Oleh: I Wayan Ramantha
Mulai dari awal keberadaannya, pariwisata Bali telah didasari oleh budaya lokal. Berdasarkan catatan sejarah, budaya Bali menjadi penyebab Cornelius Houtman (kapten kapal laut Belanda) pada tahun 1597 tidak mau meninggalkan Pulau Dewata. Konon semua awak kapal pada waktu itu setuju dengan keputusan kapten, karena mereka sangat tertarik dan terpesona akan budaya Bali.
Sejak itu hingga sekarang, pariwisata yang berkembang di Bali adalah pariwisata budaya. Kini hasil survei juga membuktikannya, di mana 65 persen dari wisatawan yang datang menyatakan ketertarikannya terhadap pariwisata Bali karena budayanya, 30 persen tertarik karena alamnya, dan 5 persen karena wisata buatan.
Kita pun bangga, karena Bali menjadi panutan (role model) pengembangan pariwisata nasional. Kita bangga, karena Bali menjadi destinasi pariwisata terkemuka dunia. Berbagai penghargaan telah kita peroleh di bidang pariwisata. Semua itu karena pariwisata Bali adalah pariwisata budaya.
Kini kita semua sedang memikirkan era baru kehidupan masyarakat Bali. Setelah tiga bulan lebih bekerja, belajar, beribadah, bahkan berbelanja dari rumah, memang saatnya kita memikirkan, salah satunya ekonomi Bali. Ekonomi regional Bali kini menjadi lebih berat dibandingkan dengan ekonomi nasional.
Dalam 10 tahun terakhir, sebelum Covid-19, ekonomi Bali rata-rata tumbuh antara 0,5 sampai 1 persen di atas rata-rata nasional. Kini pada triwulan I 2020 menurut data BI, ekonomi nasional masih tumbuh 2,97 persen, sedangkan ekonomi Bali tumbuh minus (-) 1,14 persen. Penyebabnya sudah pasti, karena sektor pariwisata terkena dampak paling parah dari COVID-19.
Berpikir tentang pariwisata ke depan, tentu tidak bisa lepas dari ciri normalitas kehidupan baru yaitu kebersihan, kesehatan dan keamanan. Sementara sebagian dari budaya Bali yang biasanya menjadi atraksi pariwisata, bertentangan dengan aspek-aspek itu.
Budaya komunal masyarakat Bali yang begitu kental, nampak jelas dalam banyak pertunjukan seni tabuh, seni tari, upacara agama dan lain sebagainya yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pembatasan jarak aman antarmanusia (social distancing/physical distancing). Karena itu pula muncul pertanyaan, terutama dari kalangan pelaku bisnis: masihkah pariwisata budaya kita punya ‘’nilai jual’’?
Kalau mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, kita akan optimis, karena sesungguhnya seni pertunjukan hanya merupakan bagian kecil dari sekian banyak komponen budaya Bali. Kita masih punya tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, situs, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni selain tari massal, arsitektur tradisional, bahasa, permainan rakyat, serta budaya benda dan tak benda yang lain.
Semua itu masih bisa kita gali, kembangkan dan lestarikan menjadi daya tarik wisata. Namun dengan penuh kehati-hatian, karena harus pula diakui, cukup banyak budaya kita punah karena ulah kita yang hanya fokus pada kemajuan ekonomi.
Pariwisata Ramah Lingkungan
Wakil Gubernur Bali Prof. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (BP, 29/5) mengatakan bahwa dulu kita mengabaikan alam hanya untuk kepentingan komersial. Ke depan, sektor pariwisata dan investasi ekonomi harus ramah lingkungan.
Pernyataan itu memang harus kita apresiasi dan jadikan pedoman ke depan, sambil merenung, bahwa sesungguhnya dari dulu pernyataan serupa sulit menjadi kenyataan. Pernyataan serupa sudah lama tersurat, tetapi tidak tersirat dalam praktiknya.
Filosofi Tri Hita Karana yang merupakan warisan nenek moyang kita, sebetulnya sejak tahun 1969 telah tersurat, tetapi tidak tersirat sebagai landasan pembangunan Bali. Sejak tahun 2000 telah digunakan mensertifikasi akomodasi pariwisata dengan sebutan Tri Hita Karana Award (THK Award), tetapi yang namanya ramah lingkungan dalam pariwisata, yang oleh filosofi Tri Hita Karana disebut palemahan, rasanya masih jauh panggang dari apinya.
Kalau mindset kita tidak pernah berubah, mungkin saja THK Award nanti bisa diperoleh oleh hotel yang dibangun di atas tanah reklamasi Pelabuhan Benoa. Terkait dengan wacana bisnis ramah lingkungan, John Elkington (1994) di tingkat global telah memperkenalkan etika bisnis yang selaras dengan Tri Hita Karana.
Mereka menyebutnya Triple Bottom Line yang terdiri atas Profit, People, Planet (3P). Sejak saat itu, dunia usaha di tingkat global memiliki konvensi atau kesepakatan: silakan mencari keuntungan (profit) dengan perhatian yang seimbang terhadap kemanusiaan (people/pawongan) dan lingkungan alam (planet/palemahan).
Konsumen pun di tingkat global sudah mulai dapat menghargai langkah itu. Artinya, kalau di sektor pariwisata konsumen yang disebut wisatawan, akan berani membayar lebih mahal pada akomodasi ataupun objek wisata yang ramah orang dan lingkungan.
Karena itu, ke depan di era baru pariwisata budaya, kita tidak perlu khawatir kalau tari Kecak atau kolosal lainnya, untuk sementara waktu tidak bisa dipentaskan. Pariwisata budaya tetap dapat dipertahankan, bahkan kita tingkatkan melalui penyelarasan antara pernyataan dan kenyataan filosofi Tri Hita Karana yang merupakan budaya tak benda.
Melalui langkah itu pula, otomatis kita akan menjaga alam Bali secara sungguh-sungguh. Pada akhirnya, kita boleh berharap ide quality tourism tidak hanya sebatas wacana.
Penulis, pelaku bisnis dan Guru Besar FEB Unud