AA Sri Wahyuni. (BP/dok)

Oleh : Dr. dr. Anak Ayu Sri Wahyuni, Sp.KJ.

Peningkatan kasus positif (swab) COVID-19 setelah arus balik hari Lebaran disertai penerapan new normal life, pusat-pusat perbelanjaan mulai dibuka, dan rumah makan, hal yang tidak dapat dihindari oleh masyarakat Bali, khususnya Kota Denpasar. Sebagai contoh, siapa pun saat menjalani tes kesehatan seperti tes laboratorium pastilah dihantui perasaan cemas menunggu hasilnya.

Demikian pula di masa pandemi ini, ketika ada transmisi lokal, masyarakat di sekitarnya harus menjalani tes swab. Jika seseorang dalam keluarga positif, apalagi bersama beberapa anggota keluarga lainnya dinyatakan positif COVID-19 walaupun tanpa gejala, dapat dipastikan akan menimbulkan stress.

Perasaan menolak, tidak menerima kenapa terinfeksi COVID-19? Walau sudah menjaga diri agar tidak terinfeksi virus yang belum jelas diketahui bagaimana menghentikan penularan antarmanusia.

Karantina atau isolasi adalah salah satu cara mencegah meluasnya penularan dari seorang dengan positif swab (PDP) tanpa gejala atau dengan gejala. Isolasi di rumah sakit atau tempat-tempat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai tempat isolasi.

Salah satu protokol selama isolasi adalah pemeriksaan swab (RT PCR) setiap lima hari sampai dinyatakan negatif dua kali, baru dapat menjalani isolasi mandiri. Bagaimanakah perasaan seseorang saat dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan (PDP), selanjutnya menjalani isolasi?

Baca juga:  Implikasi Rendahnya Kompetensi Numerasi Siswa Bali

Pernahkah terbayang seperti masuk sangkar emas, semua disiapkan. Namun menunggu empat belas hari, terasa sebulan, walau ada sarana komunikasi smartphone yang dapat menghubungkan dengan dunia luar.

Perasaan cemas kapan akan negatif, takut bagaimana jika sudah diizinkan pulang? Apakah masyarakat akan menjauh? Gelisah sampai kapan akan berada jauh dari keluarga, sulit tidur tentu saja muncul karena tidak ada privasi (satu ruangan bersama dengan orang lain).

Berita-berita yang disampaikan secara resmi oleh Juru Bicara Gugus Tugas Nasional maupun Provinsi, selalu kasus sembuh lebih kecil daripada yang kasus positif baru. Setelah ditelusuri lamanya virus di tubuh seseorang sangat bervariasi.

Seorang PDP sampai 8 minggu, bahkan ada yang 12 minggu, hasil tes positif sehingga belum memungkinkan untuk isolasi mandiri. Secara teori stress yang berkepanjangan akan menjadi distres yang akan menurunkan daya tahan tubuh.

Meningkatkan perasaan tidak nyaman yang subjektif seperti meriang, sesak, berkeringat dingin, semutan, namun saat dilakukan pemeriksaan suhu tubuh normal, paru-paru dalam batas normal. Saat gejala-gejala tersebut muncul, kurang mendapat perhatian oleh tim medis, dianggap wajar dalam situasi distres karena perawatan.

Baca juga:  Hampir 2 Pekan Bali Catatkan Korban Jiwa COVID-19, Hari Ini Lebih Banyak Dibanding Sehari Sebelumnya

Namun, gejala ini perlu dikenali dari awal saat masuk tempat isolasi/karantina karena akan memerngaruhi secara tidak langsung lamanya perawatan seorang PDP. Pelaksanaan standar pelayaan seorang PDP, di rumah sakit atau luar rumah sakit sudah seharusnya melakukan pemeriksaan awal kondisi mental PDP, selanjutnya dapat dilakukan psiko-edukasi dengan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) selama di ruangan dengan media jaringan (daring) personal atau umum yang terjadwal. Jika memerlukan penanganan lebih, lanjutkan dengan obat-obatan anticemas, antidepresi.

Dukungan psiko-edukasi dapat meningkatan ketahanan mental dan mencegah gangguan stres pascatrauma setelah menjalani isolasi, dan diharapkan dapat menurunkan lama perawatan/masa isolasi. Lamanya isolasi seorang PDP tidak saja berdampak pada mental pasien, namun juga keluarga dan tim yang merawat. Keadaan ini juga berdampak pada anggaran yang harus dikeluarkan oleh pemerintah.

Selain selama perawatan dampak mental saat menjalani isolasi mandiri di rumah, karena belum semua masyarakat paham bagaimana seharusnya bersikap saat salah satu warganya sembuh dan harus melanjutkan isolasi di rumah selama 14 hari. Perasaan ketakutan dan kecemasan akan dijauhi bahkan dianggap ‘’pembawa bencana’’ sehingga banyak yang memilih sementara di tempat kos yang tidak ada mengenal. Mencari rumah kos juga tidak mudah saat pandemi ini.

Baca juga:  Trilogi Bencana Alam Bali

Jika masyarakat tetap melakukan pencegahan dengan prinsip jangan sampai menularkan dan tertular sesuai dengan protokol yang telah ditetapkan (memakai masker yang benar, kebersihan tangan, jaga jarak) penularan lokal dapat dihindari.

– Psikiater dapat membantu pasien, keluarga, dan tim medis perawatan melalui psiko-edukasi mengenai dampak mental dari isolasi/karantina.
– Dampak jangka pendek mungkin termasuk cemas, marah, takut untuk menginfeksi orang lain, dan depresi/putus asa.
– Dampak jangka panjang pada orang yang mengalami periode isolasi yang lebih lama akan cenderung berkembang menjadi GSPT (Gangguan Stres Paska Trauma atau peningkatan menggunaan zat psikoaktif (alkohol, rokok,kopi, obat).
– Memastikan pasien isolasi mendapatkan fasilitas yang cukup dan berkelanjutan, serta informasi yang terbaru dapat menurunkan tekanan dan ketidakpastian.
– Penggunaan teknologi untuk menghubungkan pasien dengan keluarga, teman, dan tim medis keperawatan dapat menurunkan perasaan tertekan dari isolasi.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *