Bendesa Adat Yehembang, Ngurah Gede Aryana. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pertanian menjadi sektor unggulan yang dikembangkan di Desa Adat Yehembang, Kabupaten Jembrana. Mengingat, 70 persen krama desa adat setempat berprofesi sebagai petani.

Sektor pertanian terbagi menjadi dua, yakni lahan basah dengan 1 subak dan lahan kering dengan 4 subak abian. “Untuk lahan kering, lebih dominan kelapa. Kemudian ada cengkeh, kakao, dan sekarang juga ngetren vanili,” ujar Bendesa Adat Yehembang, Ngurah Gede Aryana dalam acara dialog “Sosialisasi Nangun Sat Kerthi Loka Bali di Kabupaten Jembrana” yang ditayangkan Bali TV, Senin (15/6).

Dialog ini terselenggara berkat kerjasama Pemprov Bali, Sampoerna Untuk Indonesia, Bali Post, Bali TV dan pemerintah kabupaten/kota se-Bali.

Menurut Aryana, krama saat ini berlomba-lomba menanam vanili bahkan sampai di lahan pekarangan rumahnya. Ini lantaran harga vanili yang menggiurkan.

Selain itu, komoditi pisang juga memberikan penghasilan yang lumayan bagi krama desa adat. Sementara untuk lahan basah, yakni di Subak Yehembang, bulan-bulan ini kebetulan sedang musim panen padi. Krama adat setempat utamanya memang menanam padi di lahan basah.

Kendati di musim kemarau, mereka terkadang beralih menanam palawija seperti jagung atau buah semangka. “Karena dari harga juga lumayan, itu untuk mengisi disaat musim kemarau karena keterbatasan sumber airnya,” jelasnya.

Terkait hasil pertanian kelapa, Aryana menyebut selama ini banyak dikirim ke Jawa. Namun, pengiriman kini tersendat sejak ada pandemi COVID-19 karena Jawa masuk dalam zona merah.

Kendala dalam pemasaran juga terjadi pada komoditi pertanian lainnya. Hal ini pun berpengaruh pada penghasilan krama.

Di samping potensi sumber daya alam tersebut, lanjut Aryana, ada pula potensi sumber daya manusia. Pada 2015, pihaknya merevisi awig-awig, perarem dan purana sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas SDM.

Baca juga:  Lomba Nyastra Warnai PKB Ke-39

Purana khususnya, memberikan pemahaman yang benar kepada krama tentang sejarah desa adat hingga bangunan kahyangan tiga. Kemudian, revisi awig-awig dan perarem, untuk memberikan pemahaman kepada krama terkait aturan adat istiadat sehingga mereka patuh dan mau melaksanakannya.

Ditegaskan, aturan adat istiadat itu tidak bertentangan dengan Undang-undang dan Pancasila. “Sehingga masyarakat kami sedikit demi sedikit secara perlahan mulai menyadari tentang bagaimana kedudukan hukum adat di mata hukum negara,” terangnya.

Aryana menambahkan, ada unsur segara kerthi di dalam aturan adat itu. Yakni terkait pelarangan penggalian pasir laut. Walaupun terjadi gejolak pada awalnya, namun kini krama mulai menyadari bahwa keberadaan awig-awig dan perarem justru untuk menjaga aset mereka.

Diantaranya, setra, bangunan tempat pengabenan kolektif, hingga Pura Dang Kahyangan Rambut Siwi yang berbatasan dengan pantai. Sejak ada aturan adat ini, abrasi pun sudah mulai berkurang. Sedangkan bicara tradisi, krama desa adat setempat tetap melestarikan yadnya dan tradisi ngayah pada saat kulkul ditepak.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Ida Bagus Wisnuardhana mengatakan, Gubernur Bali Wayan Koster menempatkan pertanian sebagai prioritas dalam visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Salah satu misi di bidang pangan adalah tersedianya pangan yang cukup bagi krama Bali.

Kemudian, peningkatan nilai tambah dan daya saing serta peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. “Sehingga perintah Pak Gubernur selalu kepada saya adalah jangan sampai Bali ini kekurangan pangan,” ujarnya.

Kaitan pandemi COVID-19, Wisnuardhana mengaku sudah berhitung mengenai proyeksi ketersediaan dan kebutuhan pangan, khususnya mulai April hingga Desember 2020. Sedikitnya ada 8 pangan pokok yakni beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai, telur, daging ayam, dan daging sapi.

Baca juga:  Desa Adat Jungut Batu Rancang Program Ringankan Beban Krama

Sektor pertanian dikatakan tidak terdampak COVID-19. Artinya, petani masih melaksanakan aktivitas dengan tetap menjaga kesehatan sesuai protokol pencegahan COVID-19 yang sudah disosialisasikan. Dengan kata lain, produksi pangan cukup sampai Desember kecuali bawang merah dan bawang putih.

Untuk bawang merah, musim panen sekitar Juli-Agustus. Walaupun memiliki sentra bawang merah di Bangli, namun Bali sementara masih kekurangan sehingga mendatangkan dari Brebes dan Lampung.

Sedangkan bawang putih, tidak hanya Bali yang masih kurang tapi juga secara nasional. Kendati demikian, pihaknya meyakini sektor pertanian mampu bertahan ditengah pandemi. “Banyak teman-teman di sektor pariwisata, hotel, pekerja harian yang sementara dirumahkan, sekarang yang punya lahan sudah banyak beralih ke pertanian,” jelasnya.

Menurut Wisnuardhana, pihaknya sudah memberikan bimbingan teknis untuk mengoptimalkan lahan. Paling tidak lahan pekarangan di rumah tangga atau lahan telajakan yang selama ini terlupakan, bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan keluarga.

Bantuan sudah banyak disalurkan kepada PKK, petani, bahkan perorangan supaya memanfaatkan waktunya sementara untuk memproduksi pangan kebutuhan sehari-hari di lahan yang dia miliki. Sekalipun lahan tidak luas, kini sudah ada teknologi bercocok tanam di lahan sempit.

Ada bercocok tanam secara vertikal, tanaman dalam pot, hidroponik, dan bahkan sekarang berkembang “sale” atau budidaya sayur dan lele. Disisi lain, tak dipungkiri bila pandemi COVID-19 sebetulnya tetap berpengaruh bagi petani. “Pertama, mulai ada kekurangan modal oleh karena petani kita sebagian besar punya pekerjaan sampingan. Kemudian dia punya pendapatan untuk membeli sarana produksi. Sekarang kan pekerjaan sampingannya sudah tidak ada,” ujarnya.

Baca juga:  Desa Adat Anjingan Pasupati Awig-awig Setelah Revisi

Kedua, lanjut Wisnuardhana, ada kendala pasar karena produk pertanian Bali hampir 30 persen terserap ke hotel, restoran, katering dan swalayan. Sebagian lagi terserap di pasar. Sedangkan saat ini, sektor pariwisata bisa dikatakan masih tutup.

Pasar tradisional pun sebagian ikut tutup karena menjadi klaster penularan COVID-19. Untuk beberapa komoditi memang mengalami kesulitan pemasaran.

Akan tetapi, tetap ada solusi untuk itu. Sebagai contoh, sekarang gencar ada pembagian sembako yang diminta agar memprioritaskan memakai produk pertanian lokal. Kemudian, rumah tangga masih tetap membutuhkan produk pertanian sehingga sekarang mulai berkembang start up untuk pemasaran produk pertanian secara online. Petani khususnya sudah mulai diedukasi agar melakukan pemasaran online dan transaksi non tunai.

“Saya juga mendorong beberapa produk pertanian kita yang antar pulau. Contoh di peternakan, babi, sapi, telur banyak yang kita antarpulaukan. Beberapa komoditi kita di masa pandemi pun kita eksport, antara lain manggis, buah naga,” paparnya.

Wisnuardhana menambahkan, pemda di beberapa kabupaten/kota juga ada yang mengambil kebijakan untuk membeli produk petani, kemudian dijadikan bantuan sembako. Termasuk di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi, dibuka Pasar Tani setiap hari Jumat.

Ada cukup banyak petani yang berjualan di pasar itu. Bicara kendala pemasaran komoditi pertanian yang dihadapi petani di Desa Adat Yehembang, pihaknya menegaskan bila sebetulnya tidak ada pembatasan pergerakan bahan pangan atau logistik. “Tidak ada istilah pangan keluar itu dihambat, yang masih boleh keluar masuk itu adalah pangan,” jelasnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *