Oleh Dr. I Putu Gede Diatmika, S.E. M.Si.Ak., CA., CPA
Berbagai langkah mandiri sudah dilakukan para pengusaha untuk mengantisipasi jumlah pengangguran yang kian mengular di tengah badai COVID-19. Kekuatan mereka sekarang tertuju pada bagaimana caranya bisa bertahan dan bersaing secara sehat kembali dalam menghadapi masa-masa transisi ke arah era baru yang disebut dengan istilah new normal.
Dalam masa pandemi ini usaha nyata yang sudah dilakukan pelaku bisnis adalah berupa mengurangi gaji di level atas, mengurangi shift atau jam kerja lembur, mengurangi jam hari kerja dan meliburkan pekerja secara bergiliran.
Mengurangi gaji di level atas adalah langkah sementara saja, di mana pada level ini mempunyai kuve gaji yang cenderung meningkat dalam berbagai komponen karena termasuk tenaga profesional yang memegang kunci kendali perusahaan untuk terus bertumbuh. Uji secara statistik komponen gaji berhubungan erat dengan produktivitas.
Jika gaji tidak mempunyai kecenderungan meningkat diyakini produktivitas akan melambat. Ini adalah ancaman pembajakan tenaga profesional dari negara tetangga yang memang sadar bahwa penghargaan terhadap reward dan punishment adalah hal mendasar yang harus di perhatikan para pelaku usaha.
Mengurangi shift atau jam kerja punya risiko yang bisa juga mengurangi produktivitas dan daya saing produk. Ada kecenderungan para tenaga kerja untuk beralih profesi karena desakan ekonomi dan berhasilnya pemberdayaan dari program unemployment benefit (UB) dan skill development fund (SDF).
Secara kasat mata produktivitas dari tenaga kita mempunyai produktivitas yang lebih rendah dari negara tetangga dengan gaji yang lebih tinggi. Hal ini ancaman bagi pabrikan untuk pindah ke negara tetangga kalau kita tidak benar-benar menganalisis persoalan ini dalam menghadapi new normal nanti.
Kurve gaji adalah sangat kaku untuk turun dan sangat elastis untuk kecenderungan meningkat. Persoalan ini sudah menjadi buah simalakama bagi para pengusaha kita.
Mengurangi hari kerja juga menimbulkan permasalahan baru bagi orang-orang yang tidak terbiasa beradaptasi dengan situasi. Serangan penyakit baru berupa beban mental seperti stres bisa menurunkan produktivitas tenaga kerja kita.
Persoalan ini murni memerlukan uluran tangan pemerintah berupa edukasi yang menyentuh hati para pekerja yang mengalami pengurangan jam kerja. Pada tataran tenaga kerja yang berpenghasilan tetap dalam jangka pendek tidak menjadi persoalan, namun tenaga kerja yang mempunyai pendapatan bulanan dengan perhitungan matematikal acurancy volume jam kerja dikalikan dengan tingkat upah akan menimbulkan persoalan baru berupa ketidakmampuan untuk membayarkan kewajiban rutin bulanan dengan adanya pengeluran tetap setiap bulannya.
Meliburkan pekerja secara bergilir jika tidak cerdas dalam mengelola aset sumber daya manusia justru akan menjadi ancaman untuk mendapatkan peluang pemutusan kerja, hal ini mempunyai risiko adanya pesaing yang menghasilkan produktivitas lebih efisien dari tenaga kerja selama ini.
Kondisi ini secara tidak langsung merupakan seleksi alam secara halus untuk mengurangi tenaga kerja yang tidak produktif, di mana dalam istilah ekonom disebut dengan hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang.
Penulis, dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Pendidikan Ganesha, Pimpinan Kantor Jasa Akuntan I Putu Gede Diatmika