SINGARAJA, BALIPOST.com – Di tengah darurat pandemi COVID-19, pembebasan tanah untuk proyek pembangunan jalan baru batas kota Singaraja – Mengwitani atau lebih dikenal dengan shortcut titik 7 sampai 10 terus berlanjut. Hanya saja, ada sejumlah pemilik tanah keberatan dengan nilai ganti rugi dari pemerintah. Atas masalah itu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali Kamis (25/6) melakukan mediasi mengundang pemilik tanah yang keberatan itu. Gelombang pertama pemilik tanah dari Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada diundang mengikuti mediasi.
Mediasi dipimpin Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejati Bali Andi Fahruddin.
Salah seorang warga M. Safrudin (33) menceritakan, kendati tanah warisannya masuk jalur proyek shortcut tahap dua, namun dirinya tetap menyatakan mendukung proyek untuk memperpendek akses dari Bali selatan ke Bali Utara itu. Setelah pemerintah mengumumkan nilai ganti rugi, masih ada beberapa pemilik tanah keberatan dengan perhitungan nilai ganti rugi. Alasannya, pemerintah menetapkan harga tanah untuk setiap 1 meter persegi nilainya bervariasi antara Rp 19.400 sampai Rp 39.400. Dengan variatif harga tanah itu, warga belum sepakat karena di nilai murah. Sedangkan, penghitungan nilai harga tanaman produktif seperti cengkeh atau tanaman lain dengan kisaran Rp 700.000 smapai Rp 1.4 juta per pohon.
Selain itu, pemilik tanah masih menemukan jumlah tanaman produktif yang harusnya mendapat ganti rugi, justru tidak dimasukan dalam rincian perhitungan nilai ganti rugi. “Kalau yang keberatan itu sekitar 32 pemilik dan hari ini mulai di mediasi. Keberatannya macam-macam mulai dari harga tanah dan data tanaman yang diganti rugi, namun tidak cocok dengan data di lapangan,” katanya.
Di sisi lain, Safrudin menyebut, pada saat pengumuman nilai ganti rugi di gedung kesenian Gde Manik beberapa waktu yang lalu, warga yang keberatan ini disarankan mengajukan keberatan kepada pemerintah. Warga sudah mengajukan, namun setelah ditunggu lama tidak ada tindaklanjut, sehingga pemilik tanah diundang dalam mediasi oleh Kejati Bali. Atas persoalan ini, Safrudin dan warga lain berharap tanah atau tanaman produktif, serta bangunan yang masuk jalur proyek dibeli dengan harga wajar dan adil, sehingga tidak terjadi kerugian di salah satu pihak.
“Kalau penghitungan dan hal teknis lain kami tidak tahu dan kami baru tahu ada data-data kurang pas ini setelah pengumuman nilai ganti rugi di gedung kesenian beberapa bulan lalu. Pernah kami ajukan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun lama tidak ada tindaklanjut dan hari ini baru dipanggil mediasi,” jelasnya.
Sementara Asdatun Kejati Bali Andi Fahruddin mengatakan, setelah pihaknya memimpin mediasi, pemilik tanah tetap keberatan dengan nilai ganti rugi yang diumumkan pemerintah. Nilai ganti rugi yang itu adalah hasil perhitungan tim appraisal independen. Sesuai mekanisme dalam pembebasan lahan untuk proyek pemerintah, maka pemilik tanah dipersilahkan mengajukan keberatan.
Sementara, uang ganti ruginya akan dititipkan di Pengadilan Negeri (PN) atau dengan istilah konsinyasi. Dengan skema ini, uang ganti rugi dititipkan di PN. “Masalah penawaran harga tanah yang di nilai murah. Tadi sudah kita mediasi dan tetap keberatan dan solusinya konsinyasi, dan ini proyeknya harus berjalan untuk kepentingan umum,” jelasnya.
Sementara itu informasi dihimpun dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Buleleng, dalam proyek shortcut tahap dua ini tanah warga yang masuk dalam jalur proyek menyebar di Desa Wanagiri, Gitgit, dan Desa Pegayaman. Dari ketiga lokasi itu, total ada 17 pemilik tanah yang menyatakan keberatan dengan nilai ganti rugi tersebut. Selain itu, ada 21 pemilik yang belum melengkapi dokumen kepemilikan tanah. (Mudiarta/Balipost)