DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali Wayan Koster telah meluncurkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai dan Laut. Pergub ini bertujuan untuk melindungi sumber air berdasarkan nilai-nilai Sad Kerthi yang saat ini kondisinya semakin menurun, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Padahal, air bagi masyarakat Bali berfungsi sebagai sumber kehidupan. Bahkan menjadi sarana upacara keagamaan.
Wakil Ketua III DPRD Bali Tjok Gde Asmara Putra Sukawati mengingatkan, Bali tidak lepas dan unsur sekala dan niskala. Keduanya kini dipadukan dalam upaya melindungi lingkungan alam Pulau Dewata.
Terutama air sebagai sumber kehidupan lewat terbitnya Pergub Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelindungan Danau, Mata Air, Sungai dan Laut. Perpaduan unsur sekala dan niskala diyakini akan membuahkan hasil yang baik terkait upaya pelindungan tersebut. “Secara garis besar, pergub ini bagus. Selain kita melakukan secara sekala, kita juga kan harus melakukan secara niskala. Kita percaya itu, karena semua bebantenan pasti ada sastranya. Kalau kita ikuti pasti jalan,” ujarnya.
Terlebih, lanjut Tjok Asmara, para leluhur di Bali sudah mengajarkan keseimbangan sekala dan niskala. Salah satunya yang tertuang dalam filosofi Tri Hita Karana. Berkaitan dengan implementasi pergub, pemerintah sekarang memang harus mulai melindungi sumber mata air.
Bukan hanya kelebutan, sungai atau danau, tetapi juga hutan yang merupakan daerah resapan air. “Hutan harus tetap ada. Seperti penyangga sungai dengan daratan dari Bangli sampai Badung, Denpasar harus hijau sebenarnya untuk menahan air hujan turun ke sungai. Itu sebabnya, pohon harus banyak ditanam di pinggiran sungai,” jelasnya.
Bicara air sebagai sumber kehidupan, Tjok Asmara menyebut debit air tanah kini terus turun setiap tahun. Untuk mengembalikannya, maka perlu dilakukan penghijauan.
Selain itu, jangan lagi ada pembangunan hotel di sempadan sungai yang merupakan penahan air. Upaya ini sekaligus untuk mengurangi risiko bencana seperti banjir dan tanah longsor saat musim hujan. “Secara kasat mata kita lihat, air bersih banyak ada. Tapi dalam tanah, kita tidak tahu,” imbuh politisi Demokrat ini.
Tjok Asmara menambahkan, pohon yang ditanam akan lebih elok jika bermanfaat pula bagi masyarakat. Seperti bambu yang memiliki nilai ekonomi sekaligus daya tampung air tinggi, sehingga cukup bagus untuk mengisi pori-pori tanah menjadi air tanah.
Secara niskala, ada hari baik ataupun wuku kapan boleh menanam atau menebang pohon serta kapan pohon itu diupacarai. Di balik itu semua, rupanya ada fungsi yang terkait dengan upaya pelindungan lingkungan alam. ‘’Kalau pas wuku-nya kita tebang, bambu itu tidak ada air di dalamnya. Kalau masih muda kita tebang, kan keluar airnya, pasti dimakan rayap itu bambunya,’’ jelasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Dosen Fakultas Pertanian Unud Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S. mengatakan, keberadaan pergub tersebut sangat bagus untuk menjaga ketahanan sumber daya air. Kendati demikian, ia mengingatkan agar penerapan pergub tersebut di lapangan harus dilakukan secara tegas.
Pergub tersebut, katanya, berisi komitmen bagaimana menjaga air ini. Ditegaskan, saat ini defisit air di Bali sudah sangat tinggi. Terkait sumber mata air, sungai, danau, laut itu sudah ada undang-undangnya, namun di pergub tersebut juga tercantum terkait pengelolaan sampahnya. “Untuk di Bali, penjagaan terhadap sumber daya air sudah dilakukan secara sekala dan niskala. Untuk sekala atau alam nyata, semua orang harus berperan aktif untuk penerapannya, baik itu menjaga kebersihan, tidak mengotori lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, serta tidak melanggar peraturan yang ada,” katanya.
Kartini menegaskan, munculnya pergub ini memang sangat bagus. Namun, penerapannya harus dikawal dan disosialisasikan secara intensif ke masing-masing desa/kelurahan dan desa adat di Bali. ‘’Ini yang harus disosialisasikan. Selain sosialisasi, untuk sanksi juga harus diberlakukan,’’ tegasnya. (Rindra Devita/balipost)