentingan eksistensi bangsa dalam jangka panjang secara berkelanjutan. Contohnya seperti saat ini, berkait dengan adanya serangan virus Corona. Dapat dibayangkan, betapa akan kacau-balaunya negara ini kalau tidak ada persediaan pangan yang cukup.

Kalau tokoh kita memiliki devisa yang cukup, maka tidak gampang untuk mengimpor bahan makanan. Karena setiap negara akan lebih mengutamakan cadangan pangan bangsanya. Di pihak lain kita juga takut, kalau-kalau pangan yang diimpor mengandung bibit virus Corona. Wajah bangsa dan kehormatan negara di forum internasional akan sangat ditentukan, apakah suatu bangsa mampu memberikan makan kepada bangsanya.

Baca juga:  Produk Petani Bali

Di masa depan (setelah berlalunya serangan virus Corona) akan ada kecenderungan negara-negara lebih proteksionis. Proses produksi akan lebih berorientasi ke dalam negeri. Aura globalisasi akan berubah arah. Virus Corona sudah memberikan pelajaran berharga. Ternyata tiba-tiba saja kita memerlukan APD, masker, sanitizer, alat pengukur tubuh, dll. dan kita ternyata tidak siap dengan segera.

Apalagi masalah pangan. Kita jangan coba-coba untuk lalai memperhatikan petani produsen. Jangan terus meladeni konsumen yang hidup dalam zona nyaman. Konsep kedaulatan pangan memerlukan kesepakatan negara. Semua pihak harus mendukungnya, demi untuk keberlanjutan kehidupan bangsa. Oleh karenanya, Megawati perlu berbicara dengan Jokowi. Megawati juga perlu melobi komponen bangsa yang lain, agar siap dengan proses pembangunan berbasis GBHN. Dengan demikian, semua komponen bangsa bisa terlibat ikut merumuskannya. Rencana pembangunan negara tidak hanya dibuat oleh partai pemenang pemilu, berbasis Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).

Penulis, Guru Besar (E) pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana, dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Made Sanggra, Sukawati

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *