PARIS, BALIPOST.com – Negara-negara di Eropa mengalami kemerosotan pertumbuhan ekonomi dilihat dari data yang dikeluarkan Jumat (31/7) waktu setempat seiring kalkulasi terkait dana yang dikeluarkan untuk menangani COVID-19. Bahkan, di tengah mulai munculnya kembali sejumlah kasus baru COVID-19 di negara-negara Eropa, termasuk Inggris, yang menyebabkan mereka harus mengerem kebijakan melonggarkan pembatasan untuk kembali ke kehidupan normal.
Dikutip dari AFP, enam bulan setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan keadaan darurat global, COVID-19 telah menginfeksi lebih dari 17 juta orang dan menyebabkan kematian 674 ribu orang.
Ketika jumlah kasus harian global mendekati 300.000, dampaknya sangat terasa di setiap bidang kehidupan. Contohnya pemilihan umum ditunda di Hong Kong, dan musim haji tahunan di Arab Saudi dilakukan dengan pengurangan drastis jumlah calon haji.
Inggris memberlakukan kebijakan karantina baru di beberapa wilayahnya pada Jumat, seiring diumumkannya kemerosotan ekonomi terburuk dalam sejarah Eropa Barat, yang akan menjadi skenario mimpi buruk untuk memulai awal tahun.
Ekonomi Prancis mengalami kontraksi 13,8 persen pada kuartal April-Juni, mencerminkan kehancuran serupa di Spanyol (18,5 persen), Portugal (14,1 persen) dan Italia (12,4 persen). Eropa secara keseluruhan mengalami penurunan produk domestik bruto (PDB) sebesar 12,1 persen di zona Eropa dan 11,9 persen di seluruh blok Uni Eropa.
“Ini adalah penurunan yang mengejutkan, tetapi sepenuhnya dapat dipahami karena ekonomi ditutup untuk periode yang cukup lama,” kata Bert Colijn, ekonom senior di ING Bank.
Karantina Ketat
Karantina ketat di Eropa efektif dalam membawa kasus dan kematian di bawah kendali. Peningkatan dalam kasus berarti pembatasan masih jauh dari selesai, bahkan jika upaya itu kini menjadi lebih lokal dan spesifik.
Inggris adalah negara yang terbaru memberlakukan tindakan karantina pada Jumat, melarang para tetangga untuk bertemu dalam ruangan, di wilayah Manchester raya, dan sebagian Lancashire dan Yorkshire.
Dengan populasi Muslim yang besar di daerah-daerah itu, larangan itu diberlakukan menjelang Idul Adha. “Kami mengambil tindakan ini dengan berat hati, tetapi kami dapat melihat peningkatan jumlah kasus COVID di seluruh Eropa dan bertekad untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk menjaga masyarakat tetap aman,” kata Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock di Twitter.
Inggris juga menunda rencana untuk membuka kembali kasino, arena bowling, dan arena seluncur es, yang akan dimulai pada hari Sabtu (1/8). Juga menunda rencana untuk melanjutkan pertunjukan dalam ruangan dan meningkatkan jumlah penonton di stadion.
Jerman menambahkan tiga wilayah utara Spanyol ke dalam daftar destinasi berisiko tinggi, termasuk hotspot wisata Barcelona dan pantai Costa Brava. Ini artinya, siapa pun yang datang dari daerah tersebut harus membawa hasil tes COVID-19 negatif atau masuk karantina selama 14 hari .
Denmark mengubah kebijakannya terkait penggunaan masker, menganjurkan penggunaannya di transportasi publik.
“Pandemi ini adalah krisis kesehatan sekali dalam seabad, yang dampaknya akan terasa selama beberapa dekade mendatang,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah pertemuan untuk mengevaluasi situasi enam bulan setelah mengumumkan keadaan darurat global.
Tedros telah memperingatkan bahwa kaum muda harus mengambil upaya lebih besar untuk menghentikan penyebaran penyakit ini. Sebuah studi baru menemukan bahwa ratusan anak-anak di negara bagian Georgia, AS, telah terjangkit COVID-19 di perkemahan musim panas bulan lalu. (Diah Dewi/balipost)