Kopi jenis robusta hasil petani Pupuan. (BP/bit)

TABANAN, BALIPOST.com – Memasuki panen raya kopi tahun 2020 di bulan Agustus dan September, harga kopi robusta turun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Saat ini harga jual kopi baru panen (dalam bentuk biji kering) hanya Rp 20 ribu perkilogram.

Sementara, biaya produksi selama setahun semakin tinggi, sehingga petani kopi belum menikmati hasilnya dan bersyukur bisa kembali modal. Apalagi biaya operasional terus meningkat dan pupuk semakin mahal. Untuk bisa menikmati hasil kerja selama setahun, idealnya harga kopi perkilogram diangka Rp 25 ribu, baru petani bisa menikmati keuntungan.

Salah satu petani asal desa Pajahan yang juga Ketua Bumdes Tugu Sari Pajahan, Made Marsudi Cahyadi, Kamis (23/7) mengatakan, dampak pandemi COVID-19 juga cukup dirasakan para petani kopi di Pupuan, khususnya di desa Pajahan. Kecamatan Pupuan merupakan sentra penghasil kopi jenis robusta, dan saat ini belum semua kopi siap panen.

Baca juga:  Jelang Akhir Tahun, Ratusan Ribu WNA Masuk ke Bali

Baru sebagian tanaman kopi saja yang sudah mulai bisa dipanen. “Kopi itu panennya bertahap, mulai dari meliki (memilih), panen raya dan penghabisan, jadi waktu panennya cukup panjang, Desa lain di luar Pajahan sudah mulai ada yang panen, hanya belum banyak, baru tahap petik pertama karena petik kedua (puncak panen) prediksi di bulan Agustus dan September, dan tahun ini adalah puncak panen kopi yang terjadi dua tahun sekali,” terangnya.

Di tengah pandemi saat ini, lanjut Made Marsudi, petani kopi dihadapi persoalan harga jual yang tidak sebanding dengan biaya operasional pengolahan lahan. Petani yang dulunya kebanyakan membuat kompleks untuk lahan kopi, dari tahun ke tahun jumlahnya terus menurun, dan berbanding terbalik dengan biaya operasional pengolahan lahan yang justru terus meningkat.

Baca juga:  Sebanyak 214.574 Kendaraan di Bali Belum Bayar Pajak

Menurut Made Marsudi, harga jual paling murah untuk kopi minimal di harga Rp 2 juta per kuintal atau Rp 20 ribu perkilogram. Idealnya harga jual bisa di angka Rp 2,5 juta perkuintal, barulah petani bisa menikmati keuntungan.

“Pupuk harganya mahal, yang subsisdi terbatas dan non subsidi biaya tinggi. Dalam satu kali panen dari hasil pengolahan kopi di petani, hampir 50 persen habis untuk operasional dan sisanya untuk kehidupan sehari-hari, petani belum dapat untung. Apalagi saat ini permintaan juga turun saat pandemi,” ucapnya.

Desa Pajahan sendiri dari luas wilayah 812 hektar sekitar 700 hektar adalah lahan kebun kopi. Dengan rata-rata kepemilikan lahan paling banyak 1 hektar dengan hasil panen saat puncak mencapai 1 ton.

Kopi baru panen (dalam bentuk biji kering) kini dijual di harga Rp 20 ribu, dimana saat kondisi normal bisa tembus angka Rp 21-22 ribu perkilogram. Sementara untuk biji kopi Petik merah diharga Rp 28 ribu perkilogram, turun dari sebelumnya diharga Rp 31-32 ribu.

Baca juga:  PPKM Level 3 Berlaku Saat Libur Nataru, Pelaku Pariwisata Diminta Bersabar

Dan untuk harga kopi yang sudah diolah menjadi bubuk kopi saat ini dari jenis petik campur di harga Rp 50 ribu perkilogram. Sedangkan bubuk kopi dari petik merah Rp 80 ribu perkilogram.

Sementara untuk biji kopi HS (gabah kopi), dikatakan Made Marsudi, petani hanya bisa menyimpan paling lama 8 bulan karena ada panen lagi, dan harga tidak jauh beda atau mengikuti fluktuasi pasar. “Kalau sekarang dijual di angka Rp 2 juta, selama delapan bulan ke depan tidak ada perubahan harga, yang ada justru permintaan produksi kopi bubuk yang berkurang, biasanya sebulan bisa 100 kilogram sekarang turun setengahnya lebih,” pungkasnya. (Puspawati/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *