Nyoman Wijaya. (BP/Istimewa)

GIANYAR, BALIPOST.com – Dari catatan sejarah, Bali pernah dilanda beragam wabah penyakit. Hal ini menyebabkan leluhur Bali membuat beragam protokol penanganannya yang diabadikan lewat lontar dan sumber-sumber ilmu pengetahuan yang bisa digali kembali di tengah wabah COVID-19 ini.

Dalam pabligbagan virtual Puri Kauhan Ubud #3 yang membahas jejak sejarah wabah di Bali, Minggu (28/6), salah satu dosen Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Unud, Dr. I Nyoman Wijaya M.Hum. menyampaikan hal itu. Ia mengatakan berdasarkan catatan sejarah, Bali pernah dilanda sejumlah penyakit seperti malaria, kolera dan cacar. Penyakit lainnya demam dan disentri.

Ada juga lepra yang yang sering disebut sakit gede. Beberapa penyakit itu banyak menelan korban jiwa.

Di Bali, wabah merupakan salah satu dari sekian banyak sumber ketakutan yang justru ikut berpengaruh dalam pertumbuhan budaya Bali. Berita mengenai wabah di Bali sangat sulit ditemukan, padahal pandemi ini sudah berjangkit hampir di seluruh Indonesia.

Baca juga:  Bupati Suwirta Tutup Festival Semarapura ke-3

Hal itu terkait dengan kunjungan pertama Gubernur Hindia Belanda Limburg Stirum ke Bali. “Ada kesan para pejabat kolonial menyembunyikan secara rapi realitas jumlah korban wabah di Bali dari sorotan media, selama kunjungan Stirum di Bali,” ujar Wijaya.

Kedatangan Gubernur General Hindia Belanda justru disuguhi dengan segala macam keindahan, mulai dari pemandangan alam, seni pertunjukan, dan kerajinan tangan. Angka-angka jumlah korban penyakit dan wabah yang disampaikan oleh surat kabar kolonial lebih mengarah pada data fiktif. Munculnya data fiktif itu merupakan langkah awal untuk menutupi kelemahan dalam pengelolaan dan penanganan penyakit dan wabah.

Sementara itu, Filolog dan pembaca lontar, Sugi Lanus mengatakan wabah menjadi momentum melihat kembali atau mengatur ulang arah hidup. Inilah kenapa Bali penting melihat sejarah dan berbagai catatan lontar yang diwariskan.

Sugi Lanus. (BP/eka)

Dikatakan, leluhur Bali meninggalkan berbagai protokol dalam menghadapi wabah. Di masa lalu ketika terjadi wabah, raja dan pemegang pemerintahan, mpu, bendesa, duduk bersama untuk menyusun protokol pengendalian sosial, protokol upakara atau walikrama, pengobatan korban, karantina, penanganan penguburan korban wabah, dan perencanaan upakara penyucian di masa pemulihan.

Baca juga:  Nyepi Tiga Hari, Krama Buahan Stop Aktivitas di Danau Batur

Dalam lontar Anda Kacacar jelas disebutkan larangan tidak sembahyang dan social distancing berlaku cukup lama yakni selama masa wabah sampai wabah benar-benar berlalu. Setelah pulih dan datang Galungan, baru boleh ke pura.

Sejalan dengan lontar ini adalah warisan nasihat lisan yang diturunkan dari bergenerasi-generasi lampau: “Masan gering ten dados mesu. Sampunang melali. Meneng dumum” — Musim wabah tidak boleh keluar. Jangan bermain keluar rumah. Diam tenanglah.

Lanjut Sugi Lanus, Lontar Widhi Sastra Pasupati juga berisi protokol penguburan korban wabah. Jika wabah sampai menimbulkan korban yang tiada henti, warga desa diminta langsung mengubur mayat tanpa upakara. Hanya sulinggih, atau yang sudah dikśa, diaben sederhana.

Tujuannya agar tidak terjadi penumpukan mayat dan menghindari kontak langsung dengan korban wabah. Mayat dikubur tanpa ritual, upakara pitra yad dilangsungkan setahun setelah situasi pulih.

Baca juga:  Bukan Perang dan Pandemi, Jokowi Sebut Masalah Ini Paling Ditakuti Negara di Dunia

Ada lagi berbagai lontar lain, seperti Widdhi Sastra Rongga Gumi, Batur Kalawan, dan catatan-catatan terserak yang masuk di sana-sini dalam berbagai babad dan lontar-lontar jenis widdhi sastra, terkait wabah di masa lalu. Lontar-lontar tersebut adalah bukti bagaimana leluhur tanggap menulis dan merumuskan pedoman atau protokol penanganan wabah.

Dalam keterbatasan teknologi kesehatan dan komunikasi di masa silam, leluhur sungguh serius menata kelola masyarakat yang ditimpa wabah. Sangat nalar, segala perayaan Pura (salwirning walikramā) dilarang di masa wabah.

Protokol yang ditulis leluhur sangat nalar. Patut menjadi pedoman agar kita tetap nalar dan jernih di tengah pandemi COVID-19.

Sugi Lanus, pembicara yang belasan tahun membaca lontar Jawa Kuno dan Bali mengatakan, bercermin dari lontar-lontar yang memuat wabah tersebut, sepatutnya menjadi renungan dalam menghadapi wabah COVID-19 sekarang. (Subrata/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *