Perwakilan sopir mendatangi DPRD Buleleng untuk menuntut keringanan tarif rapid test COVD-19. Keluhan ini muncul karena pemerintah menghentikan subsidi biaya rapid test mulai 18 Juni 2020 lalu. (BP/Mud)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Sekitar 10 orang perwakilan sopir mendatangi gedung DPRD Buleleng Senin (22/6). Mereka mengadu kepada anggota dewan terkait kebijakan pemerintah terkait biaya rapid test yang menunjukkan mereka bebas virus Corona.

Para sopir ini keberatan karena tarif satu kali rapid test berkisar antara Rp 300.000 sampai Rp 350.000. sebelum sopir ini datang ke gedung dewan, mereka kumpul di kawasan Terminal Bongkar Muat Barang Jalan Ahmad Yani Barat, Singaraja.

Mereka kemudian menuju gedung dewan dan diterima langsung Ketua Dewan Gede Supriatna bersama Wakil Ketua Ni Made Putri Nareni, dan anggota dewan Nyoman Gede Wandira Adi, serta Ketut Ngurah Arya.

Koordinator sopir, Kadek Bagiarta mengatakan, sebelum ada kebijakan pungutan tarif rapid test, pihaknya cukup mengeluarkan uang Rp 40.000 sebagai biaya administrasi sudah bisa mendapatkan surat keterangan bebas Virus Corona.

Namun belakangan, pemerintah mengeluarkan kebijakan pungutan biaya rapid test dengan nilai yang bervariasi. Bagiarta mencontohkan, ada tarif Rp 300.000 dan khusus di Kabupaten Buleleng tarifnya mencapai Rp 350.000.

Atas kebijakan ini, Bagiarta yang sehari-hari menjadi sopir ekspedisi ini mengaku keberatan. Alasannya, biaya rapid test sebesar itu tidak sebanding dengan penghasilannya yang rata-rata hanya mendapat uang persentase Rp 120 per hari.

Baca juga:  Segera Ditarik, Belasan Mobdin di DPRD Buleleng

Selain itu, karena masa berlaku surat bebas Virus Corona itu hanya 7 hari saja, sehingga untuk satu kali perjalanan ke luar Bali lebih dari satu minggu, sehingga uang persenan dirinya pun tidak cukup untuk membayar tarif rapid test yang diwajibkan pemerintah.

“Kalau tarifnya beda-beda dan tergantung rumah sakitnya. Tapi bagaimanapun pengenaan biaya ini sangat memberatkan. Apalagi satu kali rapid test ini berlaku 7 hari dan terkadang kami perjalanan lebih dari itu, ketika akan balik ke Bali akan kembali mencari, jadi uang persenan habis untuk rapid test saja,” katanya.

Atas kondisi sulit itu, Bagiarta mendesak agar DPRD Buleleng memperjuangkan agar pemerintah memberi keringanan biaya rapid test COVID-19. Dia berharap, pemerintah daerah bisa meniru kebijakan di Pemkab Jembrana yang mengenakan biaya hanya untuk administrasi Rp 15.000 dan biaya rapid testnya gratis.

Baca juga:  Kegiatan HLF MSP 2024 Diproyeksikan Beri Efek Ekonomi Ganda di Bali

“Kami minta ada perhatian dari pemerintah dan kalau bisa seperti di Jembrana yang hanya membayar Rp 15.000, dan seperti dulu dikenakan biaya Rp 40.000 saja kami tidak mengeluh, namun sekarang karena terlalu memberatkan jadi kami menuntut agar biaya raid test diringankan,” jelas Bagiarta.

Didukung temannya yang mengancam akan kembali mengadu ke dewan dengan jumlah lebih banyak jika tuntutannya tidak dipenuhi.

Menanggapi desakan sopir itu, Ketua Dewan Gede Supriatna mengatakan bahwa pengenaan biaya rapid test untuk perjalanan yang sifatnya mandiri berlaku mulai 18 Juni 2020. Menyusul kebijakan itu, pihaknya mengaku prihatin karena para sopir logistik dan sopir angkutan yang terpaksa harus mengeluarkan tambahan biaya untuk rapid test COVID-19.

Atas kondisi yang memprihatinkan itu, Supriatna berjanji akan mendiskusikan dengan pemerintah daerah termasuk ke Provinsi Bali untuk mencari jalan keluar, sehingga ada kebijakan yang bisa meringankan beban para sopir logistik atau angkutan penumpang.

“Satu sisi rapid test ini untuk keselamatan warga secara umum dari penyebaran Virus Corona, namun kawan sopir harus mengeluarkan biaya tambahan, dan kami prihatin dengan situasi ini, dan akan kami diskusikan dengan Bupati atau bahkan ke Gubernur untuk mencari solusi di tengah-tengah agar tidak ada pihak yang dirugikan,” jelasnya.

Baca juga:  Pendidikan Berbasis Hindu Bentuk Karakter Generasi Muda

Sementara itu, Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Buleleng Drs. Gede Suyasa, M.Pd. mengatakan, pemerintah masih mengkaji terkait teknis dan nilai tarif rapid test untuk pelaku perjalanan mandiri ke luar daerah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah rapid test dilakukan di RSUD Buleleng dan penetapan tarifnya berdasarkan Peraturan Bupati (Perbup).

Jika rapid test di Puskesmas, maka penentuan tarif harus dengan peraturan daerah (perda) yang notabene membutuhkan waktu lama. Untuk itu, dipilih memakai RSUD, sehingga nantinya tarif ini akan ditetapkan dalam perbup. “Kita sedang menyiapkan regulasi dan nanti akan dilakukan di RSUD karena tidak akan membuat perda untuk mengatur tarifnya, tetapi bisa dengan Perbup karena RSUD adalah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Ini sedang dihitung oleh Dinkes, RSUD dan Bagian Hukum Setda Buleleng,” jelasnya. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *