DENPASAR, BALIPOST.com – Data menunjukkan Bauran Sumber Energi Primer Energi Baru Terbarukan (EBT) di Bali baru sebesar 0,27 persen pada tahun 2015. Rendahnya pemanfaatan EBT juga tampak pada tingkat nasional yang baru sebesar 5 persen.
Oleh karena itu, upaya-upaya pengadaan, pengelolaan dan pemanfaatan EBT mesti lebih didorong ke depan. Apalagi, Bali memiliki sejumlah potensi EBT untuk dikembangkan. “Potensi EBT terbesar di Bali adalah energi surya, menyusul energi laut, angin/ bayu, dll,” ujar Koordinator Pembahas Raperda tentang Rencana Umum Energi Daerah Provinsi Bali Tahun 2020-2050, IGA Diah Werdhi Srikandi dalam Rapat Paripurna DPRD Bali, Selasa (21/7).
Selain itu, lanjut Diah Werdhi, bauran penggunaan energi dari air juga tidak kalah tingginya. Bendungan yang sedang dibangun di Desa Sidan, menyimpan energi potensial semacam itu.
Selain Bendungan Telaga Tunjung di Tabanan dan Bendungan Titab di Buleleng. Kemudian yang tidak kalah besarnya adalah potensi energi biomass yang bersumber dari sampah.
Potensi ini bahkan dapat menyelesaikan dua persoalan sekaligus. Yakni, timbunan sampah menjadi hilang dan berubah menjadi energi listrik. “Pilihan EBT biomass ini juga kami sangat rekomendasikan,” imbuh Politisi PDIP asal Jembrana ini.
Menurut Diah Werdhi, pengadaan sistem pembangkit EBT dalam jangka pendek memang masih relatif lebih mahal daripada pembangkit fosil. Akan tetapi, dalam jangka panjang dan konteks pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi pertimbangan utama.
Selama ini, pemanfaatan dan pengembangan EBT pada pembangkit listrik masih rendah disinyalir terjadi karena berbagai permasalahan. Diantaranya, belum adanya insentif yang memadai, minimnya ketersediaan instrumen pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan investasi, proses perizinan yang relatif rumit dan memakan waktu yang cukup lama di tingkat pusat atau daerah, serta permasalahan ketersediaan lahan dan tata ruang.
“Kami sangat merekomendasikan agar Pemerintah Pusat membantu sepenuhnya Pemerintah Daerah dalam hal pendanaan, perizinan, penatalaksanaan, monitoring dan evaluasi sampai dengan pemeliharaan dan operasional (maintenance and operational system),” jelasnya.
Diah Werdhi beralasan, RUED-P ini sebenarnya juga adalah turunan dari RUEN, sehingga sukses daerah pada saatnya akan menjadi sukses nasional. Selain itu, perlu dilakukan studi, evaluasi dan kajian lebih dalam lagi terhadap beberapa proyek percontohan (pilot projecting) yang sudah pernah ada di Bali.
Seperti PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Kayubihi-Bangli, PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/ Angin) di Nusa Penida-Klungkung dan PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) di Bedugul-Tabanan, agar kelak tidak terulang lagi kekeliruan yang sama.
“Termasuk disiapkan suatu “rem darurat” atau yang dalam strategic planning dikenal sebagai exit strategy, jikalau semua situasi dan kondisi menjadi di luar perhitungan,” paparnya.
Diah Werdhi menilai arah Pemprov Bali sudah tepat yang akan mengupayakan pasokan listriknya dan sumber energi lainnya dipenuhi dari pembangkit yang ada di Bali secara mandiri atau “Bali Mandiri Energi”. Sedangkan pasokan listrik dari Pulau Jawa melalui grid Jamali atau Jawa-Bali Connection (JBC) hanya berfungsi sebagai cadangan bersama (reserve sharing) untuk sistem di Jawa dan sistem di Bali.
Apalagi, potensi pengembangan sumber energi baru terbarukan (EBT) sangat banyak di tengah keterbatasan sumber daya pembangkit fosil (gas, minyak bumi dan batubara). (Rindra Devita/balipost)