Oleh IW Jondra
Beberapa hari terakhir ini kita disuguhi liak-liuk layang-layang dengan berbagai ukuran. Indah dan di satu sisi merenggut korban. Layang-layang sangat menghibur pemiliknya. Namun, layang–layang tak jarang memakan korban, baik korban harta benda maupun korban nyawa.
Listrik pun padam saat tertimpa layangan, penikmat indahnya langit biru pun terganggu oleh layang-layang dan mengganggu produktivitas orang lain karena listrik padam. Keberadaan layang-layang tidak dapat dibiarkan liar seperti saat ini.
Pemerintah daerah dan desa adat harus bersatu padu untuk mengatur dan mengendalikan layang-layang ini. Masyarakat, pemerintah, aparatur hukum dan PLN harus bersatu padu untuk berubah.
Layang-layang merupakan anugerah Sanghyang Rare Angon manivestasi Dewa Çiwa untuk menghibur anak-anak. Layangan dinaikkan oleh anak-anak setelah panen usai sambil mengembala di sawah dan menghibur, sebagai wujud syukur kepada Dewa Çiwa karena panen sudah sukses.
Seiring dengan perjalanan waktu budaya layang-layang mengalami pergeseran. Dulu ukurannya kecil-kecil. Seiring dengan perkembangan teknologi dengan ketersediaan plastik ukuran besar, kain ukuran besar dan bisa dijahit dan disambung, maka layangan saat ini sangat besar dan variatif.
Layangan ukuran besar dinaikkan dengan tali yang besar, sehingga sulit putus. Tentu hal ini menimbulkan permasalahan baru. Layang-layang besar yang jatuh telah menimbulkan korban harta benda, sanggah/merajan yang hancur dihujam oleh layangan. Genteng rumah juga pecah berantakan oleh terjangan layangan yang besar tersebut. Layang-layang telah memakan korban nyawa.
Dari sebuah media online didapat berita bahwa: (1) Layangan telah membuat melayanganya nyawa pemuda berinisial YBS (21) di Jalan Tangkuban Perahu, Mojosongo, Jebres, Solo pada Kamis (11/6) lalu. (2) Pada Kamis (18/6) korban meninggal di tempat dan selanjutnya adalah I Wayan Losmen (61) di Sesetan. ‘’Polresta Denpasar sedang melakukan penyelidikan terkait hal tersebut, sekaligus memberikan imbauan kepada masyarakat agar berhati-hati saat bermain layangan dan pengendara roda dua juga lebih tertib,’’ kata Kanit Laka Lantas Polresta Denpasar Iptu Ni Luh Tiviasih sebagaimana dilansir sebuah media.
Haruskah akan jatuh korban berikutnya? Haruskah karena menyalurkan kesenangan bermain layangan akhirnya berurusan dengan hukum, karena layangannya telah memakan korban nyawa orang lain? Tidakkah merasa berdosa karena perbuatan kita telah mengakibatkan nyawa orang lain melayang?
Tidakkah merasa berdosa Ketika layangan kita merugikan orang lain? Masihkah manusia Bali percaya dengan karmaphala? Manusia Bali harus arif dengan memperkecil ukuran layangannya dan menerbangkannya tidak terlalu tinggi, dan bermain layangan di area terbuka hijau.
Sebagai anugerah Sanghyang Rare Angon, layangan dibuat, diterbangkan untuk menghibur anak-anak. Saat ini budaya yang adiluhung tersebut telah bergeser, karena orang dewasa dan tua pun ikut main layangan. Orang dewasa dan tua yang semestinya produktif dan kreatif memajukan perekonomian keluarga di dalam wabah Covid-19 ini, justru sibuk bermain layangan yang tidak produktif ini.
Manusia Bali yang terkenal gigih dan kreatif, saat ini lagi terbuai, pasrah dan justru tersesat bermain layangan. Sedangkan masyarakat lainnya yang bukan orang Bali gigih berbisnis mencari sesuap nasi dan mungkin juga sebuah Mercy. Jika orang lain maju di era layang-layang ini, akankah manusia Bali merasa tersisihkan lagi di buminya sendiri? Sepertinya sebagian manusia Bali sedang menggali kubur untuk dirinya sendiri, karena tidak produktif.
Dalam budaya Bali, layangan dinaikkan pada saat usai panen yang sukses, saat ini telah bergeser, layangan dinaikkan pada saat ekonomi terpuruk dan mengalami wabah Covid-19. Sebagian kadang-kadang aneh manusia Bali ini, untuk mengisi perutnya mengharapkan bantuan sembako, namun di sisi lain mereka bermain layang-layang yang membutuhkan uang yang tidak sedikit. Hal ini bukanlah kebutuhan pokok dalam kondisi pandemi saat ini.
Kearifan lokal budaya Bali pada zaman dahulu memang luar biasa. Layangan pada zamannya diterbangkan di areal persawahan. Namun saat ini manusia Bali sudah tidak arif lagi, karena layangan diterbangkan di areal permukiman. Sehingga jika layangan jatuh menghujam bumi akan menghancurkan pemukiman, bahkan memakan korban jiwa.
Layangan yang dilengkapi lampu dan baterai, pada saat jatuh dapat menimbulkan korsleting dan memicu kebakaran atap ijuk sanggah/merajan, atau kebakaran pompa bensin serta area lain yang mudah terbakar. Layangan yang jatuh di area permukiman telah menimpa jaringan listrik PLN yang saat ini masih terbuka.
Layangan yang jatuh ini telah mengakibatkan padamanya jaringan PLN. Jika listrik padam tentu hal ini akan mengganggu aktivitas perekonomian dan kesehatan di era pandemi ini. Jika hal ini terjadi, lagi-lagi yang dirugikan adalah orang-orang produktif untuk membangkitkan perekonomian Bali.
Mohon jaga stabilitas agar orang–orang tetap bisa bekerja. Masyarakat Bali harus mengembalikan kearifannya dengan menerbangkan layangannya di area terbuka hijau, bukan di permukiman. PLN juga hendaknya harus melakukan perubahan-perubahan dalam jaringannya.
PLN hendaknya mengurangi bagian-bagian jaringan yang terbuka, sehingga dapat mengurangi potensi padam. PLN mesti memasang cover pada jaringannya, sehingga bagian-bagian terbuka terlindungi, dan mengurangi potensi gangguan layangan.
Manusia Bali saat ini sepertinya telah krisis kearifan, sehingga pendekatan-pendekatan hukum, penting dilakukan sebagai efek jera bagi pelakunya. Kepolisian harus mengusut tuntas permasalahan layangan di Sesetan yang telah memakan korban nyawa. Tokoh masyarakat dan tokoh adat harus mendukung aparat kepolisian untuk menegakkan aturan.
Perlu dipahami oleh pemain layangan bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan orang lain mati, dan dapat diancam Pasal 359 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Dengan kejadian ini harus mampu menjadi efek jera bagi para pemain layangan. Bagi tokoh masyarakat dan tokoh adat hendaknya melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk mengendalikan layangan, seperti misalnya memberi imbauan, pengawasan bahkan dapat pula dibuat dalam bentuk pararem. Hal ini penting untuk melindungi warga adat secara keseluruhan. Bagi pemerintah daerah, dalam hal ini Gubernur Bali, perlu menerbitkan pergub untuk mengendalikan layangan ini.
Sebagai sebuah produk budaya dan sarana rekreasi, layangan tidak boleh punah. Masyarakat tetap dapat bermain layangan, tetapi dengan ukuran, ketinggian, bahan, teknologi dan tempat tertentu. Pergub menjadi penting bagi aparat untuk mengawasi keberadaan layang-layang yang dapat mengganggu orang lain, bahkan yang potensial mengancam harta benda, keselamatan dan jiwa orang lain.
Penulis adalah Dosen Teknik Elektro Politeknik Negeri Bali