AA Ngurah Oka Wiranata. (BP/Istimewa)

Oleh AAN Oka Wiranata

Sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat, PNS atau disebut juga ASN (Aparatur Sipil Negara) mempunyai posisi sangat strategis dan peranan menentukan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Sebagai aparatur negara, PNS berkewajiban menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah.

Untuk itu, PNS sebagai pelaksana perundang-undangan wajib berusaha untuk taat pada setiap peraturan perundang-undangan di dalam melaksanakan tugas kedinasan. Pemberian tugas kedinasan kepada PNS pada dasarnya merupakan kepercayaan dari atasan yang berwenang, dengan harapan bahwa tugas itu akan dilaksanakan secara profesional.

Menjelang gelaran hajatan demokrasi pemilihan kepala daerah pada 270 daerah di Indonesia, netralitas ASN kembali menjadi perhatian. Bahkan ada wacana ide pencabutan hak politik jajaran birokrasi. Netralitas ASN ini kembali menjadi perhatian setelah diakumulasi setiap ada hajatan pemilu ataupun pilkada pelanggaran netralitas ASN mengalami peningkatan.

Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu menunjukkan peningkatan angka pelanggaran netralitas ASN dari tahun ke tahun pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia. Tercatat pada tahun 2015 terdapat kasus sejumlah 29, menjadi bertambah 55 kasus di tahun 2016, memasuki tahun 2017 terdapat 52 kasus, sedangkan pada tahun 2018 dan 2019 masing-masing mencapai angka 507 dan 990 kasus.

Laporan pelanggaran atas ketidaknetralan ASN dalam pesta demokrasi di Indonesia memasuki tahun 2020 berdasarkan hasil data yang dihimpun oleh Sindikasi Pemilu Demokrasi (SPD) sudah ditemui 369 kasus. Mengacu hasil kasus pelanggaran dalam pesta demokrasi di Indonesia pihak SPD melakukan survei terhadap ASN dalam pemilu, dari hasil survei diperoleh angka 28 persen responden menyatakan setuju hak politik jajaran birokrasi dicabut seperti apa yang berlaku di kalangan TNI/Polri, walaupun angka ini masih di bawah 30 persen.

Menjadi pertanyaan apakah dengan adanya pelanggaran atas ketidaknetralan ASN dimaksud sampai harus menghapus hak politik ASN. Apabila hak politik ASN sampai harus dicabut, pihak terkait tentu harus pula memperhatikan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan mengatur jajaran birokrasi, di antaranya ada PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS dan ada juga UU Nomor 5 Tahun 2014 yang sudah mengatur tentang ASN.

Baca juga:  Saat Bisnis “Leisure” Berpindah ke Rumah

Badan Kepegawaian Negara (BKN) merilis data statistik di Indonesia per 31 Desember 2018, disebutkan jumlah PNS adalah 4.185.503. Dari jumlah pegawai tersebut 939.236 (22,44%) PNS bertugas di instansi pusat, sisanya 3.246.267 (77,56%) bertugas di instansi daerah. Sementara berdasarkan sebarannya jumlah tertinggi berada di Pulau Jawa dengan persentase 20,64% atau setara dengan 1.209.036.

Sebaliknya sebaran PNS terendah terdapat di Papua dan Maluku dengan persentase 5,83% berjumlah 248.020 orang. Jumlah tersebut terdiri atas dengan tingkat pendidikan sarjana mencapai hampir 52 persen dari total jumlah PNS. Di urutan kedua adalah dengan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat dengan hampir 21 persen dari jumlah PNS.

Besarnya jumlah pegawai birokrasi ini dalam hajatan politik seperti pilkada yang akan dilaksanakan pada Desember 2020 menjadi rebutan bagi para politikus. Di satu sisi ASN dituntut harus bersikap netral dalam pesta demokrasi. Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pasal 31 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) bertugas menjaga netralitas pegawai ASN yang di dalamnya termasuk PNS.

Dalam melaksanakan amanah UU Nomor 5 Tahun 2014 dimaksud KASN mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang etika dan perilaku ASN yang harus netral, bebas dari intervensi partai politik. Dalam ketentuan ini salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN sangat jelas disebutkan jajaran birokrasi harus netral dengan melaksanakan tugas secara profesional dan tidak berpihak. Selain itu dalam undang-undang yang mengatur ASN ini juga dengan jelas dikatakan netralitas itu dimaksud untuk menjaga agar tidak terjadi kepentingan dalam melaksanakan tugas sebagai abdi masyarakat.

Baca juga:  Etnopedagogi Tri Hita Karana

Simpul-simpul kemungkinan terjadinya keterlibatan ASN dalam kancah pilkada di antaranya keiikutsertaan dalam acara deklarasi salah satu bakal calon kepala daerah, deklarasi salah satu parpol, termasuk juga ucapan dan tindakan yang mengimbau atau mengerahkan massa dan mengarahkan pihak lain untuk memilih salah satu calon peserta pilkada. Lalu bagaimana dengan ASN yang aktif dalam dunia media sosial memposting foto calon peserta pilkada.

Dikatakan dalam hal netralitas, ASN sudah dikategorikan berpolitik praktis dan dapat dipersepsikan sebagai tindakan keberpihakan serta konflik kepentingan. Sikap dan perilaku ASN seperti diuraikan di atas belum dapat dikategorikan melanggar ketentuan pasal 4 angka 15 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Hal ini dipastikan tidak menyalahi PP 53 Tahun 2010 karena selama belum ada penetapan pasangan calon dan masa kampanye. Di mana dalam PP 53 Tahun 2010 terutama pasal 4 angka 15 yang berbunyi: memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah dengan cara, (a) terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah/wakil kepala daerah; (b) menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; (c) membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye dan/atau (d) mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Artinya berdasarkan PP 53 Tahun 2010 pada pasal 4 angka 15 tidak termasuk pelanggaran.

Hanya bila merujuk UU 5 Tahun 2014 sudah dapat dikategorikan pelanggaran nilai dasar, kode etik dan kode perilaku sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 huruf d dan Pasal 5 ayat (2) huruf d, e,h, dan huruf l. Disebutkan terhadap oknum ASN yang melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku dikenakan sanksi moral sebagaimana disebut dalam PP Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS terutama Pasal 15, bahkan sesuai pasal 16 dijelaskan PNS yang melakukan pelanggaran kode etik selain dikenakan sanksi moral dapat dikenakan tindakan administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas rekomendasi Majelis Kode Etik.

Baca juga:  Soal Oknum ASN Badung Ditangkap Gratifikasi, Bupati Giri Prasta Tanggapi Dingin

Terhadap oknum ASN yang melakukan pelanggaran terkait netralitas dalam PP 53 Tahun 2010 pun sudah disiapkan sanksi yang akan dikenakan. Bahwa terhadap sikap dan tindakan serta perilaku ASN apabila melakukan atau terlibat aktif dalam proses pilkada setelah dilakukan penetapan pasangan calon dan masa sebelum, sedang dan sesudah kampanye sebagaimana tersebut dalam Pasal 4 angka 15 PP 53 Tahun 2010 dikategorikan melanggar ketentuan disiplin PNS dan dapat dikenakan hukuman disiplin sedang hingga berat, yakni dari penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun hingga pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

Untuk menimalisasi terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh oknum ASN selama proses pilkada perlu dilakukan keterlibatan seluruh komponen dalam upaya mengawasinya. Pengawasan dimaksud merupakan proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil dan proses untuk memastikan bahwa segala sesuatu aktivitas yang terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Dalam kaitan dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan internal (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control), di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control). Upaya pengawasan ini dalam upaya mewujudkan ASN yang profesional, netral, dan bebas dari intervensi politik.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *