IGK Manila. (BP/Eka)

Oleh IGK Manila

Pemerintah baru saja mengeluarkan sebuah Keputusan Bersama — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri — pada 15 Juni 2020. Isinya tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran pada tahun ajaran dan tahun akademik baru di masa pandemi COVID-19.

Keputusan ini pada dasarnya adalah konsekuensi yang tak bisa ditolak dari situasi pandemi. Pada bagian awal keputusan tersebut dinyatakan bahwa ‘’Kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, dan masyarakat merupakan prioritas utama dalam menetapkan kebijakan pembelajaran’’.

Mengikuti protokol kesehatan, proses pendidikan di semua tingkat tetap dijalankan pada tahun pelajaran 2020-2021. Panduan ini mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan di masa transisi ke arah kenormalan baru (new normal), mulai dari tahap-tahap sampai dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Potensi persoalan akan bermula dari kenyataan bahwa panduan ini sangat umum. Dari kacamata sekolah merdeka atau kampus merdeka — tagline kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat ini — keputusan bersama ini memberi porsi penentuan kebijakan yang besar pada daerah dan sekolah. Karena kebijakan otonomi pendidikan pada dasarnya memberikan kewenangan implementasi pada pemerintah kabupaten/kota, di tangan para pejabat daerah inilah selanjutnya proses dan kemajuan pendidikan bergantung.

Tetapi ini tentu saja seperti pisau bermata dua. Pemerintah daerah yang visioner, tanggap dan cekatan akan melihat ini sebagai peluang untuk mengurus pendidikan di daerahnya secara kontekstual dan tepat guna, yakni sesuai pembacaan atas situasi, kondisi dan potensi wilayahnya. Sebaliknya, wilayah dengan pemerintahan daerah yang abai akan berisiko mempertaruhkan masa pendidikan satu tahun pelajaran bagi satu generasi.

Baca juga:  Banjar sebagai ’’Coworking Space’’

Di tingkat satuan pendidikan, di mana battle field pendidikan sebenarnya terjadi, pertaruhan kualitas penyelenggaraan pendidikan akan lebih menentukan. Ketika secara manajerial administratif sekolah-sekolah dan kampus tinggal mengikuti kebijakan nasional dan pemerintah daerah, tantangan terberat dan pada dasarnya harus diselesaikan sendiri adalah keterkelolaan pedagogis atau fasilitasi pembelajaran.

Berpijak pada kenyataan ini, dalam konteks Bali, saya berpandangan bahwa pemerintah daerah dan semua stakeholders pendidikan perlu secepatnya bertindak taktis strategis berdasar situasi, kondisi dan potensi wilayah. Kebijakan nasional yang umum dan longgar, yang bisa diartikan sebagai memberikan ‘’kemerdekaan’’ seluas-luasnya bagi pemerintah daerah untuk membuat keputusan teknis implementatif, harus dimanfaatkan sebesar-besarnya.

Salah satu hikmah pandemi dalam konteks pendidikan adalah mulai terbukanya mata kita tentang apa yang perlu, kurang perlu dan tidak perlu tentang tujuan dan konten pendidikan. Sebelumnya, di tengah keluasan waktu dan keleluasaan bergerak, penentuan tujuan dan konten pendidikan seperti lebih mementingkan kuantitas ketimbang kualitas.

Alhasil, apa yang wajib dipelajari anak-anak kita di setiap jenjang pendidikan sangat banyak. Bahkan berbagai riset menunjukkan bahwa kuantitas dan tingkat kesulitan konten yang harus dipelajari anak-anak Indonesia melebihi apa yang wajib dipelajari anak-anak di negara yang lebih maju pendidikannya.

Namun, seperti dalam survei PISA 2018, anak-anak Indonesia tak mampu bersaing secara analitis dalam bidang matematika, membaca dan sains.

Dalam rangka menyederhanakan atau menajamkan visi pendidikan Bali, salah satu cara adalah dengan kembali pada tujuan inti pendidikan dalam agama Hindu. Dalam Kitab Sarasamuccaya, Sloka 2 dan 4 dinyatakan: Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wênang gumawayaken ikang subhasubha karma, kuneng panêntasakêna ring subhakarma juga ikangasubhakarma phalaning dadi wwang.

Baca juga:  Kenormalan Baru, Kebablasan dan Seleksi Alam

Di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya menjadi manusia. ‘’Apan ikang dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wênang ya tumulung awaknya sangkeng sangsra, makasadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika’’.

Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama. Sebab, dengan demikian ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia. Singkat kata, visi pendidikan Bali harus dikembalikan menjadi ‘’memanusiakan manusia’’. Kita harus berpindah dari pendidikan yang ‘’membukukan manusia’’, di mana sebelum ini anak-anak kita dipaksa untuk lebih banyak belajar dari buku teks, diuji sejauh mana bisa menghapal buku teks, berwawasan terbatas buku teks dan berpikir seluas buku teks.

Padahal, anak-anak kita adalah manusia yang hidup di lingkungan manusia lain. Mereka adalah anak-anak alam yang tak semestinya tak dikerdilkan oleh buku teks. Anak-anak ini harus difasilitasi supaya berlatih langsung secara sosial untuk membedakan baik dan buruk dan sanggup lebur dalam kebaikan. Hanya dengan cara inilah mereka akan mampu ‘’menolong dirinya dari keadaan sengsara’’.

Di tengah berbagai pembatasan karena pandemi, daya tanggap dan kecepatan dalam penyesuaian diri — adaptabilitas — adalah konsep kunci. Pemerintahan daerah yang bergerak lamban atau lebih memilih untuk menyerahkan nasib pendidikan di daerahnya pada keberuntungan pada dasarnya sedang merusak pendidikan satu generasi. Oleh karena itu, pada tataran implementasi, harus dimulai sebuah tindakan nyata dan efektif.

Baca juga:  Tat Twam Asi: Ajaran Moralitas Tanpa Batas

Pertama, pemerintahan daerah — di mana Dinas Pendidikan adalah lembaga pelaksana — harus secepatnya berbenah tentang persoalan keterkelolaan (manageability). Indikator sederhananya adalah bahwa dalam waktu singkat dihasilkan konsep-konsep perubahan.

Sebagai contoh, bersama-sama dengan unit teknis atau bahkan langsung dengan pimpinan satuan pendidikan, harus ada penyesuaian tujuan dan target pencapaian, akademis dan nonakademis. Demikian pula, harus ada agenda kegiatan pendidikan yang dibatalkan, diganti atau disederhanakan.

Di samping itu, harus teridentifikasi berbagai terobosan terkait dengan berbagai kegiatan pendukung, seperti administrasi sekolah dan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Kedua, mengikuti panduan yang sudah diterbitkan empat kementerian pada 15 Juni, setiap stakeholders dan pengampu pendidikan dipastikan bertindak atas dasar protokol kesehatan. Penyesuaian panduan dalam konteks lokal dan berbagai kegiatan sosialisasi wajib disusun dan dijalankan.

Melekat dengan perkara protokol kesehatan ini, kedisiplinan adalah kunci utama. Sekolah-sekolah dan kampus, dengan warga negara terdidik di dalamnya, harus menjadi center of excellence, lembaga yang mampu menjadi rujukan bagi masyarakat. Saya membayangkan, jika sekolah dan kampus menjadi lembaga yang bergerak terdepan dalam kedisiplinan bertindak dalam masa new normal ini, Bali akan bergerak lebih jauh dalam berbagai aspek kehidupan selain pendidikan.

Sebagai penutup, di atas semua itu, sebagai payung bagi setiap konsep, desain, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan, setiap orang yang terlibat dalam pendidikan harus memiliki kesadaran transformatif. Artinya, situasi dan kondisi yang tanpa tedeng aling-aling menuntut perubahan ini harus disadari dan disikapi sedemikian rupa, sehingga betul-betul menumbuhkan dan membiasakan laku baru sebagai cermin adaptabilitas orang-orang Bali.

Penulis, Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *