Lampu
Rai Ridartha. (BP/nik)

Oleh: I Made Rai Ridartha, ATD., Dipl.UG., M.Eng.Sc.,ATU.

Sejak mewabahnya pandemi COVID-19 di seluruh dunia, maka aktivitas dunia lumpuh, kelimpungan dan hilang gairah. Seluruh sektor kehidupan dan lapisan masyarakat diwajibkan untuk mengikuti petunjuk pemerintah tersebut.

Banyak pihak meyakini bahwa COVID-19 tidak akan pernah hilang sama sekali, karena virus ini akan tetap ada selamanya. Dengan situasi seperti itu, maka akhirnya muncul sebuah pemikiran, bahwa hidup akan selalu berdampingan dengan virus ini. Muncullah pernyataan bahwa hidup harus bisa berdamai dengan COVID-19. Wujud berdamai yang dimaksudkan diterjemahkan ke dalam istilah era kenormalanan baru (new normal).

Era baru adalah sebuah wacana dan rencana yang penerapannya masih dalam perbincangan dan bahkan perdebatan. Penerapannya direncanakan akan dilaksanakan pada daerah-daerah dengan kategori hijau, jumlah kasus positif yang relatif rendah dan strategi penanganannya tergolong baik.

Kendatipun demikian, rencana ini sudah ramai dibicarakan. Pro dan kontra terhadap penerapannya muncul tidak saja dari berbagai kalangan, namun juga dari daerah yang masuk dalam rencana. Alasan yang dikemukakan berbeda-beda, mulai dari belum siapnya daerah tersebut, hingga adanya kesulitan-kesulitan.

Pihak yang pro menyuarakan bagaimana era baru ini akan mampu memperbaiki situasi. Sementara yang kontra selalu berupaya untuk mencari jalan agar ketika terjadi pelonggaran pembatasan bisa kembali hidup dan beraktivitas sama seperti sebelumnya (normal but not new). Lebih-lebih lagi jika ketentuan tersebut akan mengganggu periuk nasi mereka. Akan terjadi perubahan dan pergeseran yang cukup besar dari aktivitas yang biasa dilakukan selama ini, termasuk aktivitas pada sektor transportasi.

Sebagai urat nadi perekonomian, maka sektor transportasi menjadi salah satu yang mendapatkan perhatian istimewa. Bagaimana era baru akan berpengaruh atau memengaruhi sektor transportasi, apakah akan ada perubahan pada dimensi operasionalnya, atau dimensi lainnya tentu ada baiknya dilakukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat.

Baca juga:  “Pegat Wakan” Dharma Terputus?

Banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi calon penumpang sebelum bepergian. Penumpang harus melengkapi diri dengan dokumen-dokumen tertentu dan alasan-alasan yang memenuhi syarat sebagaimana Surat Edaran Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang. Dokumen yang dimaksud  seperti antara lain surat keterangan yang menyatakan mereka tidak terkena dampak COVID-19 yaitu berupa surat hasil rapid test nonreaktif atau hasil PCR/swab negatif.

Semua penumpang yang diperbolehkan bepergian sesuai kriteria dalam SE Gugus Tugas akan diatur dengan pembatasan dan penerapan protokol kesehatan sesuai dengan amanat Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 dan Permenhub Nomor 25 Tahun 2020. Persoalannya adalah di samping ada kesulitan dalam memperoleh tes, juga memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit.

Melihat situasi yang ada saat ini dan akan terus ada untuk waktu-waktu ke depan, maka pelayanan transportasi publik harus dipikirkan dengan lebih seksama berkaitan dengan era new normal tersebut. Apalagi saat ini sepeda motor dengan kelompok ojolnya memberikan tekanan yang sangat besar dan bersikeras diizinkan untuk mengangkut penumpang.

Dimensi transportasi publik menjadi bergeser dan bertambah sebagai dampak dari upaya percepatan penanggulangan COVID-19 tersebut. Secara umum, pelayanan transportasi publik saat ini diarahkan pada pelayanan dengan prioritas angkutan massal, pada seluruh matra transportasi.

Transportasi massal akan memberikan efek pada efisiensi perjalanan, baik waktu, biaya dan lingkungan. Dengan mengangkut penumpang lebih banyak, maka semua pembiayaan dapat ditekan menjadi lebih murah.

Baca juga:  Menguatkan Pendidikan Karakter Remaja

Biaya operasional menjadi turun, tarif angkutan dapat dikurangi, penggunaan BBM dapat dihemat, lingkungan menjadi lebih sehat karena berkurangnya polusi udara. Tingkat kecelakaan pun akan menjadi berkurang, terutama pada transportasi darat.

Namun dengan adanya rencana era new normal, maka akan ada yang berubah. Terdapat dimensi yang bergeser atau bahkan akan berubah antara lain: 1) Dimensi teknis, seperti adanya kewajiban setiap kendaraan menyediakan perlengkapan untuk mendukung protokol kesehatan seperti perlengkapan cuci tangan dikendaraan. Untuk sektor transportasi udara dan laut, termasuk kereta api mungkin tidak akan menemui permasalahan dalam penyediaannya. Namun untuk transportasi darat (angkot misalnya) akan menjadi sebuah masalah besar.

2) Dimensi operasional, frekuensi akan bertambah sementara jumlah yang diangkut tidak dapat maksimal karena physical distancing. Wide body aircraft dengan kapasitas angkut penumpang yang besar akan menjadi sia-sia. Big buses hanya akan mengangkut penumpang seperti layaknya kapasitas small buses. Gerbong yang besar pada rangkaian kereta api seolah-olah sesuatu yang mubazir.

3) Dimensi pembiayaan, rencana penerapan ketentuan 50% penumpang maksimal yang dapat diangkut akan menyebabkan adanya penambahan biaya (BOK maupun tarif). Biaya operasional kendaraan (BOK) adalah tanggung jawab penyedia jasa. Sementara itu tarif menjadi tanggung jawab penumpang. Akan terjadi pembengkakan BOK maupun bertambah besarnya tarif. Akan ada selisih yang siginifikan sebelum dan saat penerapan new normal.

Sepanjang pemerintah tidak dapat memenuhi selisihnya (mekanisme subsidi), maka beban biaya akan berada di antara pengusaha dan penumpang. Konsep angkutan massal tidak dapat lagi diteruskan, padahal inilah yang menggerakkan busway di Jakarta, BRT di beberapa kota di Indonesia, commuter line di Jakarta maupun angkot secara keseluruhan.

Baca juga:  Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah dan Kereta Api

Jika rencana pembatasan jumlah penumpang tetap dilaksanakan maka pemerintah harus siap dengan skema subsidi atau bahkan pembelian layanan (buy the service). Sanggupkah pemerintah memenuhi keperluan tersebut? Bila ini terjadi maka kondisi inilah yang disebut dengan dimensi baru transportasi, di mana ruang yang tersedia menjadi tidak terpakai secara optimal, sedangkan kapasitas tidak dapat diperkecil.

Selain itu, penyedia jasa transportasi harus menempatkan pertimbangan kesehatan yang paling utama selain safety dalam standar pelayanan minimalnya. Safe belum tentu health, demikian juga sebaliknya health belum tentu safe. Jadi dimensi baru yang harus dihadirkan pasca-COVID-19 atau setidaknya era new normal adalah healthy and safety pada penyediaan dan pelayanan transportasi publik dan dapat dijangkau oleh masyarakat penggunanya.

Jadi, untuk antisipasi era new normal pada sektor transportasi, maka pengendalian physical distancing dengan rencana mewajibkan hanya boleh mengangkut 50% penumpang dari kapasitas angkut yang tersedia tentu harus dipertimbangkan dengan baik. Penyedia jasa dan penumpang harus siap berbenah dengan perilaku yang lebih tertib dan disiplin, jika tidak diberlakukan pembatasan kapasitas.

Masing-masing penumpang harus telah siap dengan alat-alat pelindung diri secukupnya untuk menghindari terkena segala jenis penyakit. Untuk dapat mencapai health, safe dan economic tentu harus dibuat ketentuan yang dapat mewadahi semua kepentingan, karena inilah sebetulnya benang merah dari sebuah kata berdamai dalam era kenormalan baru.

Penulis adalah Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Wilayah Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *