Oleh Putu Rumawan Salain
Rumah adalah tempat tinggal keluarga tumbuh, berkembang, dengan interaksi di antara penghuni sangat dinamis disertai pergerakan yang berpola ataupun tidak. Kesibukannya sangat tergantung dari jumlah penghuninya yang tinggal, istirahat, ataupun tidur pada bangunan bale-nya masing-masing.
Jarak antara bale dan terbatasnya penghuni dipandang sebagai menjawab anjuran pemerintah dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19 dari physical dan social distancing. Rumah tradisional Bali adalah representasi pemenuhan kebutuhan keseimbangan hubungan mereka dengan sesama, dengan alam, dan dengan Tuhan serta sebagai tempat mereka tinggal, hidup, berkembang dari alam sekala dan niskala yang diatur dari sikut pemiliknya.
Rumah adalah sebutan bagi bangunan yang pada umumnya menunjuk pada kegunaan sebagai tempat tinggal sementara maupun permanen yang bisa saja merupakan milik sendiri atau orang lain. Dalam ungkapan yang berbeda, rumah bisa juga dipandang sebagai tempat berlindung dan melangsungkan kehidupannya. Kini rumah juga merupakan komoditas dan status simbol yang mencerminkan siapa pemiliknya.
Rumah bukanlah sebuah fasilitas untuk tinggal dan berlindung saja, namun rumah arsitektur tradisional Bali sesuai dengan eranya dibangun untuk pemenuhan maksud pemertahanan dan melangsungkan kehidupan dan penghidupannya selaku petani, dalam batas rumah tangga keluarga yang dicerminkan oleh adanya pawon, jineng, bale daja, bale dangin, bale dauh, bale delod, sanggah hingga teba. Luasnya halaman rumah dan teba memungkinkan mereka memelihara beragam jenis unggas, hewan berkaki empat untuk kebutuhan pangan, upacara ataupun juga dipelihara sebagai tabungan.
Halaman rumah dan teba juga dilengkapi dengan berbagai tanaman bunga, buah, yang bermanfaat bagi kehidupan dan penghidupannya. Sedangkan kebutuhan rohaniah ‘’spiritual’’ dilangsungkan pada pura keluarga yang disebut dengan sanggah kemulan. Dengan kata lain rumah adalah miniatur kehidupan agraris masa lalu dengan warna atau konsep kebersamaan dalam kemandirian, artinya mereka tinggal, bekerja, beribadah di rumah saja dalam skala rumah tangga dan keyakinannya.
Dengan demikian, rumah tradisional Bali adalah rumah di mana penghuninya tumbuh dan berkembang dari generasi ke generasi sampai dengan batas daya tampungnya, rumah juga tempat pendidikan atau pembelajaran dari proses lahir hingga meninggal sampai dengan setelah diaben dan kemudian ngeroras, sang atma disimbolkan berstana di salah satu palinggih. Jadi ikatan penghuni dengan keturunannya dengan rumah sangat erat, sehingga keberadaan rumah dimaksud dipertahankan atau dilestarikan untuk kepentingan status sosial, pengakuan, dan pusaka.
Perwujudan rumah arsitektur tradisional Bali dilandasi oleh siapa pemiliknya. Pemilik akan menjadi dasar pengaturan dimensi (panjang, lebar, dan tinggi) bangunan, jarak antarbangunan, pengaturan tapak, pamesuan, dan lainnya. Dasar pengaturan tersebut dikenal sebagai sikut yang disusun atau dibentuk dari dimensi jari, tangan, dan telapak kaki pemilik rumah.
Misalnya untuk ukuran tiang saka disebut rai dan untuk jarak bangunan menggunakan tapak (telapak kaki). Kelipatan jumlah tapak untuk menetapkan jarak bangunan ada perhitungan dan dampak bagi pemilik. Sedangkan pada dimensi panjang-lebar-tinggi, berpulang dari jari pemilik yang disebut rai. Kelipatan rai dibedakan untuk rumah tradisi bagi rakyat biasa dengan penguasa ‘’raja’’.
Tidak jarang di antaranya tidak terlalu rigid dengan ketentuan ukuran tersebut, selalu ada diplomasi dengan menambahkan pangurip sebagai tambahannya. Demikian pula ketika perletakan pamesuan rumah ada tata aturnya yang bermuara pada dampak terhadap pemilik rumah. Kesemuanya tertulis dalam Lontar Asta Kosala Kosali.
Selanjutnya untuk bangunan atau palinggih di Sanggah Kemulan dilandasi oleh Asta Kosalaning Dewa. Bahan bangunan berupa kayu diatur dalam Lontar Janantaka, bahan dinding digunakan sumber alam setempat atau atas dasar kepercayaan masyarakat yang diolah ataupun tidak.
Jarak antara bangunan pada rumah arsitektur tradisional Bali, satu dengan lainnya ditata atas orientasi mata angin, dewata nawa sanga, sanga mandala, Tri Angga, menjadikannya rumah banyak masa dengan fungsinya masing-masing yang merupakan terjemahan dari filosofi Tri Hita Karana yang menggambarkan hubungan manusia dengan alam, dengan manusia ‘’sesama’’, dan dengan Ida Sang Hyang Widhi. Masa-masa bangunan tersebut diikat oleh sebuah ruang terbuka di tengah-tengah pekarangan rumah atau di tengah-tengah Sanga Mandala yang disebut Natah.
Corona Virus Disease (Covid-19) awalnya merebak di Wuhan, China sekitar Desember 2019 hingga kini di Juni 2020 telah merebak menjangkit ke seluruh dunia dan beberapa di antaranya meninggal dunia. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa di Bali saja terhitung sejak 27 Juni 2020 warga yang positif Covid-19 ada sejumlah 1.263 orang, 440 orang di antaranya disumbang oleh Kota Denpasar.
Wabah ini dengan cepat menular melalui kontak manusia dengan manusia. Terjadinya ketika penderita bersin, droplet-nya mengantarkan virus ke manusia terdekat dengannya. Virus juga bisa berpindah melalui media uang, buah, makanan, gagang pintu, tuts ATM, tombol lift dan sebagainya yang tersentuh oleh penderita.
Mencermati proses terpaparnya manusia dari Covid-19, pencegahan maupun penanggulangannya diharapkan dari vaksin. Namun vaksin dimaksud hingga kini masih dalam proses, sehingga untuk memutus mata rantai penularan dilakukan dengan menjaga jarak dan mengurangi kontak sosial.
Hal lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah dengan selalu menggunakan masker, dan sering mencuci tangan dengan sanitizer. Lebih baik lagi jika menggunakan face shield, kaos tangan, dan selalu mengganti baju jika datang dari luar rumah. Bagus juga jika ketika mengganti pakaian disertai dengan mandi sekaligus keramas.
Memperhatikan cara penanggulangan sesuai dengan standar yang diserukan pemerintah, khususnya persoalan yang berhubungan dengan jarak dan kerumunan (physical and social distancing) maka Rumah Arsitektur Tradisional Bali dari tampilan susunan masa bangunannya telah memberikan jarak ruang maupun kontak sosial yang sangat signifikan. Demikian pula dari persoalan penghuni, masing-masing di antaranya menempati bangunan yang terpisah oleh jarak lebih dari dua meter.
Misalnya jarak dari bangunan Bale Daja dengan Bale Delod, maupun Bale Dauh dan Dangin. Sehingga dapat dikatakan bahwa masing-masing penghuni mengisolasi dirinya sendiri pada bangunan yang ditempati.
Penghuni rumah arsitektur tradisional Bali masa lalu bukan tidak pernah mengalami masa gering agung yang berdampak pada kematian. Jika sampai dalam satu pekarangan rumah ada yang kena gering agung maka mereka diekstradisi ke luar pekarangan rumah, bisa ke tegal ‘’kebun’’ atau bahkan sampai diungsikan ke hutan (isolasi). Hal tersebut berlangsung karena era itu belum ada rumah sakit, dokter, maupun obat-obatan.
Dari sisi kebersihan tangan maupun badan termasuk nonfisik pada era tradisi dilakukan di Bale Pawon. Setiap penghuni datang dari luar rumah, wajib membasuh tangan dan muka di halaman pawon. Khusus bagi ibu yang menyusui bayi wajib membasuh buah dadanya sebelum menyusui anaknya. Setelah itu mereka masuk ke ruang pawon yang dipercaya mampu membersihkan sesuatu yang tidak tampak yang menumpang sepanjang kegiatan maupun perjalanannya dari luar rumah.
Perlindungan lainnya pada rumah tradisional Bali dari sisi niskala adalah dari adanya apit lawang, aling-aling, penunggun karang, pengijeng natah, dan penggunaan bahan alang-alang ‘’ambengan) sebagai atap rumah. Ambengan digunakan bahan atap dianalogikan sama dengan seseorang menggunakan karawista ketika seseorang melakukan proses ritual samkara. Ketika penghuni keluar-masuk ke setiap bangunan yang beratap ambengan tersebut bermakna mempersatukan unsur Tri Kaya Parisudha.
Dengan demikian, rumah arsitektur tradisional Bali pada eranya dibangun bukan hanya untuk tinggal dan melindungi diri dari kondisi alam maupun untuk menjaga privacy mereka, akan tetapi secara sekala dan niskala memiliki makna perlindungan terhadap penghuninya. Perlindungan tersebut setidaknya sejak 1) Hari baik (dewasa) untuk mengawali pembangunan (ngeruak), pengumpulan bahan hingga mengatapi hingga melaspas. 2) Mengatur tata letak bangunan dengan dimensi dan jarak menggunakan sikut dari pemilik. 3) Menetapkan letak pamesuan pada pekarangan rumah.
4) Melengkapi tembok pekarangan dengan paduraksa sebagai pengaku/penguat tembok sekaligus menjaga serangan/kiriman yang tidak tampak (niskala). 5) Memilih dan menggunakan bahan terpilih yang sesuai dengan ketentuan. 6) Melengkapi pekarangan dan rumah dengan pangijeng karang dan panunggun karang. 7) Sanggah Kemulan sebagai tempat keluarga mengaturkan bakti dan menghaturkan doa mohon keselamatan dan kesehatan sekeluarga.
Kehidupan dan penghidupan era budaya agraris dengan rumah tradisinya jika dipandang dari kacamata kekinian tentu kurang atau tidak higienis, namun harus diakui bahwa banyak di antara mereka yang bertahan di atas umur rata-rata. Kenapa? Jawabannya sangat dimungkinkan oleh karena kemampuan adaptasi mereka dengan alam semesta dan lingkungannya. Keberhasilan adaptasi yang mereka lakukan menghasilkan imunitas atau kekebalan tubuh terhadap penyakit.
Dari diskripsi di atas terlihat bahwa anjuran pemerintah untuk work from home bukanlah persoalan baru dan sulit bagi mereka yang masih memiliki rumah arsitektur tradisional Bali, karena rumah tersebut mewadahi maksud belajar, bekerja, beribadah di dan dari rumah saja, bahkan juga dapat juga ditambahkan dengan bermain. Oleh karenanya bagi yang masih mewarisi rumah arsitektur tradisional Bali diharapkan untuk tidak membongkarnya, namun direkomendasikan untuk merevitalisasi sesuai dengan kebutuhan kekinian, sehingga maksud-maksud dari penularan penyakit dapat direduksi sekaligus memutus mata rantainya.
Penulis, Guru Besar Arsitektur Konservasi Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana