DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali Wayan Koster baru-baru ini telah menerbitkan tiga peraturan gubernur (Pergub). Masing-masing, Pergub No. 24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai dan Laut, Pergub No. 25 Tahun 2020 tentang Pelindungan Pura, Pratima dan Simbol Keagamaan, serta Pergub No. 26 Tahun 2020 tentang Sistem Pengamanan Lingkungan Terpadu Berbasis Desa Adat (Sipandu Beradat).
Lantaran disusun berdasarkan kondisi real yang ada di Bali, ketiga regulasi ini diharapkan bisa mewujudkan pengamanan, pelestarian, serta menumbuhkembangkan dinamika akar budaya. “Persoalan produk Undang-undang, dan juga turunannya sampai level Pergub kan pada intinya implementasi di lapangan,” kata Anggota Komisi I DPRD Bali, I Wayan Gunawan ditemui di gedung dewan, Rabu (15/7).
Gunawan mencontohkan Perda RTRW yang selama ini terkesan sebagai “macan ompong” karena lemah di tataran implementasi. Pelanggaran RTRW justru menjadi-jadi dan semena-mena. Pihaknya tidak menginginkan hal serupa kembali terulang dengan terbitnya tiga pergub baru tersebut. Khususnya pergub yang mengatur soal pelindungan danau, mata air, sungai dan laut. Apalagi, RTRW sebetulnya sudah cukup jelas mengatur masalah lingkungan, daerah pesisir, perlindungan jurang hingga sempadan sungai.
“Pergub ini turunan dari RTRW barangkali. Semacam konsep pembangunan kita yang berkesinambungan. Agar jangan tumpang tindih dan sepotong-sepotong,” terangnya.
Menurut Gunawan, sebuah regulasi akan menjadi baik jika saling melengkapi dengan regulasi lainnya dan dapat diimplementasikan. Selain harus kongkrit dari aspek implementasi, keberadaan pergub juga mesti bernilai produktif untuk masyarakat. Bukan hanya terkait dengan branding ekonomi, tapi yang terpenting ada rasa memiliki.
“Anggaplah sekarang soal pratima, desa adat dalam sistemik itu kan sebenarnya sudah punya tata aturan disitu. Mudah-mudahan produk ini bisa memayungi, memberikan pedoman, dan SOP,” jelas Politisi Golkar ini.
Pasalnya, lanjut Gunawan, yang nanti melaksanakan ketiga pergub adalah masyarakat. Apalagi, materi pergub juga menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga mereka perlu berperan. Harus ada reward dan punishment, mekanisme pengawasan, dan partisipasi masyarakat dalam posisi mendapat nilai dari pergub itu. Pada intinya, pergub harus mampu menjangkau desa, kala, patra karena generalisasi terkadang memperlemah kondisi real di lapangan dan belum tentu bisa dilaksanakan.
“Kita harapkan (pergub) justru memperkuat kondisi habitatnya. Makanya mampu tidak menjangkau kepentingan masyarakat yang banyak? Kepentingan habitatnya, tradisinya, culture-nya, disisi lain di adat itu kan struktural,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)