DENPASAR, BALIPOST.com – Kondisi danau, mata air, sungai, dan laut di Bali saat ini semakin menurun secara kuantitas maupun kualitas. Padahal, air bagi masyarakat Bali berfungsi sebagai sumber kehidupan.
Bahkan menjadi sarana upacara keagamaan. Oleh karena itu, air kini dilindungi berdasarkan nilai-nilai sad kerthi lewat terbitnya Pergub No.24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai dan Laut yang diumumkan di Jayasabha, Denpasar, Jumat (10/7).
‘’Sekarang ini sumber air kita makin berkurang, karena penebangan pohon sudah tidak bisa dikendalikan lagi,’’ ujar Gubernur Bali Wayan Koster.
Menurut Koster, jumlah sungai yang mati dan setengah mati kini semakin banyak. Itu artinya, sungai yang masih hidup sudah semakin berkurang. Bali pun terancam kesulitan air untuk irigasi dan kepentingan kehidupan lainnya. Tak hanya sungai, danau juga semakin rusak, cemar dan airnya semakin berkurang. Kemudian laut pun semakin kotor akibat pencemaran dan sampah. Keberadaan sumber-sumber air sebagai kebutuhan dasar manusia ini harus dijaga dengan baik.
‘’Ini harus menjadi kesadaran kolektif kita bersama dan dijadikan sebagai desain pembangunan agar betul-betul bisa dilaksanakan secara berkelanjutan dan memberi arah untuk keberlanjutan masa depan generasi muda dalam kaitan pemenuhan air,’’ paparnya.
Koster menambahkan, Pergub No.24 Tahun 2020 menerapkan nilai-nilai kearifan lokal sad kerthi. Warisan leluhur di Bali ini dikatakan betul-betul bermanfaat dan sepantasnya diterapkan dalam menjalankan pembangunan secara sekala dan niskala. Secara niskala, ada upacara penyucian untuk danau (danu kerthi) dan laut (segara kerthi) yakni Tumpek Uye setiap Saniscara Kliwon Wuku Uye. Ada pula Tumpek Wariga untuk tumbuh-tumbuhan (wana kerthi) setiap Saniscara Kliwon Wuku Wariga. ‘’Ada tumpek untuk ngurusin air yang sejak dulu ini diwariskan tapi sudah tidak lagi dijalankan dengan tertib sebagai bagian ritual dari kehidupan kita di Bali,’’ imbuhnya.
Koster mengaku akan menjadikan ritual ini sebagai gaya hidup baru di Bali. Dalam pergub telah diatur mengenai upacara penyucian tingkat alit yang dilaksanakan setiap enam bulan kalender Bali oleh desa adat. Selain itu, setiap lima tahun kalender Bali dilaksanakan upacara penyucian tingkat utama oleh Pemprov Bali. Selain oleh Pemprov Bali, masyarakat juga dapat melaksanakan upacara penyucian sesuai dengan dresta setempat. Tata cara pelaksanaan upacara penyucian mengacu pada sastra atau dresta, serta diselenggarakan secara serentak di seluruh Bali.
‘’Di luar negeri tidak ada sad kerthi, adanya konsep pembangunan berkelanjutan ramah lingkungan. Itu sepersekian dari kearifan lokal sad kerthi. Jadi sebenarnya orang-orang itu harusnya belajar ke sini (Bali – red),’’ paparnya seraya meminta perguruan tinggi di Bali membuka Prodi Sad Kerthi.
Untuk pelindungan secara sakala, lanjut Koster, dilaksanakan oleh perangkat daerah pemprov yang menyelenggarakan urusan bidang sumber daya air, lingkungan hidup dan kehutanan bersinergi dengan instansi terkait sesuai kewenangan. Termasuk berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan desa adat.
Terkait implementasi pergub, salah satunya akan bersinergi dengan Pelindo III. BUMN tersebut akan diminta berkontribusi melalui CSR maupun partisipasi lainnya untuk penyelenggaraan program. ‘’Kita akan melakukan kegiatan secara serentak di seluruh Bali. Pembersihan danau, sungai, dan juga sumber-sumber air lainnya dari hulu sampai hilir. Supaya alam kita bagus, air kita bagus dan berkualitas,’’ jelasnya.
Untuk desa adat, Koster mengatakan wajib membuat pararem dan atau awig-awig yang antara lain memuat soal penanaman pohon, larangan membuang sampah, limbah dan kotoran, serta larangan menebang pohon berikut dengan sanksinya. Setiap pengusaha yang memanfaatkan danau, mata air, sungai dan laut juga diwajibkan melakukan pelindungan secara sekala niskala. (kmb/balipost)