Prof. Ratminingsih. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Kehidupan normal baru (new normal) telah mulai diaplikasikan di Indonesia. Pemberlakuan aturan hidup normal baru ini tentu didasari oleh suatu alasan yang signifikan. Bila kita mengacu pada aturan WHO, aturan hidup normal baru ini idealnya bisa dilakukan hanya pada daerah-daerah yang penyebarannya sudah melandai, mencapai 50% atau pada daerah zona hijau.

Beberapa tempat di Indonesia termasuk di Bali belum menunjukkan kondisi melandai, namum sebaliknya justru meningkat. Kondisi atau status kontradiktif ini mestinya tidak dimaknai dengan era kenormalan baru, apalagi dengan kelongaran-kelonggaran bahkan kebablasan, yang dapat membahayakan bukan hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain, yang berdampak pada menambahnya kasus penyebaran secara masif.

Di beberapa negara maju seperti Korea dan China, yang awalnya sudah memberlakukan lockdown saja kembali mengalami penyebaran tahap kedua, dan akhirnya membuat pemerintah kembali menutup tempat-tempat umum yang dianggap berpotensi sebagai transmisi baru, seperti penutupan sekolah, tempat kebugaran, dan tempat publik lainnya. Indonesia telah mengaplikasikan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa kota besar, bukan penutupan (lockdown). Kebijakan ini bisa dipastikan diambil dengan alasan-alasan yang sangat mendasar. Meski demikian, usaha yang telah maksimal dilakukan di negara kita ini tampaknya kurang berhasil, karena setelah sekitar tiga bulan diberlakukannya pembatasan-pembatasan dan juga PSBB, penyebaran virus justru masih meningkat dan ini juga berdampak pada berbagai sektor kehidupan. Sektor ekonomi adalah sektor yang paling terkena dampak. Karena banyak perusahaan tidak beroperasi, mall dan supermarket serta tempat wisata tutup, sehingga banyak anggota masyarakat kehilangan pekerjaan (PHK), belum lagi pendapatan negara yang anjlok.

Baca juga:  Desa sebagai Basis Ketahanan Hadapi Pandemi

Perubahan pemberlakukan status dari PSBB menjadi era kenormalan baru tampaknya dipicu suatu kondisi di mana sektor perekonomian yang semakin terpuruk tersebut. Pemerintah tentu tidak ingin masyarakat semakin melarat. Belum lagi masyarakat yang semakin tidak tahan untuk lebih lama lagi tinggal di rumah dengan berbagai alasan. Salah satunya yang paling mendasar adalah kebutuhan primer.

Dengan pemberlakuan era kenormalan baru tersebut, tempat-tempat publik seperti mall dan supermarket, termasuk tempat-tempat wisata, dibuka kembali. Adapun aturan-aturan yang ditegakkan pada era kenormalan baru tidak jauh berbeda dengan di masa pandemi.

Perbedaannya adalah terdapatnya kelonggaran-kelonggaran, yaitu tempat publik dibuka, lalu masyarakat diizinkan untuk melakukan perjalanan yang penting, namun tetap mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan WHO, yaitu jaga jarak (physical distancing), pakai masker, dan sering cuci tangan, serta aturan-aturan lainnya seperti ibu hamil dan anak-anak di bawah 5 tahun dilarang ke tempat umum.

Baca juga:  Memalukan, Masker "Hilang" dari Pasaran

Kelonggaran aturan yang diberlakukan oleh pemerintah dengan membuka tempat-tempat publik pada situasi yang belum menunjukkan melandainya penyebaran virus sebenarnya adalah sebuah kondisi yang hendaknya kita maknai dengan penegakan disiplin yang lebih tinggi. Mengapa demikian? Karena bila kita berani ke tempat-tempat publik, apalagi dengan tidak mengikuti aturan yang ketat, maka kemungkinan kita terpapar virus akan semakin tinggi.

Hal ini bisa dibuktikan dari kasus-kasus penularan yang semakin tinggi di tempat-tempat umum. seperti kasus yang terjadi di sebuah pesta pernikahan yang terjadi di Jawa Tengah. Sebuah kegembiraan yang ingin dibagikan berubah menjadi sebuah duka, karena banyak orang yang terpapar dan bahkan harus kehilangan nyawa.

Kasus tersebut adalah salah satu contoh kelonggaran yang diberikan pemerintah, namun bablas, karena aturan tidak ditegakkan dengan maksimal. Kebablasan sering membawa dampak yang kurang baik bahkan penyesalan. Tentu kasus tersebut kita maknai sebagai pembelajaran. Bahwa bila kita ingin selamat, disiplin untuk selalu mengikuti aturan-aturan hendaknya dilaksanakan. Niat untuk berbagi kebahagiaan dapat berubah menjadi duka nestapa berkepanjangan bila kita melanggar aturan. Intinya, disiplin tinggi dalam mengikuti aturan sesungguhnya adalah sebuah upaya untuk saling menjaga dan menghormati kesehatan orang lain.

Baca juga:  Penerapan K3 Menjadi Keniscayaan

Era kenormalan baru ini bisa dikatakan sebagai era seleksi alam atau bahkan hukum rimba. Artinya bahwa siapa saja yang sadar melakukan aturan-aturan dengan disiplin tinggi maka mereka dapat terhindar dari virus dan bisa jadi pemenang atau terselamatkan. Sebaliknya bila kita melanggar aturan, apalagi sengaja melanggar alias menyepelekan aturan (bahasa Bali: maboya), maka cepat atau lambat mereka yang tidak punya daya tahan, apalagi ada penyakit pendamping atau bahkan lansia, maka kecenderungan terinfeksi akan semakin tinggi.

Seleksi alam atau hukum rimba memang sedang berjalan dalam kasus ini. Hanya mereka yang menegakkan aturan dan yang kuat daya tahannya yang dapat terhindar atau menang melawan virus Corona yang berbahaya.

Penulis, Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *