DENPASAR, BALIPOST.com – Kondisi ekonomi yang memburuk akibat dampak COVID-19, berpengaruh besar pada ekonomi makro dan mikro, khususnya di perbankan. Perbankan umum mengalami perlambatan bahkan penurunan aset dan DPK (Dana Pihak Ketiga berupa tabungan atau deposito). Kondisi yang serupa juga dialami BPR (bank perkreditan rakyat).
Demikian diungkapkan Ekonomi Ahli Kelompok Koordinator Assesmen Ekonomi Keuangan Regional dan Advisory Daerah M. Setyawan Santoso, Senin (20/7). Pandemi COVID -19 menyebabkan perlambatan pertumbuhan DPK BPR, terutama disebabkan oleh sikap kehati – hatian nasabah dan penurunan pendapatan masyarakat Bali.
Pada April 2020, pertumbuhan DPK BPR mengalami perlambatan bahkan lebih dalam dari bank umum. Penyaluran kredit BPR mengalami perlambatan dari 8,3 persen di 2019 menjadi 5,59 persen di April 2020.
Menurutnya, melambatnya penyaluran kredit tersebut disebabkan oleh melambatnya kredit untuk investasi. Sementara itu pertumbuhan kredit UMKM hanya 3,71 persen. Penyaluran kredit baru juga mengalami perlambatan baik disebabkan menurunnya demand dari masyarakat maupun prinsip kehati-hatian BPR di tengah terbatasnya likuiditas.
Kualitas kredit BPR juga mengalami penurunan dibanding Desember 2019. NPL pada Desember 2019 mencapai 7,58 persen meningkat menjadi 8,92 persen pada April 2020. NPL yang lebih tinggi ditunjukkan oleh debitur UMKM serta ditujukan untuk kredit investasi 8,92 persen pada April 2020. NPL UMKM di BPR pada April 2020 mencapai 10,27 persen dan NPL non UMKM 7,39 persen.
“Peningkatan risiko kredit tercermin pada peningkatan NPL dengan hasil survey menunjukkan terdapat penambahan BPR yang memiliki NPL lebih besar dari 5 persen,” ujarnya.
Sementara peningkatan risiko likuiditas tercermin pada penurunan alat likuid BPR dan kecenderungan peningkatan LDR. Hasil survey juga menunjukkan adanya penambahan BPR yang memiliki LDR lebih besar dari 94,75 persen serta rasio alat likuid terhadap DPK kurang dari 10 persen.
Untuk mengatasi menurunnya kualitas kredit, sekitar 20 – 40 persen debitur telah mengajukan restrukturisasi kredit. Rata – rata persetujuan restrukturisasi kredit mencapai 50 persen dari pengajuan, mayoritas dalam bentuk penundaan pembayaran pokok dan perpanjangan jangka waktu pinjaman. Berdasarkan hasil diskusi, beban dari restrukturisasi masih menjadi beban BPR.
Menurutnya, untuk menjaga tingkat kesehatan, BPR perlu menjaga likuiditas masing – masing. Oleh karena itu, BPR mengharapkan adanya peningkatan penjaminan LPS untuk menjaga kepercayaan masyarakat serta dukungan restrukturisasi dan bantuan likuiditas dari otoritas dan pemerintah.
LPS diharapkan dapat menaikkan penjaminan nasabah yang sebelumnya sebesar Rp 2 miliar menjadi lebih tinggi. Hal ini untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan termasuk BPR.
Diharapkan pemerintah dan otoritas terkait untuk dapat memberikan dukungan secara konkrit bagi BPR untuk meningkatkan likuiditas BPR. Beberapa yang diusulkan adalah penurunan CAR, peningkatan suku bunga penjaminan oleh LPS, dll.
Otoritas terkait diharapkan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat umum agar tetap menempatkan dananya kepada bank termasuk BPR dan meyakini bahwa BPR di Indonesia masih tergolong sehat. Hal ini untuk menghindari penarikan dana pihak ketiga secara masif. (Citta Maya/balipost)