Suka Arjawa. (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

Pemerintah Provinsi Bali telah menyatakan bahwa pelonggaran di Bali mulai dilakukan sejak 9 Juli 2020. Artinya kegiatan sosial diizinkan lebih terbuka, yang apabila tidak ada gangguan selanjutnya beberapa objek dan sarana pariwisata sudah mulai dibuka. Tentu ini merupakan keputusan yang sulit, sebab pasti kontroversial.

Jika dibawa ke ranah nasional, apa yang dilakukan Pemprov Bali ini sama saja. Kontroversial karena memberikan pelonggaran di tengah Covid-19 masih merajalela. Secara sosial, sudah pasti akan memberikan tambahan kasus yang meninggi mengingat disiplin masyarakat yang masih jauh dari baik.

Kenyataannya memang demikian. Jumlah penderita Covid-19 di Indonesia saat ini sudah lebih dari 70 ribu orang dan di Bali telah menjangkiti 2.000 orang lebih. Seperti yang telah diberitakan juga bahwa ekonomi harus bergerak, sebab jika hal itu tidak dilakukan, Bali dan Indonesia akan menjadi negara bangkrut.

Maka, aktivitas sosial merupakan satu cara untuk menggerakkan ekonomi. Itulah kemudian yang menjadi salah satu dorongan munculnya era baru di Bali.

Ada hal yang harus diperhatikan masyarakat. Bahwa pelonggaran atau era baru ini akan memberikan risiko juga, yang jelas sangat berkaitan dengan penambahan penderita virus Corona. Mudah-mudahan tidak berlebihan, memberikan pelonggaran kegiatan sosial di tengah merebaknya virus Corona ini ibarat kita belajar renang setelah dicemplungkan ke laut.

Syukur kalau ada yang memberi petunjuk dari atas kapal bagaimana caranya berenang agar selamat. Jika tidak, kita harus mati-matian belajar renang mandiri agar selamat. Soal keselamatan diri dari virus Corona, sesungguhnya pemerintah telah memberikan bermacam arahan dan informasi. Hanya masyarakat saja yang abai terhadap hal ini. Maka, sekarang masyarakat mau tidak mau harus memperhatikan petunjuk ini secara baik.

Baca juga:  Belajar, Berdoa, Berubah

Di ruang publik kini ada orang berlipat-lipat dari ketentuan yang dibolehkan demi terhindarkan dari virus Corona. Tetapi kebijakan pemerintah, memungkinkan hal itu terjadi. Kebijakan ini memang anti-teori kesehatan, tetapi memang harus dilakukan demi menjalankan roda ekonomi. Sebagian negara di dunia juga melakukan hal ini. Giliran masyarakatlah yang sekarang harus sadar.

Paling dasar yang dilakukan oleh masyarakat adalah perubahan sikap. Tatanan normal baru yang diterapkan oleh pemerintah merupakan wujud dari perubahan sosial. Bahkan data dikatakan sebagai perintah terselubung untuk mengubah sikap. Jika diberi tahu secara terang-terangan tidak mau ditaati, lakukan secara terselubung. Jika terselubung tidak mampu juga ditaati, maka harus dipaksa.

Jika dipaksa juga meronta, maka biarkan saja mereka memilih sendiri takdirnya. Pemerintah telah melakukan yang pertama yang kiranya tidak terlalu berhasil. Maka akan dilakukan secara terselubung. Masyarakat harus sadar pada titik ini.

Tidak bisa lain, sebagai anggota masyarakat harus mampu menyikapi perubahan tersebut. Artinya sebagian perilaku dan tindakan kita harus berbeda dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya.

Perbedaan tindakan itu memang tidak menyenangkan, tetapi haruslah dilakukan. Dan itulah yang mesti dihadapi masyarakat. Antitesis yang kelihatan pada era sekarang adalah kita harus diribetkan dengan berbagai alat dan peraturan itu, justru pada saat berbagai kemudahan dapat dilakukan melalui teknologi gawai (ponsel, internet dan sebagainya). Inilah yang menjadi tantangan.

Baca juga:  Dikeluhkan Masyarakat, Pengurus Kosippral Dipanggil Diskop Bali

Permasalahan yang kelihatan di Bali justru terlihat di sini. Masyarakat sangat kentara tidak mampu melakukan perubahan dan tidak tahan terhadap perbedaan tindakan yang dilakukan. Bahaya COVID-19 adalah manakala kita tidak mampu menyikapi perubahan itu dengan baik. Sepanjang vaksin masih belum ditemukan, ‘’obat’’ dari Covid-19 ini adalah perubahan tindakan dan sikap tersebut.

Dari tiga bulan berjalan ini, perubahan tindakan itu tidak mampu berjalan secara maksimal. Dari sisi sosial, masyarakat masih tetap melakukan kerumunan. Padahal, itu tidak boleh dilakukan. Sudah berkali-kali diberitakan.

Anak-anak muda tetap bergerombol. Yang tua masih juga bergerombol, padahal itu saat bersembahyang. Ngayah kerja bakti juga tetap mengerahkan anggota banjar, padahal mestinya dapat dilakukan dengan memborongkan kepada dua atau tiga orang agar jarak sosialnya berjauhan.

Dari sisi kebudayaan, ritual masih saja ada yang melakukan secara bergerombol. Masih saja tidak dipahami bahwa ritual dapat diubah dan disederhanakan  sesuai dengan makna simbolis yang ada. Misalkan, pemerintah telah berkali-kali menyebutkan bahwa ritual dalam upacara agama, odalan, cukup dihadiri oleh maksimal 25 orang.

Namun sebegitu jauh, tetap saja orang datang berlebihan menuju tempat sembahyang, seolah-olah Tuhan itu akan marah jika tidak melakukan persembahyangan di tempat sembahyang. Perasaan mendapatkan posisi utama dalam menjalankan persembahyangan.

Dari sisi ekonomi, Covid-19 ini membuktikan bahwa sebagian besar dari masyarakat kita (juga di Bali) masih sangat tergantung pada orang lain. Masih saja mengidap penyakit lama berupa gengsi mengerjakan sesuatu yang belum populer, masih saja ketakutan mencoba diri untuk berkembang di bidang lain.

Baca juga:  “Sugihan” Ajak Umat Harmoniskan Alam

Fenomena layangan yang memenuhi cakrawala Denpasar dan Badung (Bali?) menunjukkan bahwa mereka lebih suka memanfaatkan waktu luangnya dengan bermain-main. Apa yang didapatkan jika kehidupan sosial diisi dengan bermain-main belaka. Jika bekerja dapat dirasakan sebagai sebuah arena bermain, itu adalah bagus. Tetapi apabila pekerjaan itu kemudian hanyalah main-main saja, yang tidak akan mungkin dapat bangkit dalam suasana apa pun juga.

Bahwa masyarakat tidak tahan di rumah selama dua bulan, ini juga membutikan mereka tidak kreatif. Padahal, banyak yang bisa dilakukan di rumah selama dua bulan. Melatih dan membikin anyaman misalnya (bikin sok, penarak, dan sebagainya). Jika masih banyak masyarakat yang mengaku kesulitan ekonomi, juga memperlihatkan kemampuan menabung masyarakat masih kurang. Mereka tidak mempersiapkan diri untuk ‘’menderita’’ dan uang yang didapatkan ketika bekerja lebih banyak dihabiskan entah untuk apa.

Maka, sekali lagi manakala pelonggaran yang dilakukan pemerintah Bali, maka masyarakat harus berubah. Tidak cukup dengan mengubah mobil sedan menjadi pedagang telur saja, tetapi jauh lebih dari itu. Simpan dana untuk tabungan yang dapat digunakan saat hari-hari darurat, pergunakan ladang sebaik-baiknya demi kepentingan keluarga, hilangkan kebiasaan untuk memilih-milih pekerjaan.

Penulis, Staf Pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *