Cokorda Gede Bayu Putra. (BP/Istimewa)

Oleh: Cokorda Gde Bayu Putra

Keberadaan desa adat di Bali telah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad serta memiliki hak asal-usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Keberadaannya juga secara nyata telah mampu memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.

Lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali semakin mengukuhkan komitmen dan perhatian Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam mengayomi, melindungi, membina, mengembangkan, dan memberdayakan desa adat guna mewujudkan kehidupan krama Bali yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Guna menunjang pembangunan desa adat menuju pada kasukertan tata parahyangan, palemahan, dan pawongan, diberikan ruang bagi desa adat di Bali untuk menggerakkan perekonomian desa adat dengan membentuk Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA). BUPDA merupakan unit usaha milik desa adat yang melaksanakan kegiatan usaha di bidang ekonomi riil, jasa, dan/atau pelayanan umum, kecuali usaha di bidang keuangan, yang diselenggarakan berdasarkan hukum adat serta dikelola dengan tata kelola modern untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian krama desa adat.

Baca juga:  Awasi Ketat Dana Desa Adat

Hakikat pendirian BUPDA tidak saja dipandang sebagai utsaha desa yang mampu menggerakkan ekonomi dan sektor riil, namun juga keberadaannya dipercayai sebagai tempat mencurahkan idealisme dan militansi krama dalam usaha memajukan desa adat yang berdaya saing dan berkelanjutan. Sebagai sebuah badan usaha yang berorientasi pada profit (laba), maka tentu kewajiban menyajikan ‘’laporan keuangan’’ sebagai sebuah media pertanggungjawaban melekat pada BUPDA itu sendiri seperti yang sama dilakukan oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di bidang usaha keuangan desa adat (belakangan disebut sebagai Labda Pacingkreman Desa Adat).

Laporan keuangan menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu organisasi (entitas) yang bermanfaat bagi pengguna dalam pengambilan keputusan ekonomi. Pengelola BUPDA memikul tanggung jawab utama dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan setiap akhir periode bulanan dan periode tahunan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya.

Baca juga:  Jangan Samakan Desa Adat dengan Preman

Jika BUPDA mengadopsi kaidah penyajian laporan keuangan entitas bisnis berbadan hukum PT, maka kewajian menyajikan laporan keuangan yang lengkap terdiri atas neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan sesuai dengan pernyataan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia.

Sebagaimana filosofi Pendirian BUPDA yang penyelenggaraannya didasarkan pada hukum adat sesuai dengan yang dijelaskan dalam Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019, maka pembentukannya wajib tertuang dalam pararem desa adat. Keberadaan pararem desa adat tentang pembentukan dan pendirian BUPDA tersebut sesungguhnya memberikan peluang terhadap kemandirian desa adat dalam hal mengatur penyajian laporan keuangannya dengan memunculkan sebuah format dan desain laporan keuangan yang kental akan nilai-nilai kearifan lokal dan kebudayaan Bali.

Tentu, penyajian laporan keuangan yang berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal Bali tersebut secara prinsip wajib tidak melenceng dari lima informasi yang ditampilkan oleh sebuah laporan keuangan, yaitu aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan dan beban, serta arus kas. Keunikan yang mungkin dapat ditampilkan sebagai ‘’diferensiasi’’ penyajiannya adalah dengan menyajikan ‘’akun-akun keuangan’’ menggunakan istilah berbahasa Bali atau lebih brutal lagi dengan menyajikan laporan keuangan menggunakan aksara Bali, sama seperti yang diwajibkan oleh Pemerintah Provinsi Bali kepada desa adat dalam hal penyusunan awig-awig dan pararem.

Baca juga:  Pergolakan Perempuan Bali Saat Pandemi

Sebuah mimpi akan penyajian laporan keuangan yang unik tersebut setidaknya menyiratkan sebuah harapan akan terciptanya kolaborasi antara kemandirian ekonomi dan kedaulatan kebudayaan dalam bingkai pelaporan keuangan di tatanan lembaga desa adat. Ke depan, kiranya juga menjadi sebuah renungan bersama terlebih bagi Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam merumuskan produk regulasi penyusunan laporan keuangan yang mengedepankan bahasa, sastra dan aksara Bali tanpa menghilangkan esensi kerangka dasar dari sebuah penyajian laporan keuangan.

Penulis, dosen Fakultas Ekonomi Unhi Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *