Ilustrasi. (BP/Suarsana)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sejumlah fasilitas kesehatan (faskes) di Bali kini tercatat menjadi klaster penularan COVID-19. Tak sedikit pula petugas medis atau tenaga kesehatan yang turut terpapar virus corona.

Sementara faskes dan tenaga kesehatan berada di garda terdepan dalam penanganan wabah yang pertama ditemukan di Bali pada Maret 2020 itu. “Rumah sakit kan tidak mungkin di lockdown atau tutup semua, kasihan pasien,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya dikonfirmasi, Jumat (26/6).

Oleh karena itu, lanjut Suarjaya, terlebih dulu mesti ditentukan seperti apa tingkat penyebaran di faskes tersebut. Misalnya dilihat petugas medis yang terpapar ada di bagian apa. Kemudian dilakukan tracing untuk mengetahui apakah ada terpapar ke bagian lagi.

Penutupan di faskes seperti RS bisa dilakukan secara parsial. Itupun tanpa meniadakan pelayanan di bagian RS yang harus ditutup tersebut. “Kalau misalnya yang terpapar di IGD, ya IGD-nya itu ditutup dulu. Tapi pelayanan IGD harus dipindahkan ke tempat lain dengan petugas lain yang tidak terpapar. Direktur RS harus menyiapkan itu,” jelasnya.

Baca juga:  Ida Pedanda Nabe Gde Putra Telabah Lebar

Kalau terjadi di Puskesmas, menurut Suarjaya konsepnya sama. Tapi kalau sebagian besar karyawannya positif COVID-19 ditambah bangunan Puskesmas yang kecil, maka lebih baik ditutup selama 2 minggu sambil melakukan disinfeksi.

Untuk tugas-tugas di Puskesmas itu, sementara bisa diambil alih oleh Puskesmas lain yang terdekat. “Seperti itu mestinya dilakukan untuk memastikan bahwa tidak terjadi penularan baru di tempat itu atau klaster yang lain,” terangnya.

Disisi lain, kata Suarjaya, langkah-langkah pencegahan harus dilakukan lebih ketat pada setiap faskes. Salah satunya, Direktur RS ataupun Puskesmas harus melengkapi petugas dengan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat melayani pasien, tergantung tingkat risikonya.

Baca juga:  Skor Kepatuhan Prokes 3 M Membaik, Masyarakat Diajak Terus Konsisten

Petugas yang berjaga di bagian depan, paling tidak memakai masker, face shield, dan sarung tangan yang merupakan standar minimal pencegahan pada saat menerima pasien. Kemudian melakukan disinfeksi ruangan secara rutin dan taat dengan protokol kesehatan. “Terkadang tenaga kesehatan tidak waspada bahwa setiap pasien walaupun dia tanpa gejala bisa saja mengarah kepada COVID-19,” katanya.

Suarjaya menambahkan, tenaga kesehatan akhirnya kurang melengkapi diri dengan standar minimal pencegahan COVID-19. Padahal standar minimal ini wajib dipenuhi sekalipun meyakini pasien yang diperiksa bukan pasien COVID-19.

Baca juga:  Diharapkan Pertengahan Juli, Tambahan Kasus COVID-19 Alami Penurunan

Sedangkan untuk standar optimal tentu harus memakai APD. Dikatakan, APD juga memiliki level dari 1 sampai 3, dan yang terbaik atau tertinggi adalah APD level 3. Utamanya dipakai saat menangani langsung pasien COVID-19.

Sejauh ini, prioritas penyediaan APD oleh pemerintah memang diakui untuk RS rujukan karena khusus menangani pasien COVID-19. Namun, RS lain yang melaporkan ada menangani pasien dalam pengawasan (PDP) apalagi pasien positif, pihaknya juga memberikan APD untuk RS itu.

Baik itu RS pemerintah maupun RS swasta, yang penting melaporkan tengah menangani PDP dan pasien positif COVID-19. “Kita suplai masker, APD, rapid test, semuanya kita berikan melalui Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Nanti kabupaten/kota yang menyuplai ke RS bahkan sampai ke Puskesmas,” paparnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *