Oleh Nuruddin
Rencananya Juli ini Provinsi Bali akan membuka aktivitas kepariwisataan. Hal itu tentunya disertai dengan aturan protokol kesehatan yang disepekati pemerintah pusat. Berita itu menjadi angin segar bagi seluruh masyarakat Bali.
Terutama bagi mereka yang telah lama bekerja di sektor pariwisata. Tahap pembukaan ini tentu saja hanya bisa terjadi jika penyebaran dan kasus Covid-19 bisa dikontrol. Artinya, jumlah kasu tidak meningkat dan tidak ada situasi Covid-19 yang dahsyat atau mencekam.
Hanya dengan demikian calon wisatawan dapat bepergian dengan tenang dan riang gembira. Itu pun ada prakondisi, bahwa setelah pariwisata dibuka, sampai muncul kasus baru karena penyebaran di lokasi wisata.
Perlu disambut baik rencana proses pembukaan yang dilakukan Gubernur Bali secara hati-hati dan bertahap. Rencana ini sudah ditunggu-tunggu banyak warga terutama yang menggantungkan perekonomiannya dalam dunia pariwisata, walau mungkin proses re-opening ini tidak dengan serta merta mereka bisa nikmati manfaat ekonominya sama seperti masa pra-Covid-19.
Pertama, rencananya Juli ini untuk wisatawan lokal, agar masyarakat yang berkeinginan rekreasi bisa mulai mengunjungi tempat yang ingin dikunjungi. Kedua, Agustus mulai dibuka untuk wisatawan domestik.
Sudah banyak kalangan yang menunggu hal ini. Prasyarat untuk ini tentu saja ketersediaan transportasi darat, laut dan udara. Ketiga, September akan dibuka untuk wisatawan asing. Pembukaan bertahap ini sangat logis karena proses dan kondisi yang ada. Artinya, jika pembukaan untuk wisatawan lokal sukses, tentu akan banyak pemberitaan yang sampai ke telinga calon wisatawan domestik.
Kalau kunjungan wisatawan domestik lancar, tentu mereka akan sharing lewat media sosial pengalaman mereka, sehingga sampai ke calon wisatawan internasional. Selain itu, tahapan pembukaan ini juga logis jika dilihat dari kesiapan calon wisatawan asing bepergian ke berbagai tempat termasuk Bali.
Warga Australia, misalnya, sampai Juli ini baru direkomendasikan untuk berlibur antarnegara bagian di negerinya. Sementara itu, penerbangan dari negeri kanguru juga belum ada. Praktis kebijakan pemerintah dan ketiadaan fasilitas transportasi membuat orang Australia belum berani bepergian, berarti belum akan ke Bali.
Sejak lama, Australia adalah pasar utama pariwisata Bali. Nanti, kalau September segalanya lancar sesuai rencana, kita harap pemerintah Australia bisa mengizinkan warganya bepergian (misalnya dengan syarat, setelah balik ke negeri sendiri tidak perlu ribet dikarantina) sehingga mereka berminat pergi.
Jarak luar negeri terdekat bagi mereka adalah Bali selain tentu saja Selandia Baru. Kehadiran turis Australia ke Bali, tentu saja akan memberikan kabar baik kepada turis lain di mancanegara.
Kehadiran OZ ke Bali akan memungkinkan orang dari jauh berpikir positif seperti ini, ‘’Kalau orang Australia berani ke Bali, mengapa kita tidak?’’ Kalau orang di mancanegara berpikir demikian dan situasi Covid-19 bisa dikontrol atau diatasi, dengan cepat kiranya turis mancanegara ke Bali di era new normal ini.
Bagaimana Menyiapkan Diri?
Dalam menghadapi new normal dan memastikan recovery berjalan pelan dan mantap, bagaimanakah Bali sebaiknya menyiapkan diri? Di sinilah Bali perlu memikirkan potensi dan strategi. Yang jelas, mematuhi protokol seperti CHS (cleanliness, health, safety) yang ditetapkan Kementerian Pariwisata, Bali tentu tetap ingat jati diri pariwisatanya yaitu pariwisata budaya.
Agar bisnis pariwisata budaya di Bali tetap beroperasi di era new normal, pengelola destinasi harus melakukan beberapa langkah praktis. Harapannya, keselamatan wisatawan dan tuan rumah terjaga, hasil maksimal, objek wisata tetap terjaga dan semua yang terlibat merasa terhibur. Adapun langkah konkretnya adalah sebagai berikut.
Pertama, menjaga kualitas estetika dan kelestarian fisik objek dengan cara pembatasan pengunjung. Dengan demikian, wisatawan benar-benar dapat menikmati hakikat dari wisata budaya. Hal itu juga bagian dari upaya social distancing yang sedang kita perjuangkan agar bebas dari Covid-19.
Kedua, maksimalkan IT dalam hal pemasaran dan reservasi kunjungan. Pemasaran pariwisata budaya jangan lagi berfokus pada website. Jarak calon wisatawan dengan objek wisata harus dipangkas. Wisatawan harus dibuat lebih dekat dengan aplikasi yang ada dalam telepon genggamnya. Ketiga, satukan teknologi yang ada di tangan mereka dengan sistem reservasi objek dengan sangat mudah. Mereka tidak boleh merasakan kesulitan ketika membuka aplikasi. Langkah-langkah reservasi dalam sistem tersebut juga tidak boleh berbelit-belit. Pastikan cukup dengan sedikit sentuhan, proses booking berhasil.
Keempat, manfaatkan sistem informasi yang ada dengan mengedepankan nilai-nilai kejujuran. Buktikan di lapangan, bahwa jumlah pengunjung sesuai dengan batasan yang telah ditentukan ketika mendaftar. Mereka tidak boleh kecewa karena kesalahan atau perbedaan informasi dengan kenyataan di lapangan.
Kelima, wisatawan harus dibantu akses dan perizinan keluar-masuk wilayah destinasi. Calon pengunjung harus diberi arahan yang jelas terkait protokol kesehatan yang berlaku di lokasi wisata. Pada batas-batas tertentu, pihak pengelola harus mampu memberikan pengamanan dan kenyamanan bagi wisatawan. Sebab, mereka sedang dahaga hiburan di tengah pandemi yang sedang berlangsung.
Cara-cara demikian akan menjadikan wisawatan berani membayar mahal produk wisata budaya. Di dalamnya juga akan tercipta sebuah model pariwisata yang tidak banyak pengunjungnya, tetapi maksimal hasilnya. Di sana juga tercipta pariwisata budaya yang adaptif, edukatif dan eksploratif. Inilah saatnya menjual kualitas, bukan mengejar kuantitas.
Penulis adalah dosen Universitas Airlangga Surabaya yang sedang menempuh studi doktor (S-3) Parwisata di Universitas Udayana Bali