Oleh:  I Wayan Suartana

Memperhatikan angka-angka kasus transmisi lokal COVID-19 banyak terjadi di pasar-pasar dan diduga menjadi klaster baru, maka ada dua usaha terkelola yang perlu dilakukan secara konsisten dan terukur.

Pertama, protokol kesehatan dilaksanakan secara lebih ketat dan memadai menyangkut penyemprotan disinfektan, pengukuran suhu, pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak aman. Kesiapan sarana dan prasarana ini adalah syarat penting untuk memasuki kenormalan baru.

Akan tetapi akan menjadi efektif bila disertai dengan syarat cukup yaitu kedisiplinan. Pola pembatasan sosial skala mikro menjadikan pasar tetap entitas yang hidup dengan mengadopsi pola kebiasaan baru. Pasar tradisional menjadi ekosistem dalam konteks menjaga hubungan relasi sosial dan nilai-nilai rukun paras-paros meskipun dalam kerangka kebiasaan, model atau kenormalan bisnis baru.

Baca juga:  Budaya Melek Bencana Kekeringan

Kedua, sebaiknya pemda memberikan subsidi internet kepada pedagang untuk digunakan sebagai wahana bertransaksi dalam jaringan (daring). Dengan menggunakan internet dengan HP sebagai pemampunya diharapkan kontak fisik semakin bisa dikurangi.

Kerumunan di gang-gang sempit juga berkurang. Risiko lebih rendah karena pedagang akan menggunakan jasa ojek untuk mengantar barangnya. Ekonomi lebih hidup karena semua merasa nyaman. Inilah yang disebut sebagai resiliensi usaha atau bisnis. Resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit (Reivich dan Shatté, 2002) dikutip dari Wikipedia.

Beberapa karakteristik yang melekat pada resiliensi bisnis adalah resiliensi berasal dari perilaku sosial individu dan organisasi yang memungkinkan secara mikro mereka berusaha meneruskan berkinerja dalam keadaan sulit dan bertekad pulih dari terpaan krisis. Resiliensi juga bisa dipandang sebagai proses dinamisasi dalam pasar, di mana keadaan menantang memicu timbulnya adaptasi alamiah yang dibuktikan dengan kemampuan yang justru semakin tangguh dalam merespons dan menjadi lebih kuat bertahan.

Baca juga:  Ini, Ancaman Bupati Suwirta Jika Pasar Tak Taati Pembatasan Jam Operasional

Resiliensi juga bersifat energi transformasional atau energi perubahan yaitu suatu jalan untuk mengembangkan kemampuan baru, sehingga mengubah dirinya menjadi lebih kuat dan melengkapi diri untuk bersaing di tengah-tengah situasi sulit dan penuh ketidakpastian. Untuk itu pengelola pasar dan para pemangku kebijakan diharapkan melakukan transformasi cara pandang dan tindak, sehingga kekhawatiran mengenai gelombang kedua tidak muncul. Kita harus menggunakan teknologi seluler untuk hal-hal produktif.

Pedagang bisa memanfaatkan supaya pasar tidak overload kunjungan. Dengan perpindahan ke arah virtual inilah sesungguhnya merupakan salah satu esensi dari kenormalan atau kebiasaan baru. Dan ini sesungguhnya bukan hal baru dan dengan biaya yang tidak begitu mahal. Inilah pasar model kenormalan baru di mana kontak fisik berkurang dan pedagangnya memegang HP untuk memantau transaksinya.

Baca juga:  Puluhan Ribu Pedagang di Bali Kini Terima Pembayaran Lewat QRIS

Untuk usaha menengah bisa bekerja sama dengan platform-platform yang sudah maju dan mapan, seperti yang sudah dilakukan banyak pengusaha. Desa-desa atau banjar-banjar yang sudah ada internetnya agar mengalihkan infrastruktur digitalnya ke pasar.

Dengan demikian, pasar akan tetap terkendali karena sistem dan pola delivery yang digunakan. Sekali lagi, kita jangan meremehkan ramalan pandemi gelombang kedua karena kemungkinan tingkat kedisiplinan kita yang belum optimal.

Penulis, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *