Oleh Prof. Dr. I Made Bakta, Sp.PD.-KHOM.
Penyakit Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) mulai berjangkit di Wuhan (China) pada akhir tahun 2019, kemudian merebak ke seluruh dunia, dan akhirnya WHO mengumumkan Covid- 19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2010. Penyakit ini telah menimbulkan dampak bukan hanya dalam bidang kesehatan, tetapi juga mengguncangkan sendi ekonomi dan sosial masyarakat, termasuk di Indonesia.
Penyakit ini telah menjangkiti lebih dari sepuluh juta penduduk di seluruh dunia, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat dan menimbulkan lebih dari lima ratus ribu kematian. Penyakit COVID-19 disebabkan karena Severe Acute Respiratory Cyndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), suatu virus yang satu keluarga dengan virus flu burung (SARS-CoV) dan virus flu Timur Tengah (MERS-CoV = Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus).
Virus ini ditularkan langsung dari manusia ke manusia melalui droplet pada waktu batuk atau bersin. Sebagian besar penderita tanpa gejala, OTG (orang tanpa gejala), sebagian lagi dengan gejala seperti batuk dan demam. Sebagian kecil penderita terkena penyakit berat terutama dalam bentuk radang paru (pneumonia) sampai gagal napas yang dapat mengakibatkan kematian.
Penyakit derajat berat terutama terjadi pada penderita berusia lanjut (di atas 60 tahun) dan penderita dengan penyakit penyerta seperti tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung dan paru.
COVID-19 masuk ke dalam sel manusia dengan mengikat respetor ACE-2 pada permukaan sel. Sistem imun tubuh mengenal antigen (virus) yang masuk, selanjutnya memberikan reaksi melalui sistem imun dengan membuat zat kimia yang disebut sitokin. Virus dihancurkan oleh tubuh melalui proses imun dan inflamsi.
Jika status imun tubuh normal maka virus akan dapat dihancurkan oleh tubuh, menjadi orang tanpa gejala (OTG). Jika sistem imun lemah maka virus berkembang biak menimbulkan kerusakan sel terutama pada sistem pernapasan, sehingga timbul penyakit COVID-19.
Jika karena kelainan sistem imun tubuh, tubuh memberikan reaksi imun berlebihan dengan membuat sitokin berlebihan, disebut ‘’badai sitokin’’ atau cytokine storm, justru akan merusak sel dan organ tubuh sehingga terjadi penyakit berat yang dapat menimbulkan kematian.
Sampai saat ini belum tersedia obat spesifik (antivirus) yang dapat mengatasi penderita COVID-19. Usaha yang dilakukan sekarang adalah usaha pencegahan dalam bentuk protokol kesehatan seperti pemakaian masker, menjaga jarak (physical distancing) lebih dari satu meter, mencuci tangan dengan sabun pada air mengalir serta menghindari kerumunan. Salah satu usaha pencegahan lain adalah dengan mengembangkan vaksin yang saat ini sedang dikembangkan, tetapi belum dapat dipastikan kapan akan tersedia. Oleh karena itu, pencegahan melalui protokol kesehatan merupakan tulang punggung pengendalian penyakit COVID-19.
Sifat COVID-19 yang begitu menakutkan menyebabkan kepanikan di kalangan masyarakat, bahkan juga di kalangan dunia kedokteran, sehingga mereka berlomba-lomba mencari obat untuk COVID-19, yang kadang-kadang meninggalkan sifat rasional kita. Sebagian besar pengobatan yang dikembangkan memakai analogi, belum berdasarkan bukti. Mula-mula diajukan chloroquine atau hydroxychloroquine (suatu obat malaria), tetapi ternyata tidak terbukti sehingga WHO menarik rekomendasinya.
Selanjutnya berbagai obat antivirus yang sebelumnya dipakai untuk infeksi virus dianalogikan dapat juga dipakai untuk COVID-19. Favilapir yang dikenal dengan nama Avigan (buatan Toyama, Jepang) pada awalnya dianggap obat mujarab untuk COVID-19, sampai sempat diumumkan oleh Presiden, ternyata tidak memberikan hasil.
Demikian juga Lopinavir/Ritovir dan terakhir Remdesivir, sampai saat ini belum terbukti dapat bekerja untuk membunuh COVID-19. Tim dari Universitas Airlangga mengumumkan kombinasi beberapa obat antivirus tersebut dengan antibiotika, sampai sekarang belum dapat dipastikan kegunaannya untuk COVID-19, mungkin masih dalam penelitian. Malahan berbagai macam obat herbal, termasuk Eucalyptus, diklaim dapat mengobati COVID-19.
Dalam dunia kedokteran dikenal apa yang disebut ‘’ilmu kedokteran berbasis bukti’’ dalam bahasa Inggris disebut evidence-based medicine. Berdasar konsep ini suatu zat untuk dapat menjadi obat penyakit tertentu harus melalui rangkaian penelitian panjang.
Mulai dari tahap penelitian laboratorium yang intensif, kemudian dilanjutkan dengan uji pada manusia yang disebut uji klinik, mulai dari tahap I, II sampai tahap III, barulah obat dimintakan izin edar, di Indonesia oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), terakhir uji klinik tahap IV, uji pascapemasaran untuk melihat efek samping jangka panjang.
Dalam keadaan darurat seperti pandemi saat ini, mungkin tahap penelitian dapat dipersingkat, sehingga dapat dikeluarkan izin edar sementara yang dipercepat. Selama prosedur ini belum dipenuhi, maka obat tersebut belum dapat diklaim sebagai obat untuk penyakit tertentu.
Deksametason, tergolong dalam hormon glukortikoid atau kortikosteroid atau kortisol, atau steroid dibuat oleh kelenjar anak ginjal (suprarenal) yang berfungsi untuk mempersiapkan tubuh untuk menghadapi keadaan darurat atau stres, mempertahankan keseimbangan metabolisme tubuh (homeostasis) dengan mengatur metabolisme glukosa, protein dan lemak serta mengatur tekanan darah. Obat ini mempunyai sifat anti-inflamasi (anti-radang) dan penekan proses imun (imunosupresif).
Hormon steroid atau kortisol dapat diberikan dalam bentuk obat, seperti deksametason, prednison, prednisolon dan metilprednisolon. Dalam penelitian sebelumnya untuk flu burung dan MERS, steroid memberi dampak positif pada penderita dengan penyakit berat dan sepsis.
Fungsi deksametason dalam infeksi virus bukan sebagai antivirus tetapi berfungsi sebagai antiradang dan penekan imun, sehingga mencegah reaksi imun berlebihan tubuh yang justru akan merusak sel dan organ tubuh.
Suatu tim dari Universitas Oxford yang dipimpin oleh Dr. Peter Horby dan salah satu Chief Investigator-nya Prof. Martin Landray membuat suatu penelitian yang disebut Recovery trial untuk meneliti efektivitas deksametason pada COVID-19. Penelitian ini adalah suatu uji klinik (randomized controled trial). Terdapat randomisasi, artinya setiap pasien diberi kesempatan yang sama untuk mendapat deksametason atau menjadi kontrol (tidak diberi deksametason), suatu standar uji klinik yang diakui secara internasional.
Penelitian ini dilakukan selama 98 hari, mulai protokol disusun sampai hasil sementara diumumkan sebagai hasil laporan pendahuluan (preliminary report). Sebanyak 2.104 penderita Covid-19 diberikan deksametason 6 mg per hari sampai dengan 10 hari dengan 4.321 pasien dengan terapi konvensional (terapi standar). Hasil akhir adalah angka kematian pada hari ke-28. Dari penelitian ini didapat angka kematian 21,8% pada pasien yang diberi deksametason, lebih rendah dibandingkan dengan angka kematian pada pasien tanpa deksametason yaitu 24,6%.
Angka ini secara statistik berbeda bermakna. Yang sangat penting harus kita lihat bahwa terdapat perbedaan angka kematian berdasarkan beratnya penyakit (berdasarkan pemakaian alat bantu pernapasan).
Deksametason menurunkan sepertiga angka kematian pada penderita dengan alat bantu pernapasan mekanik invasif (29,0% vs 40,7%), menurunkan seperlima angka kematian pada penderita yang mendapat oksigen tanpa mesin pernapasan (21,5% vs 25,0%), tetapi tidak menurunkan angka kematian pada penderita yang tidak menerima suport pernapasan (17,0% vs 13,2%). Disimpulkan bahwa deksametason dapat menurunkan angka kematian pada penderita COVID-19 yang berat, tetapi tidak pada penderita dengan penyakit ringan.
Temuan ini menunjang teori bahwa deksametason bekerja dengan mengurangi respons imun berlebihan (badai sitokin = cytokine storm) pada COVID-19 yang berat, sehingga menurunkan angka kematian, tetapi tidak menurunkan angka kematian pada penderita COVID-19 ringan, karena respons imun yang normal. Secara teoretik, deksametason mempunyai dampak kurang baik pada penderita COVID-19 ringan (yang mempunyai respons imun normal) karena dapat menurunkan respons imun, sehingga dapat memberi kesempatan virus berkembang biak lebih leluasa.
WHO menyambut baik hasil dari penelitian ini, karena baru pertama kali dibuktikan secara ilmiah adanya obat yang dapat menurunkan angka kematian penderita COVID-19, tetapi menekankan bahwa obat ini hanya berguna bagi penderita COVID-19 berat (kritis) yang memerlukan bantuan napas dan tidak berguna bagi penyakit yang lebih ringan. The Treatment Guidelines Panel dari National Institute of Health (NIH) dari Amerika Serikat, berdasarkan hasil sementara ini menganjurkan pemakaian deksametason 6 mg per hari sampai dengan 10 hari untuk penderita dengan mesin bantu pernapasan atau yang memerlukan oksigen tambahan tanpa alat bantu napas.
Panel tidak merekomendasikan pemakaian deksametason pada penderita COVID-19 yang tidak memerlukan oksigen tambahan. Kelebihan dari terapi dengan deksmetason ini adalah terbukti efektif untuk penderita derajat berat, harga murah dan tersedia di hampir semua fasilitas kesehatan, termasuk di Indonesia.
Tim peneliti Universitas Oxford (Discovery trial) menganjurkan pemberian deksamtason dengan prinsip the right dose (dosis tepat), the right time (waktu yang tepat) dan the right patient (penderita yang tepat). Deksametason bagaikan pedang bermata dua, kalau tepat digunakan akan membawa manfaat, tetapi jika salah digunakan dapat membawa bahaya.
Hasil penelitian ini baru diumumkan dalam bentuk laporan pendahuluan (preliminary report), belum dipublikasikan pada majalah kedokteran yang berkualitas. Dalam keadaan normal masih diperlukan penelitian yang memperkuat penelitian ini, sehingga didapatkan bukti yang kuat dan dapat dilakukan analisis yang lebih mendalam (meta-analisis) sebelum dapat dijadikan pegangan dalam petunjuk kedokteran (guidelines). Dalam masa-masa pandemi ini, bagaimana sikap kita, baik bagi dunia kedokteran maupun bagi masyarakat banyak.
Penelitian ini memakai metode penelitian yang sangat standar, sehingga validitasnya sangat baik, meskipun perlu bukti untuk memperkuat hasil ini. Sesuai dengan pernyataan WHO dan National Institute of Health, bagi dunia kedokteran sebaiknya kita: (1) memakai deksametason secara hati-hati hanya untuk penderita COVID-19 berat dengan bantuan napas atau yang memakai oksigen, (2) sedapat mungkin memakai model uji klinik yang paling sederhana – open label, satu lengan (one arm), sehingga pencatatan dilakukan dengan lebih teliti, baik terhadap efek terapi atau efek samping, sambil menunggu petunjuk (guideline) dari Kementerian Kesehatan atau WHO.
Untuk masyarakat umum sangat perlu disampaikan bahwa (1) deksametason bukan obat anti-virus yang membunuh COVID-19, (2) deksametason tidak dapat dipakai untuk mencegah COVID-19, (3) deksametason hanya diberikan oleh dokter pada kasus COVID-19 berat, tidak boleh untuk penyakit COVID-19 ringan, (4) deksametason mempunyai efek samping yang banyak, tidak boleh dikonsumsi tanpa petunjuk dokter.
Penulis, Guru Besar Emeritus Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana