Wayan Suartana. (BP/Dokumen)

Oleh I Wayan Suartana

Mulai tanggal 9 Juli 2020 objek wisata di Bali dibuka dengan protokol kesehatan ketat. Efektivitas serta evaluasi kebijakan ini masih harus ditunggu paling lambat satu bulan ke depan di mana sisi-sisi yang perlu diperbaiki. Mudah-mudahan kebijakan ini sukses tanpa menimbulkan klaster-klaster baru dengan indikator tingkat terpapar Covid-19 semakin landai menuju angka psikologis nol.

Dengan trade off yang direduksi oleh protokol kesehatan memadai kebijakan menyelamatkan tingkat kesehatan dan menyelamatkan keadaan ekonomi-sosial mudah-mudahan bisa berjalan beriringan. Yang perlu diperhatikan adalah kepercayaan (trust) wajib dijaga oleh seluruh stakeholder di mana fase new normal memberi jaminan kepada calon wisatawan bahwa Bali layak dikunjungi.

Kepercayaan itu sangat mahal harganya. Jangan mengendur sedikit pun memelihara keamanan dan kenyamanan serta terus meningkatkan kewaspadaan sebelum pandemi ini dinyatakan berakhir.

Baca juga:  Katup Sosial Krama Bali

Memang situasi belum kondusif seperti yang diharapkan karena sepertinya belum ada negara yang mengizinkan warganya berkunjung ke Indonesia khususnya ke Bali untuk berwisata. Kita hanya mengandalkan wisatawan domestik, itu pun dengan potensi yang tidak bisa diprediksi.

Awalnya Bali memang dipuji oleh pemerintah pusat dalam manajemen penanganan pandemi ini, meski angka terinfeksi akhir-akhir ini justru meningkat. Kata kunci yang sepantasnya dipertahankan adalah ‘’terkendali’’. Dan sesungguhnya pujian itu bisa dikapitalisasi sebagai pijakan awal memohon treatment khusus kepada pemerintah pusat misalnya penurunan biaya listrik bagi industri pariwisata dengan dasar data bahwa industri pariwisata telah terbukti menyumbang banyak devisa, lapangan kerja dan berkontribusi dalam rentang 70-80% bagi pertumbuhan ekonomi Bali.

Baca juga:  Bali Antara Industri dan Eksploitasi

Kalau dilakukan simulasi angka bertumbuh dan kontraksinya pada pertumbuhan ekonomi nasional bisa jadi pertumbuhan ekonomi Bali angka bertumbuh dan kontraksinya dua kali atau paling tidak 1,5 kali lipat. Kalau pertumbuhan ekonomi nasional plus 5% pertumbuhan ekonomi Bali berkisar di angka 7,5 sampai 10%, sebaliknya kalau mengalami kontraksi, katakanlah minus 2% maka Bali akan terkontraksi berkisar di angka minus 3 sampai 4%.

Data historis menunjukkan polanya mirip semacam itu khususnya ketika bertumbuh positif. Kita bisa membayangkan kalau kontraksi pertumbuhan ekonomi Bali minus 4% atau lebih eskalasi dampaknya akan besar dengan komplikasi tinggi.

Baca juga:  Andalkan PHR, Bali Harus Minta Perlakuan Khusus Atasi Dampak Corona

Berapa stimulus yang dibutuhkan untuk menyelamatkan di tengah kemampuan fiskal pemerintah daerah yang semakin menipis. Dengan demikian, bisnis industri pariwisata adalah sektor yg mengalami kerawanan level paling tinggi karena pandemi ini. Dengan multiplier effect yang tinggi seyogianya industri pariwisata mendapat treatment khusus, ibaratnya bisa mendapatkan ‘’infus’’ dan setelah situasi normal dan kondusif infus itu dicabut lagi.

Yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali dan kabupaten/kota adalah memperkuat fungsi kelitbangan menghasilkan kajian, produk atau outcome yang bisa menjustifikasi permohonan ke pusat. Semuanya harus berbasis riset dengan data yang valid, rigor, andal dan kredibel.

Penulis, Guru Besar FEB Unud

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *