Oleh Dr. Putu Putra Astawa, S.Kom., M.Kom.
Bali sebagai salah satu tujuan wisata dunia memiliki keindahan alam yang tidak akan ditemui di tempat lain. Pariwisata Bali berkembang dengan baik tidak hanya karena semata-mata pemandangan alam yang indah, tetapi juga dengan keragaman budaya, tradisi, seni, keyakinan beragama dan keramah-tamahan penduduknya menjadi taksu pariwisata Bali.
Taksu inilah yang diyakini memberikan nilai, kekuatan, dan spirit dalam setiap aktivitas sosial dan religius dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali. Konsep yang dipegang oleh masyarakat Hindu Bali dari dahulu kala sampai sekarang.
Namun di tengah situasi dan kondisi pandemi Covid-19 yang melanda dunia, Indonesia termasuk Bali telah mengubah tatanan perilaku kehidupan manusia menuju normal baru yang mengacu pada tiga prinsip protokol kesehatan yaitu kesehatan, kebersihan dan keamanan. Dampak dari pandemi Covid-19 telah melambatkan berbagai sektor, termasuk sektor pariwisata.
Mengutip data BPS Provinsi Bali (2020), ekonomi Bali triwulan I-2020 tercatat tumbuh negatif 1,14 persen jika dibandingkan triwulan I 2019 (y-on-y). Diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku (ADHB) dan berdasarkan atas dasar harga konstan (ADHK). Pada sisi lapangan usaha, pertumbuhan negatif terdalam tercatat pada kategori I (penyediaan akomodasi dan makan minum) yakni -9,11 persen.
Sementara dari sisi pengeluaran, komponen impor luar negeri tercatat sebagai komponen dengan pertumbuhan negatif terdalam, yaitu sebesar -38,81 persen. Secara q-to-q (dibandingkan dengan triwulan sebelumnya), ekonomi Bali triwulan I-2020 juga mencatatkan angka pertumbuhan yang negatif, yaitu sebesar -7,67 persen.
Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan berlama-lama karena akan berdampak terhadap menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Semua stakeholder harus bergandengan tangan mengatasi permasalahan ini, agar kita bisa segera keluar dari situasi dan kondisi saat ini, dengan tetap selalu menerapkan protokol kesehatan di setiap aktivitas kita, terutama aktivitas di luar rumah.
Semua sektor industri dunia tengah menyusun Standar Operasional Prosedural (SOP) masing-masing untuk bisa beradaptasi di era ini. Memasuki tatanan normal baru pada sektor pariwisata, pada tatanan normal baru.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, merupakan sebuah tandangan sekaligus sebagai kesempatan untuk menata kembali sektor pariwisata demi kesejahteraan masyarakat. Dalam mengimplementasikan pengembangan industri pariwisata dengan tiga pilar utama yang dikenal dengan triple helix yaitu pemerintah, masyarakat dan akademisi.
Pada era teknologi informasi ini terdapat satu komponen lagi yang tidak bisa kita abaikan, karena ini merupakan sebuah keniscayaan yaitu teknologi informasi dan komunikasi, sehingga menjadi tetra helix, yaitu empat pilar utama dalam pengembangan industri pariwisata, yaitu pemerintah, masyarakat, akademisi serta teknologi informasi dan komunikasi.
Era digital merupakan era di mana information communication technology (ICT) menjadi basis dalam setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam segala sektor, termasuk sektor pariwisata. ICT merupakan teknologi informasi dan komunikasi yang berfungsi untuk mengefektifkan dan mengefisienkan setiap kegiatan, berbasis teknologi komputer. Tentu ada dampak positif dan negatif yang ditimbulkan dalam era ini.
Dampak positif pada sektor pariwisata yang dirasakan pada era digital yaitu mengubah cara wisatawan yang akan melakukan perjalanan, mulai dari mencari dan melihat informasi (look), memesan paket wisata yang diminati (book) hingga membayar secara online (pay). Gaya hidup masyarakat yang bergerak cepat dan bersentuhan langsung dengan internet, menyebabkan model promosi digital, kini sangat relevan diaplikasikan.
Hal ini sangat sesuai dengan kondisi saat ini yang mendukung protokol kesehatan terutama dalam menghindari kontak fisik secara langsung (physical distancing) dengan penyedia jasa pariwisata. Namun, di sisi lain dampak negatif dari perspektif budaya seperti terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya berkembang menjadi budaya massa, mempercepat perubahan pola kehidupan masyarakat, mudah terpengaruh oleh hal yang berbau Barat.
Mulai tergerusnya identitas budaya lokal, masyarakat cenderung pragmatisme dan maunya serba instan, hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong. Hal tersebut terjadi karena tergerus oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat.
Dampak negatif yang ditimbulkan dari arus informasi dan komunikasi semakin cepat di era digital terhadap eksistensi budaya perlu disikapi secara serius oleh semua pemegang kepentingan mulai dari pemerintah, akademisi, masyarakat dengan berkomitmen menjaga eksistensi budaya Bali sebagai taksu dalam mengembangkan pariwisata di Bali.
Tantangan yang dihadapi ke depan dalam menjaga eksistensi budaya, tradisi, adat istiadat, kesenian tradisional cukup berat. Karena pada era digital, arus informasi dan komunikasi bergerak secara cepat. Masyarakat dihadapkan pada banyaknya alternatif pilihan, baik dalam menentukan kualitas maupun selera.
Untuk menghadapi hal-hal tersebut ada beberapa alternatif cara mengatasinya, yaitu meningkatkan sumber daya manusia (SDM) bagi para generasi muda yang berpikir kreatif dan inovatif dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, mengembalikan peran pemerintah sebagai pengatur, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
Para akademisi melakukan kajian-kajian secara mendalam nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tradisi. Menanamkan nilai-nilai luhur budaya kepada generasi muda agar bangga dengan budaya tradisi yang dimiliki. Membuat wadah atau komunitas lembaga untuk menyalurkan bakat dan kreativitas generasi muda dalam hal kebudayaan.
Upaya pelestarian itu akan berkesinambungan apabila didukung oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah masyarakat dan akademisi. Diharapkan dengan menjaga eksistensi budaya lokal akan mendukung program pariwisata berkelanjutan yang pada muaranya akan dapat menyejahterakan masyarakat.