JAKARTA, BALIPOST.com – Kartu prakerja harus dilihat sebagai bagian dari policy reform. Sederhananya sebagai sebuah terobosan dalam menghadapi masalah struktural yang cukup panjang.
Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (PP KAGAMA), AAGN Ari Dwipayana menyampaikan bahwa, Indonesia sudah menghadapi berbagai persoalan terkait ketidakseimbangan antara kebutuhan dunia kerja dengan kualitas SDM yang tersedia.
“Ketidakseimbangan ini menjadi masalah struktural yang cukup panjang, sehingga perlu ada jembatan untuk menyambung tingkat kompetensi dari pencari kerja dengan harapan penyedia kerja,” ujarnya dalam rilis yang diterima.
Hal tersebut Ari sampaikan dalam seminar Kagama Inkubasi Bisnis (KIB) XIII bertopik Kupas Tuntas Kartu Prakerja, pada Sabtu (11/7) secara daring. Selain Ari, hadir dalam seminar tersebut Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sebagai keynote speaker.
Juga para narasumber: Denni Puspa Purbasari, Direktur Eksekutif, Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja; Marcella Wijayanti, Head of Government to Person Payment, PT Fintek Karya Nusantara (LinkAja); Metta Dharmasaputra, Founder Katadata Insights Center. Bertindak sebagai moderator, Brigita Manohara, Presenter TV One.
Ari mengatakan bahwa, kartu prakerja sebagai sebuah inovasi, policy reform yang dibuat, terbuka akan kritik untuk upaya penyempurnaan kebijakan ini. “Ada ruang-ruang yang perlu disempurnakan, maka adanya kritik dapat membuat policy reform ini semakin baik. Ini yang mesti dibuka. Kagama setuju jika ruang untuk kritik dibuka, evaluasi perlu terus dilakukan, dan berbagai perbaikan dilaksanakan,” jelasnya.
Lebih lanjut Ari mengatakan, Kartu Prakerja harus adaptif terhadap situasi yang tengah dihadapi bangsa. Kendati terdapat problem struktural strategis jangka panjang, namun menurut Ari ada problem riil yang tengah dihadapi masyarakat.
Indonesia, kata Ari, tidak hanya menghadapi krisis kesehatan. Tetapi, juga krisis ekonomi yang memukul permintaan, produksi, hingga supply, dan kemudian meruntuhkan banyak sektor usaha.
Hal ini berbuntut pada terjadinya PHK karyawan oleh sejumlah perusahaan. Banyak orang kehilangan pekerjaan dan penghasilan.
Alumnus Departemen Politik dan Pemerintahan ini yakin, lebih dari tiga juta pekerja terdampak akibat COVID-19. Ia berharap, keberadaan Kartu Prakerja juga mampu menjawab berbagai persoalan ini. “Kita juga melihat fakta bahwa, kebutuhan masyarakat di masa pandemi tidak hanya skill, tetapi juga kebutuhan dasar. Untuk itu keduanya harus dikombinasikan,” ujarnya.
Tata Kelola dan Etika
Koordinator Staf Khusus Presiden ini menegaskan ada ruang-ruang yang perlu diperkokoh dan diperbaiki terkait tata kelola, etika, juga kerangka punishment. Kagama mendukung upaya ini, agar program kartu prakerja bisa diimplementasikan dengan lebih baik.
“Kita bernegara tidak hanya mengedepankan tata kelola, regulasi, dan punishment. Tetapi juga kerangka budaya, etika, solidaritas, simpati, empati. Ini harus kita perkuat, kita bangun,” pungkas pria asal Ubud, Bali ini.
Di samping itu, penting juga dipikirkan langkah selanjutnya setelah pelaksanaan Kartu Prakerja. Terutama tahap yang harus ditempuh para peserta Kartu Prakerja setelah kompetensinya berhasil dikembangkan.
“Apakah akan menjadi entrepreneur, membangun usaha sendiri, atau menjadi pegawai? Di sini kami harapkan masukan dari Kagama mendorong pemerintah untuk membangun ekosistem yang lebih baik,” ujarnya. (kmb/balipost)