Oleh Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.MA.
Penyebaran COVID-19 memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap berbagai sektor, seperti pariwisata dan penunjangnya serta usaha kecil menengah dan mikro selain perusahaan-perusahaan yang besar. Gelombang PHK telah terjadi yang memberikan pengaruh terhadap tenaga kerja di beberapa perusahaan.
Salah satu sektor yang kembali disasar oleh mereka yang terkena PHK adalah sektor pertanian, baik di lahan sawah maupun nonsawah, dan subsektor pertanian lainnya seperti peternakan, perkebunan dan perikanan. Ternyata pertanian di Bali tidak pernah akan luntur karena telah menjadi way of life bagi masyarakat petani.
Nilai-nilai budaya pertanian hingga saat ini masih menjadi salah satu pendukung budaya Bali yang tercermin dalam aktivitas subak sebagai sistem irigasi tradisional. Bahkan nilai budaya subak yang dilandasi oleh Tri Hita Karana diakui oleh salah satu badan dunia yaitu UNESCO sebagai warisan budaya dunia (world cultural heritage).
Meskipun masih ada anggapan bahwa sektor ini masih marginal, tetapi kontinuitas aktivitas pertanian kegiatan masih tetap berjalan walaupun tidak melesat cepat seperti sektor pariwisata dan industri lainnya. Kondisi pandemik Covid-19 telah menjadi sektor ini manjadi pilihan walaupun sifatnya hanya sementara, karena setelah situasi ekonomi stabil akan ditinggalkan lagi. Atau dengan kata lain, para pekerjanya akan beralih profesi kembali ke sektor pariwisata dan industri.
Sektor pariwisata dan industri sangat menjanjikan untuk perolehan pendapatan, dan sangat berbeda dengan sektor pertanian, khususnya di lahan sawah yang belum memberikan jaminan bagi para petani untuk secara cepat memperoleh pendapatan yang tinggi. Kondisi ini diakibatkan karena beberapa kendala seperti terbatasnya penguasaaan lahan, teknologi dan keterbatasan lainnya. Melihat kondisi pertanian saat ini, maka pandemi COVID-19 ini perlu dimaknai dengan menggaungkan kembali mencintai pertanian.
Mencintai pertanian yang dimaksudkan adalah bukan hanya para petani, keluarganya saja yang mencintainya, tetapi bisa dimulai dari anak usia dini (Sekolah Dasar) sampai dengan generasi muda. Kecintaan terhadap pertanian juga dilihat dari aspek psikologinya tetapi juga dari aspek lainnya, yaitu ekonomis, sosial dan politik karena pertanian dapat dipandang dari berbagai dimensi.
Oleh karena itu, mencintai pertanian harus dilakukan dan didukung oleh berbagai pihak, sehingga kecintaan para pelaku utama (petani) merasa dicintai dan dihargai oleh mereka yang nonpetani. Misalnya pemerintah perlu menata kembali kebijakan-kebijakannya agar membangun pertanian ‘’dikeroyok’’ oleh sektor-sektor lainnya dari hulu sampai ke hilir.
Tidak semata-mata Dinas Pertanian yang membangunnya, tetapi dinas-dinas lainnya wajib memberikan dukungan dan kontribusinya terhadap pengembangan pertanian guna mewujudkan kesejahteraan para petani dan keluarganya. Di sinilah makna mencintai pertanian tersebut, sehingga sektor ini semakin digeluti dan dicintai oleh para petani dan generasi muda lainnya karena akan menjanjikan taraf hidup yang lebih baik.
Dengan demikian, generasi muda memiliki ketertarikan untuk menekuni pekerja di sektor pertanian di lahan sawah. Sebagai generasi milenial, anak muda diarahkan pada pertanian yang modern dan berorientasi pasar. Penggunaan teknologi pertanian agar semakin ditingkatkan intensitasnya guna memberikan produktivitas yang tinggi dan juga menghasilkan kualitas produk yang sesuai dengan permintaan pasar.
Generasi muda tidak memiliki kesulitan untuk mengakses informasi, pengetahuan dan teknologi tentang pertanian dan pasar produk-produk pertanian yang bermanfaat untuk penguatan kapasitas mereka. Selain itu, soft skill generasi muda juga perlu diperkuat melalui pengenalan pertanian sejak dini agar mulai mencintai pertanian.
Sehingga belumlah terlambat jika anak-anak yang masih menginjak pendidikan dasar diberikan edukasi tentang pertanian melalui keterlibatan langsung di tengah hamparan sawah, misalnya teknik pengajaran dalam bentuk sosio drama.
Penulis, Rektor Dwijendra University