GIANYAR, BALIPOST.com – Pasca puluhan warga menggerudug kantor BPN Gianyar terkait lahan yang disertifikatkan sebagai tanah pekarangan desa (PKD), Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng, Cokorda Gde Putra Pemayun langsung angkat bicara. Diakui proses pensertifikatan menjadi tanah PKD itu sudah didasarkan pada awig-awig desa adat setempat.
Pria yang akrab disapa Cok Pemayun saat ditemui di Puri Pejeng, Kamis (23/7) menjelaskan bahwa berdasarkan konsep Tri Hita Karana, tanah teba yang tidak lain sebagai palemahan merupakan satu kesatuan dengan karang ayahan desa (rumah tempat tinggal krama-red). Sehingga desa adat mensertifikatkannya sebagai PKD (pekarangan desa).
“Didasari konsep Tri Hita Karana, teba itu termasuk palemahan. Tanaman yang ada, seperti Kelapa, pisang, aren, umbi-umbian dan lain-lain dipetik untuk memenuhi kewajiban krama saat ngayah di pura sehingga tidak sampai membeli. Itu konsep leluhur kita dulu. Di awig-awig ada itu semua, sebagai dasar kenapa kita di desa adat mempertahankan teba termasuk ayahan karang desa,” jelasnya.
Cok Pemayun menjabarkan terkait proses pensertifikatan sudah sesuai tahapan yang ada dan diketahui oleh seluruh krama. Ia juga mengklaim tanah milik desa adat disertifikatkan sesuai program nasional.
“Kami mengikuti progrm nasional. Disampaikan melalui kelian adat di masing banjar. Sehingga pada saat proses pengajuan sertifikat, warga mengumpulkan KK dan KTP. Setelah diproses, menurut BPN sudah selesai semua kok baru ada yang mengajukan keberatan,” ujarnya.
Dibeberkan isi sertifikat teba sebagai PKD selaku pemilik adalah Desa Adat Jro Kuta Pejeng. Lantas di bawahnya tertulis yang ditempati oleh nama warga yang ada di pekarangan tersebut.
Sehingga nama warga tercantum dalam sertifikat. Selain itu dalam awig-awig, tanah teba juga dibebaskan untuk dijual maupun dikontrakkan.
Hanya saja, kewajiban ngayah ke desa harus beralih ke pembeli atau pengontrak. “Dalam awig-awig, bagi krama yang mau jual kontrak silahkan, Desa adat tidak minta bagian. Tapi bagi yang membeli dalam awig diatur wajib ngayahan karang desa. Desa adat nuntut ayahan saja. Kami mempertahankan druwen desa berdasarkan awig, dresta adat dan budaya,” tegasnya.
Disinggung terkait klaim warga yang keberatan karena selama ini membayar surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT), dalam hal ini Cok Pemayun mengingatkan bahwa SPPT bukan sebagai tanda bukti kepemilikan tanah. “Kenapa teba kena SPPT, karena menghasilkan. Jadi wajar saja bayar pajak, tapi bukan tanda bukti sebagai hak milik,” tegas mantan anggota DPRD Gianyar dari Partai Gerindra ini.
Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng membantah jika jumlah pekarangan yang mengajukan keberatan mencapai 70 orang. Menurutnya hanya 44 krama atau pekarangan yang mengajukan keberatan, dari total 280 krama.
Bahkan Cok Pemayun merinci, yang mengajukan keberatan sebanyak 19 orang dari Banjar Pande, 8 orang dari Banjar Intaran, 2 orang dari Banjar Puseh, dan 15 orang dari Banjar Guliang. “Dari Banjar Pande awalnya yang ajukan keberatan 35 orang, setelah beberapa dari mereka datang konsultasi ke prajuru, mereka yang paham mundur sebanyak 16 orang. Banjar Intaran awalnya 18, mundur 10. Guliang 15 orang tetap ajukan keberatan, Puseh 2 orang. Jadi totalnya 44 orang, bukan 75 orang. Itu data valid dan surat pernyataan mereka mengundurkan diri dari keberatan, ada,” tegas bebernya.
Cok Pemayun juga menyinggung terkait warga yang menyampaikan keluhan tidak melewati tahapan dan prosedur yang tercantum dalam awig-awig. Meski demikian pihaknya akan tetap memantau perkembangan terkait pengajuan keberatan 44 warga tersebut.
“Sesuai aturan di awig-awig, apabila ada warga yang keberatan, pertama dia harus menyampaikan ke kelian adat. Kalau kurang puas, lanjut ke sangkepan atau paruman banjar. Kalau belum juga diterima baru sampaikan ke desa adat. Terakhir baru ke tingkat yang di atas. Tapi kasus ini, tidak dilakukan sesuai awig-awig. Malah justru langsung lapor polisi,” terangnya.
Menurutnya warga yang mengajukan keberatan diduga memang memiliki keinginan untuk menguasai teba sebagai hak milik. Sementara pihaknya akan tetap berpatokan ada awig-awig.
Cok Pemayun juga menyebutkan, bagi krama yang melanggar awig-awig bisa dikenakan sanksi adat. Termasuk aksi 44 warga yang mengajukan keberatan tersebut. “Sanksinya bisa berupa denda harta, dikeluarkan sebagai krama desa, atau penyangaskara (nunas pengampura ring prajuru,” tegas mantan Kepala BPBD Gianyar ini.
Sementara terkait BPN Gianyar yang memberikan tenggang waktu pada warga yang keberatan sampai Agustus 2020 nanti, Cok Pemayun mengaku menyerahkan hal tersebut kepada BPN. “Terserah BPN itu, kita di sini tidak ikut campur. Kapan mau diturunkan sertifikat itu, kita tidak masalah,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya puluhan warga dari Desa Adat Jero Kuta Pejeng dan Desa Adat Panglan, menggrudug kantor BPN Gianyar pada Rabu (22/7). Kedatangan itu mempertanyakan lahan milik warga yang dijadikan tanah PKD. Kasus ini pun sudah dilaporkan ke Polres Gianyar. (Manik Astajaya/balipost)