Sugi Lanus. (BP/Istimewa)

Oleh Sugi Lanus

Setiap 210 hari masyarakat Bali secara turun-temurun secara hening diajak memasuki hari ‘’perayaan peneguhan lahir batin’’ yang dikenal sebagai hari raya Pagerwesi. Perayaan hari suci Pagerwesi dirayakan dengan sebuah sesaji bernama Sesayut Pageh Urip (sesaji pagar jiwa).

Lewat Sesayut Pageh Urip, manusia Bali diajak sadar bahwa hidup memerlukan keteguhan batin, hati perlu dirawat dan dijaga, diri perlu disiapkan menghadapi hidup dengan kejernihan, harus selalu jernih, sebab hidupe mondong sengsara (kehidupan selalu membawa risiko kesengsaraan) jika tidak diantisipasi dengan kejernihan.

Jika ‘’Sesaji Pagar Jiwa’’ adalah inti ritual perayaan Pagerwesi bagi umat kebanyakan, para pendeta menjaga dirinya dengan syarat yang lebih mendalam, sebab mereka guru loka (guru dunia). Di hari Pagerwesi para pendeta melakukan upakara peneguhan diri dengan Sesayut Panca Lingga (sesaji lima pilar batin).

Apa itu Sesayut Panca Lingga (sesaji lima pilar batin)? Tubuh, pikiran, perkataan, tindakan dan seluruh kehidupan pendeta di Bali diharapkan menjadi perwakilan ‘’tubuh suci’’. Menjadi pendeta artinya siap menjadikan ‘’diri sebagai Lingga’’, yang tidak lain adalah ‘’tubuh niskala Hyang Siwa’’.

Di hari suci Pagerwesi, semua pendeta di Bali diimbau menjalani upakara dengan Sesayut Panca Lingga (sesaji lima pilar batin): Meneguhkan diri sebagai ‘’poros/pilar semesta’’ lewat ritual ‘’memutar aksara-Brahma’’ — Panca-Brahma dan Panca Aksara — atau ngarga dan mapasang lingga (penubuhan aksara suci dan pemantapan jiwa sebagai lingga suci).

Jika masyarakat umum harus sadar hidupe mondong sengsara (kehidupan selalu membawa risiko kesengsaraan) jika tidak diantisipasi dengan kejernihan, kalau mereka goyah bersandarlah pada sang sulinggih yang bertugas sebagai tiang suci sandaran umat ketika dalam situasi guncangan.

Runutan Perayaan Pagerwesi

Masyarakat Bali yang ingin melihat lebih mendalam perayaan Pagerwesi ini, sadar bahwa ‘’upacara peneguhan jiwa’’ ini terlebih dahulu diawali oleh dua perayaan sebelumnya yaitu Soma Ribek dan Sabuh Mas.

Soma Ribek dan Sabuh Mas merupakan fondasi memasuki perayaan peneguhan jiwa. Apa itu Soma Ribek? Soma Ribek jatuh pada Senin (Soma) wara Pon wuku Sinta, sehari setelah Banyupinaruh dan dua hari setelah hari raya Saraswati.

Baca juga:  Merawat Pariwisata Bali

Hari ini Sang Hyang Tri Murti Amertha beryoga, demikian menurut Lontar Sundarigama. Di mana beryoga? Disebutkan pulu (guci atau kendi beras) dan lumbung selaku tempatnya. Hari ini adalah hari syukuran atas keberadaan pangan. Ribek konon berarti ‘’kepenuhan ketahanan pangan’’.

Pada hari peneguhan kesadaran atas ketahanan pangan keluarga ini, semua petani dan masyarakat diimbau untuk merayakan perayaan dengan merenungan dan doa suci, dengan larangan atau menghentikan aktivitas pertanian selama sehari: Dilarang menumbuk padi, menggiling beras dan sebagainya. Hari ini peralatan pertanian, seperti tengala, cangkul, lampit dan seterusnya disucikan dengan sesaji dan doa-doa suci, dipusatkan pada doa peneguhan dan syukur di penyimpanan beras, pulu dan lumbung.

Soma Ribek bagi kalangan petani adalah pengejawantahan pentingnya kesadaran untuk senantiasa tidak lari dari pertanian dan sangat mendasarnya kehidupan harus diproteksi dengan cara tetap bertani dan punya lumbung pangan keluarga.

Dalam perayaan pangan ini yang dipuja adalah Sang Hyang Tri Pramana yaitu Dewi Sri, Batara Sadhana dan Dewi Saraswati, dengan menghaturkan upakara di lumbung dan di pulu (gentong beras). Sang Hyang Tri Pramana juga bermakna tiga fondasi nalar dalam kehidupan. Banten atau sesaji yang dihaturkan adalah nyahnyah, gringsing, geti-geti, pisang mas dan wangi-wangian, sebagai sarana untuk merunduk dengan bakti penuh sadar bersyukur atas anugerah (berkah Ilahi) berupa amertha (makanan) dan kesuburan pertanian.

Baca juga:  Jalan Panjang Reforma Agraria

Selain pantang untuk menumbuk padi dan serta aktivitas produksi pertanian lainnya, pada hari ini dilarang melakukan proses jual-beli padi dan beras. Sehari hening terkonsentrasi pada renungan suci atas pentingnya kesadaran menjaga ketahanan pangan.

Keesokan harinya dilanjutkan dengan perayaan Sabuh Mas. Apa itu Sabuh Mas? Sabuh Mas adalah hari kesadaran untuk memperkuat fondasi kesejahteraan yang bersifat non-pangan. Jatuh pada hari Anggara wara Wage wuku Sinta dirayakan dengan memuja Sang Hyang Mahadewa, yang oleh masyarakat umum disebutkan sebagai sumber berkah atas semua ‘’raja-berana’’, umumnya ditandai dengan perhiasan berharga, seperti segala perhiasan emas, perak, permata, manik-manik dan sebagainya. Permata dan benda-benda berharga ini dikumpulkan, disucikan dengan upacara yadnya/widhi widhana.

Kenapa setelah kesadaran pangan dilanjutkan dengan perayaan kesadaran ‘’aset berharga’’? Jika gagal panen terjadi, jika situasi ketahanan pangan rumit, maka perlu ada tabungan atau simpanan. Kita wajib menyimpan di masa panen bagus, di masa penuh rezeki, sebagai antisipasi ketika resesi dan kesusahan muncul. Demikianlah nasihat para tetua.

Hari raya Pagerwesi dibangun dua pilar dasar. Pagerwesi sebagai ‘’hari peneguhan lahir-batin’’ dirayakan setelah Soma Ribek dan Sabuh Mas, barulah datanglah hari raya Pagerwesi — kadang diucapkan jadi Pagorsi atau Pegorsi. Ini mengandung pesan: Peneguhan lahir dan batin memiliki dua fondasi dasar yang wajib terlebih dahulu terpenuhi, yaitu: Kesadaran ketahanan pangan dan lumbung keluarga dan kesadaran untuk menyimpan atau hidup hemat untuk antisipasi resesi dan situasi sulit. Dua aspek lahiriah ini yang menyangga aspek peneguhan batiniah Pagerwesi.

Lontar Sundarigama menyebutkan: ‘’Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwatumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh’’. Artinya: Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.

Baca juga:  Tantangan Etika Lingkungan

Lontar ini juga mengamanatkan para sulinggih untuk melakukan puja khusus.

‘’Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah”. Artinya: Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warga menurut urip-nya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).

Pendeta diminta untuk melakukan upacara ngarga dan mapasang Lingga. Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan yoga-samadhi secara khusus. Banten utama bagi sulinggih adalah Sesayut Panca Lingga, dengan perlengkapannya Daksina, Suci Pras Penyeneng dan Banten Penek. Banten Pagerwesi untuk umat umum (bukan pandita atau sulinggih) adalah natab Sesayut Pageh Urip, Prayascita, Dapetan, dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan.

Keduanya, baik Sesayut Panca Lingga dan Sesayut Pageh Urip, adalah pilar kebatinan yang adiluhung yang sering terlupakan. Lingga perwujudan kesucian di dunia wajib ditegakkan dan diteguhkan oleh para sulinggih. Dibekali dengan kesadaran bahwa hidupe mondong sengsara — penuh jalan berliku dan banyak kejutan serta kemungkinan terjatuh dari derita — maka Pageh Urip atau keteguhan lahir batin wajib diusahakan oleh semua umat dalam kehidupan.

Selamat merayakan Pagerwesi, selamat mengupayakan peneguhan lahir batin. Selamat merayakan ritual pagar jiwa.

Penulis adalah budayawan, pembaca manuskrip lontar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *