Lilik Sudiajeng. (BP/Istimewa)

Oleh: Lilik Sudiajeng

Pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung selama lebih dari tiga bulan ini telah mengubah tatanan dalam berbagai aspek keghidupan, mulai dari aspek kesehatan, ekonomi, sosial, yang bermuara pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Berbagai kebijakan pemerintah telah ditetapkan untuk mencegah dan membatasi penyebarannya, bekerja dari rumah (Work from Home-WFH), jaga jarak (social distancing), menggunakan masker, dan cuci tangan.

Bagi kelompok masyarakat yang berpikiran positif, kebijakan pemerintah di masa pandemi ini dimaknai sebagai suatu anugerah dan peluang emas bagi keluarga untuk kembali saling bercengkerama; mendekatkan jarak antar anggota keluarga yang di era milenial ini ditengarai semakin melebar dan menjauh; meningkatkan kualitas kebersamaan dan saling berbagi cerita bersama. Namun ternyata harus diakui bahwa WFH dalam periode waktu yang relatih panjang, disamping membawa dampak positif tersebut juga dibaringi oleh dampak negatif, diantaranya kelelahan fisik, yaitu kelelahan otot di beberapa bagian tubuh yang apabila dibiarkan dalam waktu yg lama akan terakumulasi dan menjadi keluhan otot yang permanen yang dapat menurunkan produktivitas kerja.

Aktivitas WFH didominasi oleh sikap kerja statis, yaitu duduk. Sikap kerja duduk yang salah dalam waktu relatif lama dapat menimbulkan berbagai ganggungan kesehatan mulai gangguan yang bersifat sementara sampai permanen, tarutama pada bagian leher, bahu, punggung bagian atas dan dan punggug bagian bawah akibat peregangan otot yang berlebihan (over exertion) yang sering disubut dengan singkatan MSDs (Musculoskeletal Disorders).

Menurut laporan World health Organization (WHO) per September 2019, MSDs masih menduduki peringkat pertama penyebab terjadinya gangguan fisik di seluruh dunia, terutama keluhan nyeri pada punggung bagian bawah (pinggang). Di era milenial saat ini, gangguan nyeri punggung tidak hanya dialami oleh kelompok lansia, tetapi juga dialami oleh kawula muda, remaja, bahkan anak-anak.

Baca juga:  Perlu Perppu Ekonomi Nasional

Hal ini terjadi karena aktivitas sehari-hari didominasi oleh kegiatan di depan computer/gadget, interaksi dan komunikasi melalui berbagai media sosial yang kesemuanya dilakukan dengan dominasi sikap kerja duduk statis. Gangguan nyeri punggung ini secara signifikan dapat membatasi mobilitas, gerak dinamis, penurunan rasa percaya diri, penurunan produktivitas, yang bermuara pada penurunan kesejahteraan lahir batin.

Global Burden of Disease (GBD ) (2019) melaporkan bahwa penelitian terkait MSDs yang sudah dilakukan mulai tahun 1990 dan masih menjadi salah satu fokus kajian hingga saat ini membuktikan bahwa MSDs merupakan kontributor utama terhadap disabilitas dan keluhan terbanyak adalah nyeri punggung bagian bawah dengan prevalensi kondisi MSDs antara 20% -33% pekerja di seluruh dunia hidup dengan kondisi muskuloskeletal yang menyakitkan dan membutuhkan biaya yang tinggi untuk penyembuhan atau kompensasi kesehatan. Kompensasi biaya akibat MSDs sulit diukur secara pasti karena faktor yang memnpengaruhinya sangat kompleks (direct cost & multiplier effects cost) dan dalam kurun waktu yang terkadang berkepanjangan. Pada tahun 2011, kondisi muskuloskeletal menelan biaya US $ 213 miliar – 1,4% dari Produk Domestik Bruto.

Matt Middlesworth juga melaporkan bahwa biaya kompensasi keluhan MSDs mencapai 33% dari semua biaya kompensasi kesehatan pekerja. Dari data di atas jelas bahwa upaya pencegahan terjadinya keluhan MSDs perlu mendapatkan perhatian secara serius.

Salah satu upaya pencegahan MSDs yang dapat dilakukan secara mandiri adalah dengan memahami serta menerapkan sikap kerja yang ergonomis atau alami.

Kebijakan WFH untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu seperti Guru, dosen dan mahasiswa serta pekerjaan kantor lainnya terkadang tanpa disadari memaksa untuk duduk di depan laptop/gadget lebih dari 8 jam/hari. Kondisi kerja seperti ini sangat rawan dan berpotensi tinggi menyebabkan timbulnya keluhan MSDs.

Baca juga:  WFH Diperpanjang Lagi, Tapi Cuma Sampai Tanggal Ini

Pemahaman tentang sikap kerja yang ergonomis (aman, sehat, efektif, efisien dan produktif) sangat penting sehingga dapat melakukan upaya mandiri untuk mencegah timbulnya keluhan MSDs. Untuk menghindari sikap duduk terlalu lama, maka direkomendasikan untuk mengatur sikap kerja duduk berdiri bergantian secara dinamis.

Pemerintah Indonesia melalui permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan (K3L) secera khusus telah menjabarkan tentang sikap kerja dan dampaknya terhadap kesehatan tubuh serta merekomendasikan posisi duduk/berdiri yang ergonomis yang dapat menekan terjadinya keluhan otot (MSDs). Permen tersebut merekomendasikan bahwa untuk pekerjaan yang dilakukan dengan sikap kerja duduk, agar dirancang stasiun kerja dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
– Stasiun kerja memberikan keleluasaan bagi pekerja untuk melakukan variasi perubahan posisi yang dinamis;
– Fleksi lutut membentuk sudut 90 derajat dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki;
– Meja kerja dapat diatur naik-turun;
– Landasan kerja didesain agar lengan dalam posisi rileks, lengan bawah mendekati posisi horizontal atau sedikit menurun;
– Fleksi tulang belakang tidak berlebihan;
– Sudut pandang netral sehingga leher tidak mendongak atau menunduk.
– Untuk rerata ukuran tubuh masyarakat Indonesia, tinggi meja kerja posisi duduk yang direkomendasikan adalah 600 mm untuk pria (termasuk tinggi sepatu 25 mm dan kelonggaran 25 mm), sedangkan untuk wanita adalah 645 mm (termasuk tinggi sepatu 45 mm dan kelonggaran 25 mm).

Untuk menghindari sikap kerja duduk yang terlalu lama direkomendasikan untuk melakukan variasi sikap kerja dinamis duduk berdiri bergantian. Hal ini dimungkinkan apabila meja kerja yang dimiliki dapat diatur tinggi-rendahnya.

Sikap kerja berdiri sebenarnya memberikan beban pada otot tubuh yang lebih tinggi dan membutuhkan energi 10-15% lebih tinggi dibandingkan sikap duduk. Beberapa hal yang perlu dicermati untuk sikap kerja berdiri antara lain:
– Untuk pekerjaan yang membutuhkan tingkat ketelitian yang tinggi seperti perakitan perangkat elektronik, direkomendasikan tinggi bidang kerja 5-10 cm di atas tinggi siku berdiri;
– Untuk pekerjaan manual yang memerlukan berbagai alat pendukung, direkomendasikan tinggi bidang kerja 5-10 cm di bawah tinggi siku berdiri;
– Untuk pekerjaan yang memerlukan penekanan yang lebih kuat, direkomendasikan tinggi bidang kerja 10-15 cm di bawah tinggi siku berdiri.

Baca juga:  Bukan Gerbong yang Bergerak ke Masa Lalu

Ketahanan seseorang untuk bekerja dengan sikap duduk atau berdiri seringkali berbeda dibandingkan orang lain. Secara umum direkomendasikan untuk sikap duduk statis tidak lebih dari 1 jam atau maksimum 1,5 jam, kemudian diselingi dengan sikap berdiri atau berjalan dinamis 15-30 menit.

Hal lain yang bisa diupayakan secara mandiri adalah melakukan gerakan relaksasi sederhana pada bagian kepala termasuk leher, bahu, punggung, lengan dan kaki selama 5-10 menit setelah duduk selama 1-1,5 jam. Relaksasi otot melalui variasi sikap kerja dan gerakan relaksasi ini sangat penting untuk mencegah timbulnya keluhan MSDs yang dapat mengganggu keselamatan dan kesehatan kerja yang serius dalam waktu yang panjang, mengurangi usia produktif, menimbulkan frustasi dan akhirnya ketentraman lahir batin terganggu.

Konsep kerja dengan sikap kerja yang direkomendasikan di atas tidak hanya berlaku selama penerapan kebijakan WFH dalam masa pandemi COVID-19 saat ini. Di era milenial industri 4.0 dimana aktivitas kerja lebih banyak dilakukan dalam jaringan (daring), konsep ergonomi tentang sikap kerja di atas tetap dapat diterapkan.

Semoga tulisan sederhana ini memberikan manfaat dan kita semua terhindar dari bahaya cidera otot yang dapat mengancam keselamatan dan kesehatan kerja serta kualitas hidup kita.

Profesor bidang Ergonomi-fisiologi kerja
Politeknik Negeri Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *