Nyoman Sukamara. (BP/Istimewa)

Oleh: Nyoman Sukamara

Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) ditegaskan ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Saat ini sedang berlangsung proses rekrutmen PNS yang telah melewati tahap Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dan tahap selanjutnya setelah dihadang Covid-19 akan segera dilanjutkan dan diharapkan selesai akhir tahun ini.

Di sisi lain, masih terdengar protes-protes dari pegawai kontrak yang tersebar di banyak instansi pemerintah di seluruh Indonesia yang menuntut diangkat menjadi PNS atau PPPK.

Sayang di tengah banyak orang berharap menjadi PNS, atau setidaknya PPPK, tiba-tiba saja merebak wacana pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) memensiunkan 1,6 juta PNS, kurang lebih 20 persen dari jumlah PNS. Bukan karena negara tidak mampu membayar gaji tetapi karena alasan tidak produktif (diberitakan tnggal 7 Juli 2020 oleh beberapa media elektronik).

Terhitung 31 Desember 2019 keseluruhan PNS Indonesia berjumlah 4.189.121 orang di mana pada tahun 2015 hingga Desember 2018 jumlah PNS mengalami penurunan dikarenakan banyaknya jumlah PNS yang pensiun dan moratorium PNS selama dua tahun, yang kemudian berlanjut dengan kenaikan jumlah PNS pada Desember 2019 sebesar 0,09% (e-book Statistik Menpan RB).

Di samping PNS, masih ada ratusan ribu lagi pegawai non-PNS dengan berbagai kategori yang sedang berharap menjadi PNS atau setidaknya menjadi PPPK.

Pertanyaan pokoknya apakah jumlah tersebut sudah efektif untuk melayani 272 juta lebih penduduk Indonesia yang tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota? Atau masih kurang sehingga saat ini pun masih sedang berlangsung proses rekrutmen PNS?

Atau sebaliknya jumlah yang berlebih sehingga ada rencana pengurangan? Permasalahan sesungguhnya bukan semata jumlah, tetapi pada efektivitas PNS.

Sulit menilai efektivitas jumlah PNS. Efektivitas ditentukan oleh kondisi PNS dan faktor-faktor pendukung kerja lainnya. Kondisi PNS adalah jumlah dan kualitas PNS. Faktor lain di antaranya adalah penduduk yang dilayani, wilayah pelayanan, sarana-prasarana kerja yang masing-masing ditentukan oleh banyak unsur.

Baca juga:  ASN Harus Jaga Netralitas, “Like” Foto Paslon akan Diganjar Sanksi

Kualitas PNS misalnya ditentukan oleh jenjang pendidikan, kualifikasi, pengalaman kerja (pangkat dan jabatan), usia, dan sebagainya. Selanjutnya, UU Nomor 5 Tahun 2014 dan PP Nomor 11 Tahun 2017 telah mensyaratkan tiga kompetensi ASN, yaitu kompetensi teknis, kompetensi manajerial dan kompetensi sosial-kultural, serta tambahan persyaratan kompetensi pemerintahan bagi para ASN yang menduduki jabatan kepala organisasi sebagaimana dipersyaratkan oleh UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Kondisi wilayah pelayanan ditunjukkan antara lain oleh luas wilayah, karakteristik wilayah (daratan/kepulauan, topografi/iklim). Kondisi penduduk yang dilayani ditunjukkan antara lain oleh jumlah dan persebaran penduduk, tingkat kesadaran/pendidikan, tingkat ekonomi, agama, adat dan kebudayaan masyarakat. Sedangkan faktor sarana/prasarana misalnya ditunjukkan oleh tingkat aksesibilitas transportasi (prasarana, sarana), keberadaan sarana TIK (misalnya jangkauan jaringan informasi).

Efektivitas bahkan juga berkaitan dengan kondisi sosial-politik dan sumber daya sosial setempat (contoh: bagaimana sistem banjar di Bali berkontribusi atas keberhasilan program KB, dan saat ini berkontribusi dalam upaya penanganan Covid-19). Bahkan Efektivitas, walaupun belum ada ukuran-ukurannya, tidak bisa dipungkiri dipengaruhi kesejahteraan PNS.

Berbagai faktor pengaruh tersebut menjadikan pengukuran efektivitas jumlah PNS bukan pekerjaan mudah. Sebagai gambaran kondisi tahun 2017, jumlah PNS Indonesia sebanyak 4.527.126 melayani 252 juta penduduk, yang berarti 1 PNS melayani lebih dari 55 penduduk. Rasio jumlah PNS Indonesia ini lebih besar daripada rasio di Singapura dimana 1 pegawai negeri di Singapura melayani 66 penduduk, apalagi dibandingkan di Inggris dimana 1 pegawai negeri melayani 147 penduduk.

Namun, kondisi ini sama sekali belum menggambarkan efektivitas PNS Indonesia ketika kinerja pelayanan birokrasi Indonesia yang justru tertinggal jauh dibandingkan dua negara tersebut. Tingkat efisiensi birokrasi Indonesia sekali pun mengalami peningkatan, hanya menempati posisi ke-75 pada tahun 2018, sementara Singapura sejak 2010 sampai 2018 tetap berada di posisi puncak (peringkat 1) di antara seratusan lebih negara yang dinilai (Government effectiveness-Country rankings Tahun 2010, 2014, 2015, 2016, 2017, 2018)

Baca juga:  Siapkah Bali Bangkit Tanpa Pariwisata?

Data tahun 2018 menunjukkan rasio rata-rata 10 provinsi jumlah PNS provinsi terhadap jumlah penduduk provinsi adalah 1 PNS/1.000 penduduk dengan rasio tertinggi di Jakarta dan 7/1.000 dan rasio terendah ada di Jawa Barat dan Banten sebesar 1/1000. Apabila digabungkan dengan PNS kabupaten/kota keseluruhan di masing-masing provinsi, rasio rata-rata 10 provinsi menjadi 16 PNS/1.000 penduduk dengan rasio tertinggi ada di NTT sebesar 21/1.000 terendah di Jakarta dan Jawa Barat dengan rasio 7/1000 (di Jakarta hanya ada PNS Provinsi).

Selanjutnya rasio rata-rata 10 provinsi jumlah PNS terhadap luas wilayah adalah 10,98 PNS/km2. Rasio terbesar ada di Jakarta 105 sedangkan rasio terkecil ada Kalimantan Timur, dengan hanya 0,09. Selanjutnya apabila ditambahkan PNS seluruh kabupaten/kota di masing-masing provinsi, maka rasio rata-rata 10 provinsi adalah 13,88 PNS/km2 dimana rasio terbesar ada di Jakarta 105 dan rasio terkecil 0,62 ada di Kalimantan Timur.

Yang jelas, jumlah PNS Indonesia tersebut telah membebani Rp 707 triliun keuangan negara yang mencapai 33.8% dari keseluruhan APBN dan APBD, di mana rasio belanja pegawai dan belanja pembangunan tidak proporsional (Nunu A Hamijaya, 2018). Rasio jumlah pegawai per penduduk dan beban anggarannya terhadap keuangan negara ini yang mengakibatkan besarnya desakan kuat terutama dari luar agar Indonesia melakukan debirokrasi dan deregulasi (Sofian Efendi Pramusinto, 2009).

Rasio-rasio di atas juga menunjukkan tidak proporsionalnya jumlah PNS antarprovinsi. PNS lebih terkonsentrasi di kota-kota besar, cenderung di wilayah-wilayah yang lebih maju. Hal yang juga perlu menjadi perhatian sebagaimana diungkapkan Prof. Dr. Sofian Efendi adalah kualitas PNS yang masih belum memadai/belum memenuhi standar minimal.

Hal ini di antaranya ditunjukkan oleh masih adanya PNS dengan jenjang pendidikan SD, SMP, SMA (kurang lebih 20 persen), kelompok usia relatif tua yang didominasi kelompok usia 51-65 tahun sebesar 1,6 juta orang, distribusi belum merata dan kompoisi yang tidak seimbang (Ma’ruf, Jasman, 2018).

Baca juga:  Hadapi Resesi Kurangi Resepsi

Sebagaimana PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017, penyusunan dan penetapan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS seharusnya dilakukan untuk jangka waktu lima tahun yang diperinci per satu tahun berdasarkan prioritas kebutuhan.

Selanjutnya PP tersebut menegaskan bahwa rincian kebutuhan PNS setiap tahun harus didasarkan 1) hasil analisis jabatan dan analisis beban kerja, 2) peta jabatan di masing-masing unit organisasi yang menggambarkan ketersediaan dan jumlah kebutuhan PNS untuk setiap jenjang jabatan, dan 3) memerhatikan kondisi geografis daerah, jumlah penduduk, dan rasio alokasi anggaran belanja pegawai. Penyusunan dan penetapan kebutuhan merupakan kegiatan pertama dari 14 kegiatan manajemen PNS. Karenanya, kegagalan langkah ini bisa menjadi awal mismanajemen PNS dan melahirkan solusi yang tidak tepat.

Pengadaan PNS sedang berlangsung, moratorium sudah pernah dilakukan. Pengurangan PNS sebenarnya juga bukan hal baru. Sudah diwacanakan dan direncanakan, tetapi urung dilaksanakan KemenPAN-RB ketika kementerian ini dipimpin oleh Bapak Yudi Chrisnandi. Bahkan sudah sampai pada tahap identifikasi empat kuadran PNS di mana kuadran keempat, yaitu kelompok PNS yang kompetensi dan kinerjanya rendah yang akan dipensiundinikan.

Penyusunan dan penetapan kebutuhan PNS adalah pekerjaan yang sangat strategis namun tidak mudah untuk negara seperti Indonesia, sebuah negara besar dan plural. Negara yang terdiri 34 pemerintahan provinsi dan 514 pemerintahan kabupaten/kota dengan karakter geografis, demografis, politik, sosial-kultur beragam. Namun, ketika penyusunan dan penetapan kebutuhan yang akurat gagal dilakukan, maka rekrutmen, moratorium atau pemecatan PNS tidak akan membantu reformasi birokrasi.

Penulis Widyaiswara BPSDM Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *