Oleh Kadek Suartaya
Upacara keagamaan di Pulau Bali senantiasa menghadirkan puspa ragam seni. Akan tetapi sejak wabah Corona mencengkeram jagat, panorama bineka letupan keindahan itu seakan sirna ditiup angin. Bahana suara gamelan tak terdengar lagi. Alunan kidung wingit terkungkung.
Lenggok tulus tari Rejang dan hentakan tangkas tari Baris yang lazim dibawakan secara massal tak tampak lagi. Demikian pula atraksi seni dalam gemerincing pariwisata, pasrah merana. Pentas Cak tak ada unjuk kecipak. Jingrak tari Barong melompong. Gemulai Legong melolong.
Sementara itu, Pesta Kesenian Bali (PKB) yang tak pernah jeda sejak digelar tahun 1979, kini di tahun 2020 yang semestinya digelar sebulan pada Juni-Juli, ditiadakan. Taman Budaya Bali (Art Center) tempat digelarnya perhelatan itu pun lengang.
Wabah Covid-19 sungguh merupakan malapetaka yang merontokkan sendi-sendi kehidupan umat manusia. Dunia seni termasuk terhujam hantaman yang telak. Para pegiat seni kelimpungan, termasuk insani seni kita di Bali. Tidak sedikit seniman Bali mengambil jalan pintas mencoba-coba pekerjaan yang belum pernah dijamahnya sama sekali, bisnis dadakan kecil-kecilan demi dapat menyambung hidup.
Para penari menyimpan segala busana dan properti tarinya. Para pelaku seni pedalangan tak mengusik lagi wayang-wayangnya yang kini tidur lelap di keropak (kotak) peraduannya. Perajin-perajin gamelan, tukang pembuat busana, tapel (topeng), gelungan (penutup kepala) sudah tak berproduksi lagi. Teror Corona telah membuat aktivitas seni di Pulau Kesenian ini lumpuh. Masa suram yang tak terbayangkan sebelumnya.
Kesenian Bali, khususnya seni pertunjukan, yang menjadi bagian dari kehidupan sosio-religi-kultural dan termasuk ekonomi masyarakat Bali, jika ingin tetap berdenyut, mau tidak mau harus mereposisi diri. Fleksibelitas ini diperlukan untuk membuka ruang dan memanfaatkan peluang yang bisa digunakan, baik untuk kepentingan seni itu sendiri maupun wahana memperoleh nafkah lahir.
Menata ulang format seni yang tidak berbenturan dengan protokol kesehatan patut sesegera mungkin dikemas dan dilakoni. Bagi bidang seni pertunjukan yang pada dasarnya memerlukan adanya kehadiran penonton, perlu memformat tampilannya yang tidak sampai melanggar physical distancing dan social distancing. Sedangkan bidang seni rupa akan lebih berkemungkinan menyesuaikan ekspresi seninya, lebih-lebih bidang seni lukis, seni patung, seni kriya misalnya, yang berkarya atau tampil secara individual.
Negara, dalam hal ini Pemda Bali, beruntung, tidak berpangku tangan. Salah satu wujud keberpihakannya dengan seni dan seniman adalah melalui menyediakan ‘’panggung’’ virtual. Kendati dengan sokongan dana yang relatif kecil, para seniman dan seniwati dari penjuru Bali menyambut dengan suka cita. Lebih dari 200 grup seni terlibat unjuk kreatif ‘’pentas’’ seni pertunjukan dan ‘’pameran’’ seni rupa secara virtual yang berlangsung selama Juli, Agustus, hingga September tersebut.
Masyarakat penonton dapat menyimak aneka ragam karya seni itu melalui kanal YouTube Disbud Bali sebagai pihak penyelenggara pentas seni format virtual ini. Berkesenian secara virtual menjadi alternatif yang harus dipilih, atas niatan pemda dan atau diarahkan oleh pemerintah pusat melalui kementeriannya, Kemendikbud.
Namun berkesenian virtual menjadi ‘’gegagapan’’ tersendiri bagi pegiat seni pada umumnya, lebih-lebih bagi kalangan seniman yang kurang intim dengan teknologi digital. Bagaimana menggarap seni berdasarkan kenyataan untuk disuguhkan di dunia maya, tentu memerlukan pengetahuan dan kreativitas memanfaatkan alat yang berbasis aplikasi pengolah gambar/video, selain juga alat penunjang lainnya seperti kamera dan komputer/laptop.
Kemajuan dan ketersediaan alat dan media yang tidak sulit diperoleh sekarang ini, kuncinya tetap tertuju pada daya kreativitas dan sensitivitas estetik sumber daya senimannya. Idealisme totalitas berkesenian sangat berperan dalam menelurkan karya seni virtual yang menarik.
Sejak awal Juli lalu, karya-karya seni virtual para seniman Bali telah diunggah di kanal YouTube Disbud Bali, masing-masing selama lima menit, dari persyaratan karya yang berdurasi 30-40 menit. ‘’Saya berharap, dengan pagelaran seni (virtual) ini, seluruh krama Bali, terutama generasi penerus semakin mencintai dan selalu bergerak untuk memajukan seni budaya Bali. Kegiatan ini diharapkan untuk tetap menggemakan, mengaktualisasikan visi Pemerintah Provinsi Bali 2018-2023 ‘’Nangun Sat Kerthi Loka Bali’’.
Hingga memasuki pertengahan Juli ini, telah puluhan karya seni virtual dapat disimak. Selain banyak yang hadir dengan basis seni pertunjukan seperti tari, karawitan/musik, pedalangan/teater, terdapat pula garapan seni yang mengangkat presentasi seni rupa.
Tampak pula sajian-sajian karya seni perpaduan di antara elemen seni pertunjukan atau bahkan rajutan seni rupa dengan unsur seni tari, musik, sastra, dan teater. Warna-warna garapan seni bak pelangi ini merepresentasi juga keragaman sikap kemerdekaan berkesenian yang tulen tradisi, yang mengembangkan tradisi, yang kontemporer, bahkan yang tak mengarahkan kiblat estetika apa pun. Semuanya sah-sah saja. Sangat perlu diberi apresiasi.
Karya seni virtual yang dikoordinasi oleh UPTD Taman Budaya ini mengangkat tema ‘’Kerthi Werdhi Budaya’’ (Aktualisasi Peran Taman Budaya sebagai Rumah Kreasi). Sanggar Nretya Graha Siwanataraja Sukawati merespons dengan garapan seni Pertunjukan Tari Pedalangan (Petala) dengan tajuk ‘’Nretya Murthi’’. Karya seni virtual yang diunggah tanggal 11 Juli lalu itu bertutur tentang Siwanataraja sebagai raja diraja seni.
Nretya murthi berarti seni maha agung yang melukiskan penciptaan semesta dan pendauran kehidupan. Klimaks tarian kosmis Siwanataraja ini dijadikan simbol PKB yang (seharusnya) tahun 2020 ini memasuki penyelenggaraan ke-42 tahun. Karya seni yang digarap koreografer Laras dan Dalang Natya ini memvirtualkan kemasannya dengan basis sebuah aplikasi pengolah video dalam implementasi artistik bernuansa hiperealitas nan fantastik.
Gereget fantasi berpeluang dihadirkan dalam garapan seni virtual. Namun demikian sejumlah garapan seni yang sudah tayang, percaya diri hanya sekadarnya saja memanfaatkan elusan aplikasi digital. Bahkan dalam pengambilan gambarnya banyak yang memilih lokasi di luar ruang, alam terbuka, seperti hamparan sawah, sungai, tepi laut, hutan, dan ada juga di kuburan serta latar belakang lainnya.
Padahal jika memang tidak sengaja mencari latar yang real, semua itu bisa disiasati dengan memakai gambar atau video gratis yang melimpah dengan menggunakan mesin pencarian di internet. Walau demikian, kendati belum sepenuhnya mencoba berkesenian virtual, binar estetik yang disuguhkan, cukup apik. Mungkin nanti yang giliran tayang berikutnya, akan ramai dengan konsep berbingkai seni virtual.
Ruang berkesenian secara virtual ini adalah kesempatan kompensasi diri pada sebagian kecil seniman Bali dan juga sekaligus arena mereguk keindahan seni bagi masyarakat luas, walaupun tentu tak menyasar semua orang disebabkan faktor kesenjangan dengan internet. Tetapi setidaknya seni virtual yang diunggah di YouTube Disbud Bali ini berjangkau sebar luas, mendunia.
Bagi pegiat dan kreator, seni virtual yang dapat ditonton sejagat ini adalah justru menjadi wahana baru berkesenian secara ‘’internasional’’ tanpa harus melanglang jagat. Namun demikian, kita berharap pentas atau pameran seni secara normal dengan keintiman interaksi langsung akan kembali tereguk bersama, tidak terus berlarut-larut dalam proses de-ulturalisasi masif kebudayaan.
Penulis, pemerhati seni budaya, Dosen ISI Denpasar