Petugas ber-APD akan melakukan tes screening COVID-19 pada warga di Los Angeles, AS pada Jumat (10/7/2020). (BP/AFP)

LOS ANGELES, BALIPOST.com – Dengan dimulainya tahun ajaran baru di AS dalam beberapa minggu lagi, Marina Avalos masih belum tahu bagaimana atau di mana putrinya yang berusia 7 tahun akan menghadiri kelas. Seperti banyak ibu, Avalos enggan mengirim anaknya kembali ke sekolah pada saat coronavirus di seluruh AS telah melonjak melewati tiga juta kasus, termasuk 130.000 kematian.

Dikutip dari AFP, pada Selasa, California – tempat tinggal Avalos – mencatat rekor kasus harian baru, dengan 11.694 orang terinfeksi. “Seluruh situasi membuat saya sangat gugup,” kata Avalos (46).

“Saya tidak merasa aman mengirim putri saya kembali ke sekolah seperti sebelumnya.”

Meskipun bukti anak-anak tidak termasuk yang rentan terpapar, ketakutan akan penularan di kelas juga dialami oleh banyak orangtua, yang menilai murid yang lebih muda akan sulit untuk menjaga jarak sosial atau memakai masker berjam-jam.

Namun banyak juga yang putus asa untuk mengirim putra putri mereka ke sekolah, baik karena alasan keuangan ketika mereka berencana untuk kembali bekerja, atau karena takut bahwa pendidikan anak-anak mereka akan mengalami kemunduran karena beberapa bulan jauh dari ruang kelas.

Baca juga:  Denpasar Catatkan Nihil Kasus Baru Positif COVID-19, Pasien Sembuh Bertambah

Konflik ini telah menjalar ke arena politik, dengan Presiden Donald Trump pada minggu ini bersumpah untuk membuka sekolah “dengan cepat, indah, pada musim gugur.”

Tetapi Gubernur California Gavin Newsom bersikeras bahwa sekolah harus dibuka hanya jika aman untuk melakukannya. “Bagi saya itu tidak bisa dinegosiasikan,” katanya.

Polarisasi Pembelajaran

Pada akhirnya keputusan tidak tergantung pada presiden atau gubernur, tetapi di tangan sekolah.

Los Angeles, negara bagian terbesar kedua di AS, belum memutuskan pola pengajarannya, meskipun direktur kesehatan di negara bagian itu, Barbara Ferrer, dilaporkan mengatakan kepada pembuat keputusan di bidang pendidikan untuk memiliki “rencana melanjutkan pembelajaran jarak jauh 100 persen.”

Monika Zands memiliki tiga anak berusia antara delapan hingga 17 tahun, dan sangat percaya pengajaran tatap muka diperlukan untuk tahun ajaran yang akan datang, terutama untuk anak bungsunya.

Baca juga:  Juknis PPDB SMP di Denpasar, Ini Bedanya dengan Tahun Lalu

“Anak-anak yang lebih tua tidak ketinggalan karena mereka pada dasarnya sekolah setiap hari secara online … itu membuat mereka tetap berada di jalur sekolah,” kata Zands, 47.

“Si kecil pasti tertinggal dalam pengetahuan dan kecerdasan – jika ini terus berlanjut, saya khawatir bagaimana ia akan memiliki dorongan dan motivasi untuk mengejar ketinggalan.”

Semester terakhir, anak terkecilnya itu menerima satu jam pengajaran online diikuti oleh lima jam pekerjaan rumah. “Dia menangis, menangis, ‘Saya tidak bisa melihat teman-teman saya, dan saya tidak bisa melakukan ini dan sekarang kalian ingin saya duduk dan mengerjakan pekerjaan rumah sepanjang hari,'” kenang Zands, yang anak-anaknya bersekolah di sekolah swasta.

Jika sekolah tidak dibuka kembali pada Agustus, ia mempertimbangkan untuk menyewa seorang guru les untuk memberikan pelajaran langsung kepada sekelompok kecil anak-anak.

Tapi itu adalah kemewahan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang mampu – sesuatu yang dikhawatirkan Psikiater Anak Universitas California Los Angeles, Jena Lee.

Baca juga:  Gubernur Koster Perluas Cakupan PPKM Jadi Wilayah Satu Jalur Kawasan Wisata

“Saya terutama prihatin dengan risiko polarisasi pembelajaran lebih lanjut antara berbagai kelompok sosial ekonomi,” kata Lee.

Anak-anak “dari kelas sosial yang lebih tidak beruntung, lebih rentan terhadap kemunduran akademik dengan ditutupnya sekolah-sekolah.”

Lee juga memperingatkan bahwa semakin lama sekolah ditutup, semakin besar “risiko yang harus ditanggung dunia pendidikan serta kesehatan mental dan perkembangan sosial mereka.”

Avalos setuju. Putrinya memiliki gangguan untuk fokus, yang di sekolah akan ditangani oleh seorang spesialis, layanan tidak tersedia secara online.

Sebagai anak tunggal, putrinya juga sangat rindu bermain dengan teman-temannya.

Namun, Avalos akan lebih memilih anaknya – yang baru-baru ini berjuang melawan pneumonia dan bronkitis – untuk melanjutkan pembelajaran jarak jauh demi kesehatan fisiknya. “Kalau bukan karena virus, aku akan mengirimnya kembali ke sekolah.” (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *