Oleh I Wayan Sugita
Drama gong adalah salah satu bentuk seni pertunjukan Bali yang memadukan unsur-unsur kesenian teater tradisional Bali dengan drama modern (teater modern Barat). Unsur teater modern lebih difokuskan pada tata dekorasi, sound effect, akting dan tata busana.
Drama gong menarik untuk diperbincangkan, karena dia lahir di tengah situasi krisis sosial politik di tahun 1960-an dan tetap tegar bertahan seiring dengan berkembang kondusifnya kesenian Bali pada umumnya sejak digelindingkan Pesta Kesenian Bali (PKB) pada tahun 1979.
Sementara di sisi lain dominasi kesenian klasik Bali masih sangat kuat. Karena unsur teater klasik masih kuat, kesenian ini lebih disebut sebagai drama klasik pada awalnya. Penamaan ‘’drama klasik’’ menjadi drama gong pertama kali diganti oleh I Gusti Bagus Nyoman Panji. Pergantian itu merujuk pada dua unsur baku yakni drama dan iringannya, yakni gong kebyar.
Sebagai catatan, sebelum terciptanya drama ini, di Bali telah berkembang seni pertunjukan lain yakni drama janger yang menjadi bagian dari tari Janger. Istilah drama gong menjadi nama dari kesenian ini karena dalam hal pementasan, setiap gerak pemain serta peralihan suasana dramatis diiringi oleh gamelan gong atau gong kebyar. Kesenian ini usianya relatif muda. Diciptakan pada tahun 1966-an oleh Anak Agung Gede Raka Payadnya dari Desa Abianbase (Gianyar). Sang penciptanya pun mengakui bahwa drama ini diciptakan melalui percampuran drama tari tradisional seperti sendratari, arja dan prembon serta sandiwara yang dimaksudkan sebagai sebuah seni campuran modern.
Lakon yang kerap dipentaskan dalam drama gong sendiri biasanya adalah cerita-cerita klasik romantis baik yang berasal dari cerita rakyat masyarakat Bali sendiri seperti Panji (Malat) maupun di luar budaya Bali seperti cerita Sampek Engtai dan cerita sejenisnya. Seperti halnya pada pertunjukan drama umumnya, dalam drama gong ini pun sama sekali tak menghadirkan kesenian tari di setiap pertunjukannya melainkan berakting dengan menyertakan dialog-dialog verbal berbahasa Bali. Adapun para pemain yang dianggap penting dalam drama gong antara lain raja manis, raja buduh, putri manis, putri buduh, raja tua, permaisuri, dayang-dayang, patih keras, patih tua, dan dua pasang punakawan.
Dalam setiap pementasannya, para pemain drama gong selalu mengenakan busana tradisional Bali, sesuai dengan tingkat status sosial dari peran yang dibawakan dan setiap gerak pemain, begitu pula perubahan suasana dramatik dalam lakon diiringi dengan perubahan irama gamelan gong kebyar. Meskipun selalu mengenakan busana tradisional untuk para pemainnya dan kerap dipentaskan untuk keperluan upacara adat dan agama, drama gong tetaplah sebuah kesenian sekuler karena bisa dipentaskan di mana dan kapan saja sesuai kebutuhan.
Maka dari itu, tak heran jika kemudian pentas drama gong merupakan satu-satunya pentas yang memberlakukan sistem karcis untuk para penontonnya karena sebelumnya pertunjukan kesenian bagi masyarakat setempat tidak pernah berbentuk komersial.
Drama gong mulai berkembang di Bali sekitar tahun 1967 dan puncak kejayaannya adalah tahun 1980-an. Pada masa itu kesenian tradisional Bali seperti arja, topeng dan lain-lainnya ditinggalkan oleh penontonnya yang mulai kegandrungan drama gong. Panggung-panggung besar yang tadinya menjadi langganan arja tiba-tiba diambil alih oleh drama gong.
Namun sejak pertengahan tahun 1980, kesenian ini mulai menurun popularitasnya. Beberapa tudingan dialamatkan menjadi virus penyebab limbungnya seni pertunjukan ini. Misalnya tak ada upaya untuk meningkatkan mutu penampilannya di atas panggung. Tak ada gereget kreativitas. Lakon-lakon drama gong dituding konyol, enteng, khayal, pokoknya asal-asalan. Mudah ditebak dan klise. Intelektual penonton cenderung diremehkan. Terlalu memanjakan penonton dan sederet suara-suara sumbang lainnya. Belum lagi hujatan tentang hal-hal porno-vulgar yang dianggap sering diumbar dalam pentas kesenian ini.
Kendati kini teater rakyat drama gong menurun drastis pamornya, namun sebagai kesenian yang pernah begitu digemari masyarakat Bali, sejatinya ada jejak-jejak kultural yang ditorehkan dari perjalanannya hampir sepanjang tiga dekade, 1967-1990-an. Pada diri drama gong menggeliat semacam counter culture. Perlawanan budaya yang pertama, adalah dari segi ketegarannya mengentaskan trauma peristiwa berdarah di Bali pancameletusnya G-30-S di Jakarta. Rentetan pementasan drama gong di penjuru Bali pada tahun 1970-an, menjadi terapi penenang rekonsiliasi masyarakat yang sebelumnya saling mencurigai dan bermusuhan.
Perlawanan budaya kedua, menundukkan kesenian modern (drama Barat) dengan elemen-elemen seni tradisi Bali. Budaya modern, termasuk seni modern di dalamnya, faktanya menghegemoni budaya lokal, termasuk dalam konteks ini kesenian lokal Bali. Gelombang modernisasi selain menjadi orientasi budaya masyarakat juga memunculkan kegerahan dan ketertekanan pada nilai-nilai tradisi, termasuk kesenian, masyarakat Bali. Terobosan drama gong yang menggunakan drama modern sebagai bingkai dari mozaik sejumlah seni pertunjukan Bali yang menjadi unsur pembentuk pokok teater ini, menumbuhkan rasa percaya diri bahwa kesenian lokal yang tradisional pun tidak harus tunduk dengan kesenian budaya modern.
Counter culture yang ketiga, muatan kritik sosial yang dihadirkan dalam pementasan drama gong menjadi katup pelepas yang mengekspresikan aspirasi dan unek-unek masyarakat yang diungkap secara verbal serius, misalnya melalui pesan moral lakon atau dilontarkan dalam dialog perdebatan para patih seperti antara Patih Agung versus Patih Anom. Sebagai seni pertunjukan yang pernah akrab dengan masyarakat penonton, aspirasi yang sebelumnya tabu dan tersembunyi pun menjadi guyonan dan tertawaan melalui adegan-adegan lucu atau dagelan-dagelan kocak para tokoh punakawan. Dalam pementasan drama gong, kritik sosial atau bahkan perlawanan budaya menjadi panggung pembacaan realita dari fenomena kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dalam wujud pagelaran seni teater nan merakyat beratmosfer ceria, nyaman, cair, dan elegan.
Penulis, Dekan Fakultas Dharma Acarya Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa