DENPASAR, BALIPOST.com – Pandemi COVID-19 benar-benar meluluhlantakkan perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Terlebih Bali yang selama ini sangat mengandalkan dan bergantung dari sektor pariwisata.
Ancaman krisis bukan lagi di depan mata, tetapi dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat. Pemberlakuan new normal dinilai tidak serta merta bisa memulihkan keadaan. Lalu, bagaimana prediksi ekonomi Bali dan solusi yang bisa ditawarkan di era new normal?
Kepala Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Bali Agus Gede Hendrayana mengatakan, akibat dampak pandemi COVID-19, pada triwulan I ekonomi Bali mengalami kontraksi pertumbuhan negatif 1,14 persen. Angka ini dinilai memprihatinkan. Sebab, pertumbuhan negatif ini baru pertama kali terjadi di Bali setelah 22 tahun (Bali pernah mengalami kontraksi pertumbuhan negatif 4,04 persen pada saat krisis moneter tahun 1998).
Bahkan, tidak ada ekonomi di dunia yang bisa bertahan akibat dampak pandemi COVID-19 ini. “Khusus di Indonesia, hanya Bali dan Yogyakarta (0,17 persen) yang mengalami kontraksi pertumbuhan negatif yang begitu signifikan,” ujar Agus Gede Hendrayana pada Talkshow Merah Putih “Prediksi dan Solusi Ekonomi Bali di Era New Normal,” di Warung Bali Coffee 63 Denpasar, Rabu (1/7) kemarin.
Agus Gede Hendrayana menambahkan, Bali yang pertumbuhan ekonominya selalu di atas rata-rata nasional, kali ini berada di bawah rata-rata nasional. Hal ini disebabkan ekonomi Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata.
Sebab, yang paling terdampak dari pandemi COVID-19 ini adalah sektor tersier, yaitu pariwisata. Oleh karena itu, pihaknya memprediksi ekonomi Bali pada triwulan II ini akan mengalami pertumbuhan negatif yang lebih besar dibandingkan triwulan I.
Sebab, sejak April-Juni nyaris tidak ada kunjungan wisatawan ke Bali. Kendati demikian, sektor pertanian pada triwulan I masih tetap bertahan (0,06 persen). “Namun, sektor pertanian tidak bisa menopang pertumbuhan ekonomi Bali karena sektor pariwisata mendominasi ekonomi Bali,” katanya.
Di era new normal ini, katanya, pihaknya berharap pertumbuhan sektor pertanian bisa didukung dari berbagai sektor. Sehingga ke depan Bali tidak hanya bergantung pada sektor pariwisata, tetapi sektor pertanian bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Bali.
Sebab, pada saat kondisi pariwisata terpuruk, suplai pertanian masih tetap ada dan dibutuhkan oleh masyarakat domestik. “Pertumbuhan ekonomi yang baik itu memang ketika digerakkan oleh investasi dan ekspor, tetapi jangan salah ekonomi yang digerakkan oleh konsumsi itu tidak selalu buruk. Apalagi, konsumsi itu bisa dipenuhi oleh produksi domestik. Bali saja kontribusi konsumsi rumah tangganya hampir 51 persen. Apabila kebutuhan konsumsi rumah tangga itu bisa dipenuhi, maka 51 persen ekonomi Bali bisa ditopang dari kebutuhan konsumsi rumah tangga,” tegasnya.
Deputi Kepala Perwakilan BI Provinsi Bali Rizki Ernadi Wimanda mengatakan, hampir semua negara mengalami pertumbuhan ekonomi negatif. IMF memprediksi pada tahun 2020 ini ekonomi global mengalami resesi dunia hingga -3%. Bahkan, AS diprediksi -5,9% dan Eropa -7,5%. Kendati demikian, di Asia diprediksi +1% yang disumbang oleh tiga negara yaitu Indonesia +1%, China +1%, dan India +2,1%. Bahkan, Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi Indonesia tahun 2020 ini berkisar 0,9 hingga 1,9%.
Sedangkan Kemenkeu memperkirakan ekonomi berkisaran -0,4 hingga 1%. Sementara itu, IMF memperkirakan ekonomi Indonesia tahun 2020 hingga -0,3%. ‘’Kalau sudah minus, ya… resesi. Pada triwulan II ini kami memperkirakan ekonomi Indonesia juga negatif. Apalagi di Bali yang sangat bergantung pada sektor pariwisata,’’ ujarnya.
Rizki Ernadi Wimanda menambahkan, menyongsong era new normal diharapkan sektor konsumsi rumah tangga harus tetap dijaga. Karena BI memperkirakan konsumsi pada triwulan II ini akan menurun. Namun, dengan era new normal pihaknya optimis secara perlahan-lahan ekonomi Bali akan membaik dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan.
Apalagi, Bali hingga Juni 2020 ini inflasinya rendah (2,5-2,7%). Hal ini menandakan bahwa daya beli masyarakat masih terjaga di tengah pandemi COVID-19. Meskipun beberapa komoditi masih ada yang rapornya merah, seperti bawang merah, bawang putih dan gula. (Winatha/balipost)