DENPASAR, BALIPOST.com – Desa Adat Pancasari tak hanya dikenal sebagai penghasil utama sayur-mayur atau karena produksi buah strawberry yang nyaris tersedia sepanjang tahun. Tetapi juga pesonanya yang dikelilingi hutan cagar alam serta hutan taman wisata alam Danau Bulian (Buyan – red) dan Danau Tamblingan.
Udaranya yang sejuk berkisar 18-20 derajat Celcius menjadi kelebihan lain dari desa adat di Kecamatan Sukasada, Buleleng ini. “Ini satu anugerah Tuhan karena di filosofi Bali pun berdasarkan cerita para panglingsir terdahulu, Pancasari kan pegang dua hulunya Bali,” ujar Bendesa Adat Pancasari I Gusti Ngurah Agung Dharma Wirata dalam dialog “Sosialisasi Nangun Sat Kerthi Loka Bali di Kabupaten Buleleng” di Bali TV, Senin (8/7).
Dharma Wirata menambahkan, ada gunung dan hutan sebagai ulu suci atau tempat bersemayamnya manifestasi Tuhan serta Danau Bulian yang merupakan satu dari empat ulu merta jagat Bali. Sebagai pangempon ulu suci dan ulu merta jagat Bali, bisa dikatakan wana kerthi dan danu kerthi dalam visi ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’ ada di Pancasari.
Sejak zaman dahulu, secara turun-temurun rutin digelar upacara pangelem (korban suci) yang merupakan bentuk puji syukur kepada Tuhan atas anugerah air sebagai sumber kehidupan. “Sampai saat ini kita tidak berani istilahnya munggelin yadnya. Apalagi sekarang dengan konsep “Nangun Sat Kerthi Loka Bali,” ini luar biasa,” jelasnya.
Secara khusus, Dharma Wirata mengapresiasi kebijakan pembatasan timbulan sampah plastik yang digulirkan Gubernur Wayan Koster sebagai bentuk kepedulian terhadap alam atau bhuana agung. Seperti halnya masyarakat Pancasari yang fanatik menjaga hutan tetap lestari hingga kini. Tak hanya soal topografi wilayah yang berada di lembah dan menghindari terjangan banjir bandang, masyarakat juga meyakini hutan yang terjaga kelestariannya dapat memberikan kesejahteraan kepada mereka.
Terbukti lewat pengembangan camping ground di Taman Wisata Alam Danau Buyan-Danau Tamblingan yang selama ini telah meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. ‘’Kalau masyarakat ekonominya sudah meningkat, untuk menarik partisipasi masyarakat menjaga kelestarian hutan itu sendiri akan makin tinggi. Kalau lengah, kami melakukan perusakan hutan, kami bisa terkubur dan kerugian luar biasa itu,’’ imbuhnya.
Menurut Dharma Wirata, pecalang di desa adat setempat bermitra dengan polisi hutan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan hutan. Ada sanksi yang menanti bagi para pelanggar. Terutama sanksi adat yang cukup berat ditambah sanksi moral dengan digiring keliling kampung.
Sebagai garda terdepan wana kerthi dan danu kerthi, pihaknya juga menanamkan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan danau kepada generasi muda atau para yowana. Mereka harus paham bahwa hutan adalah ‘’titipan’’ untuk generasi berikutnya, sehingga harus dijaga demi kelangsungan hidup tanpa perlu diperdebatkan lagi.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) Provinsi Bali I Made Teja mengatakan, misi 11 dan misi 21 merupakan penjabaran visi Gubernur yang terkait dengan KLH. Yakni bagaimana menjaga Bali hijau, lestari dan indah, yang mencakup hutan, danau, sungai dan laut. Ada dua kata kunci yang harus dijaga mengacu pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yakni perlindungan dan pengelolaan.
Salah satu bentuk perlindungan adalah menjaga hutan yang berbatasan dengan desa adat. Terbitnya Perda tentang Desa Adat di Bali memberikan peluang yang lebih besar kepada desa adat untuk berkolaborasi dengan desa dinas dalam melakukan pengelolaan bersama menjaga hutan, danau, sungai, mata air dan laut. ‘’Kolaborasi ini yang terus kita bangun untuk menjaga Bali ke depan lebih baik, sehingga visi menjaga Bali supaya bersih, indah dan hijau bisa kita wujudkan sepenuhnya secara bertahap,’’ ujarnya.
Selama ini, lanjut Teja, upaya pengawasan dari dinas untuk mencegah terjadinya kasus seperti pencurian kayu telah dilakukan melibatkan aparat terkait serta desa adat dan desa dinas. Pelibatan desa adat dan desa dinas juga dilakukan pada upaya pendampingan. Salah satunya dalam pengembangan hutan desa di Bali terkait Program Perhutanan Sosial.
Yakni dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat sekaligus perekonomian mereka yang berbatasan dengan hutan. Namun, hutan masih tetap lestari walaupun dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dalam meningkatkan kesejahteraannya.
‘’Memang beberapa kawasan yang sekarang kita kembangkan, belum sepenuhnya juga maksimal karena mereka belum memahami secara utuh. Di sinilah perlu pendampingan kita,’’ paparnya.
Selain menjaga kelestarian hutan, Teja menyebut Bali kini juga tengah berupaya menekan penggunaan plastik sekali pakai yang berpotensi mencemari lingkungan. Pihaknya sudah melakukan pendekatan dengan distributor untuk bisa mengurangi plastik.
Kemudian desa adat khususnya diharapkan pula agar berperan dalam upaya pengelolaan sampah berbasis sumber. Masing-masing desa adat agar mengelola sampahnya sendiri. ‘’Memang ini cukup berat, memerlukan waktu cukup panjang mengingat masyarakat belum biasa melakukan pemilahan di sumbernya,’’ jelasnya. (Rindra Devita/balipost)